10. Rasanya Patah Hati

488 29 0
                                    


Semalaman aku menangis. Bodohnya aku menangisi Rasta. Bukankah sudah begitu seringnya diriku menaruh ekspektasi yang begitu tinggi dan Rasta sama sekali tidak melakukan hal yang salah? Dia hanya melakukan apa yang harus ia lakukan terhadapku yang terlalu kebaperan sama dia.

Jadi hari ini aku harus menerima tatapan heran dari beberapa orang yang melihatku di kampus. Harusnya aku menggunakan kaca mata. Tapi aku lupa! Gara-gara terlalu memikirkan Rasta.

Masih pagi, aku belum sarapan. Lagi-lagi karena terlalu kebaperan sama Rasta. Hikss menunggu dia jadi peka memang bukanlah gagasan yang masuk akal. Hanya karena dia tidak mengajariku bukan berarti dia bisa welcome denganku.

Mending aku ke kantin dulu sebelum masuk jam kuliah. Masih setengah jam juga sich. Gara-gara pengen liat Rasta aku jadi kecepatan datang.

Sarapan pagiku sepertinya terlalu berat. Tak masalah. Aku ingin makan sepuasnya. Toh tidak akan ada yang menegur. Baru duduk ponselku yang ada dalam tas slempangku mengeluarkan bunyi dari reff Shawn Mendes Imagination.

RUBAH BETINA CALLING

Aku agak shock saat melihat nama kontak Mentari yang sengaja kupilih sewaktu menyimpan nomornya. Kenapa dia menelponku? Tidak biasanya, firasatku jadi tidak enak.

"Halo?" Sapaku.

Hening

Tak ada balasan. Ku tengok layar ponselku. Masih terhubung. Tapi kenapa dia diam saja.

"Ehh Tar lo mau ngomong apaan?" Bentakku sedikit keras. Ah bukan sedikit. Aku membentak dia. Sudah pasti suaraku menjadi keras.

Terdengar helaan napas panjang yang terdengar dipaksakan. Seolah ingin mengatakan sesuatu tapi begitu beratnya. Mungkin enggan atau berat? Aku tidak tahu. Menganalisa helaan napas orang yang ada di seberang telepon membuatku menyadari suatu hal.

Rasta

Itu helaan nafas milik Rasta. Aku yakin. Segala yang ada pada Rasta tak mungkin bisa kulupa dengan mudah.

"Rasta?" Aku bertanya pelan. Rasanya sekarang ini aku begitu gugup. Padahal tidak jarang aku merecoki Rasta dengan menghubunginya. Mungkin karena sekarang ia menggunakan ponsel milik Mentari. Teman dekatnya. Sebuah kode jika mereka sedang bersama.

Jangan mengira aku sedang cemburu. Tidak! Rubah betina itu memang sedikit banyak mendominasi perhatian Rasta. Tapi dia bukanlah perempuan yang bisa ku cemburui. Aku sangat tahu track record perempuan itu. Rasta tak mungkin menyukai rubah betina macam Mentari.

Masih hening

Aku tak suka ini. Rasta tolong katakan sesuatu.

"Medina gue..."

---

Seperti inikah yang namanya patah hati? Berulangkali pertanyaan itu menggumam di benakku. Rasa-rasanya semenjak mengenal Rasta, aku tidak jauh berbeda dengan mereka yang kewarasannya dipertanyakan.

Perkataan Rasta tadi masih jelas dalam ingatanku. Tentu saja, belum cukup satu jam ia mengatakan kalimat saktinya. Terus bagaimana dengan diriku.

Ahhhh kenapa jadi menye-menye begini. Sedih, pengen nangis tapi gengsi. Pengen marah tapi nggak ada yang salah. Semua masalah yang kuhadapi mengindikasikan jika yang menjadi pemicunya hanyalah aku.

Sekarang aku sedang sedih-sedihnya dan mengingat bahwa aku adalah satu-satunya orang yang bisa disalahkan membuatku seperti idiot saja. Itu bukanlah yang terparah.

Di dalam sana. Jauh, yang mana hanya akulah yang mengetahui kedalaman tempat itu. Terasa begitu sempit. Begitu sesak. Nyatanya tempat itu kosong. Sedih banget!

Tapi aku juga tak bisa memungkiri bahwa aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak menahan tawaku.

Alangkah lucunya aku.

Kuharap bukan dia, Tapi yang ada aku malah terus menempel padanya. Sebagian dari diriku menjerit untuk berhenti. Tapi sebagian lagi memupuk harapanku dengan tidak tahu malunya.

___

Rasta sedang berdiri di hadapanku.

Hanya itu, dia diam dengan sorot mata yang tidak terbaca. Jika dia hanya diam dengan ekspresi beku seperti itu yang ada hanya membuatku semakin bingung.

Mau kamu apa Ras?

Dia mengalihkan pandangannya cukup lama. Kemudian berbicara tanpa bergerak dari posisinya, termasuk pandangannya.

"Mungkin kejadian yang kemarin-kemarin bikin elo jadi salah duga."

Cukup. Aku tahu dia mau bilang apa. Tapi aku tidak bisa menghentikan Rasta. Selain berusaha menahan air mataku. Aku sangat ingin menangis, tapi bukan dihadapan dia. Mungkin nanti. Saat dia meninggalkanku seperti idiot.

"Tapi ini harus diperjelas. Kalau gue cuma nggak tega liat cewek jatuh pingsan dihadapan gue. Apalagi elo bareng Mentari waktu itu. Dia bisa dikira orang yang bikin lo jadi sakit gitu."

Dia hanya akan peduli pada Rubah betina itu. Hubungan mereka terlalu biasa jika Rasta sampai mau repot-repot menolongku dengan dalih klisenya itu.

"Tapi aku masih bisa ada di samping kamu kan?"

Tanyaku khawatir. Dari semua kemungkinan. Yang paling kekhawatirankan adala berada jauh dari Rasta.

Kurasa siapapun itu. Mau dia perempuan atau laki-laki. Mau tua atau muda. Mau baik atau jahat. Seseorang tetap berhak untuk mendekati apa yang membuat mereka merasa hidup.

Begitu pun aku yang tak ingin jauh dari dia.

TBC

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang