13. Abu-abu (Rasta's side)

435 32 1
                                    

Aku tahu jika membiarkan diriku untuk mendengar dan menuruti perkataan Mentari bukanlah hal yang mendatangkan solusi untuk masalahku. Jika Medina bisa dikatakan  masalah, akupun kurang yakin.

Apa dia hanya pengganggu saja?

Lantas mengapa aku tak bisa menolak keberadaannya. Rasanya aku tak sanggup jika menatap matanya yang seolah menaruh harapan yang besar. Mata yang selalu berbinar polos, seperti tatapan mata anak kecil, tanpa prasangka.

Lalu ketidakacuhanku juga membuatku merasa bersalah. Tentu saja. Yang kusukai itu adalah Mentari. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang curiga. Namun reaksi Medina akhir-akhir ini membuatku harus mengambil tindakan.

Tidak mungkin aku hanya membiarkan Medina berkeliaran di sekitarku tanpa memberikan kejelasan. Dia gadis yang baik, terlepas dari sikapnya yang agresif dan impulsif.

Dan di sinilah aku sekarang. Di hadapan Mentari. Gadis itu terlihat marah, bibirnya bergerak cepat. Tapi aku tak mendengar apa-apa. Bayangan wajah gadis lain yang kecewa karena diriku masih melekat dengan sempurna. Medina tidak harus menerima keburukanmu tadi. Semoga dia membenciku. Lebih baik begitu daripada menangisi orang seperti diriku.

"Ras elo denger gue kan?"

Aku mengangguk kemudian menaiki anak tangga terakhir. Mengabaikan Mentari. Aneh.

Aku terus berjalan dan kali ini mataku menagkap sepasang sepatu coklat gelap yang  membuat pandanganku semakin naik. Gio, teman dekat Medina.

Sebelah alisnya naik ke atas. Pandangannya sedikit menyiratkan sebuah celaan. Dan harusnya pandangan seperti itu hanya timbul jika seseorang merasa marah. Tunggu, apa dia marah? Marah kepadaku?

Gio menatap ke arahku. Dia berjalan maju tanpa mengubah ekspresi wajahnya.

"Lo keliatan kesal bro." Ujarku mencoba mencairkan suasana yang terasa dingin ini. Bukannya menjawab Gio malah menampilkan warna wajah yang memerah.

"Dan elo keliatan baik-baik aja." Berbanding terbalik dengan auranya yang menguarkan aura permusuhan suara Gio terdengar pelan dan tenang. Kupikir dengan ekspresi tegang dan tangan yang terkepal begitu, Gio akan memukulku.

"Biar gue tebak. Apa ini berkaitan sama Medina?"

Dia tertawa hambar. Kemudian memasang ekspresi tegang dengan cepat. Dia menunduk dan kedua lengannya terlipat di bawah dada.

Ketika pandangan sahabat Medina itu kembali padaku. Entah mengapa kali ini wajahnya terlihat begitu khawatir. Bagaimana ia bisa menampilkan ekspresi yang berbeda dalam waktu yang singkat.

"Berhenti ganggu dia." Aku sangat tahu. Yang dia maksud pasti Medina.

"Dan atas dasar apa elo bisa ngomong kayak gitu?" Seperti bukan diriku sendiri. Tapi mendengar perintah Gio itu seolah mengusik diriku. Harusnya aku merasa biasa saja. Nyatanya aku merasa begitu terganggu.

-TBC-

Kali ini kita di jiwanya Rasta...
Btw makasih yang udah ngevote tanpa saya minta dan udah follow tanpa saya paksa.

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang