Playlist Boyfriend - Janus
Jika ada yang bisa kusebut keras kepala maka ia adalah waktu, sekuat apapun kita menggenggam, waktu mantap saja meninggalkan kita engan rasa yang sama....
Lalu bagaimana bagaimana cara kita untuk bisa berkompromi dengan waktu? Saat waktu yang beranjak seakan memaksa kita untuk menentukan sebuah pilihan. Pilihan yang akan menentukan kemana langkah kita. Aku berharap di manapun aku melangkah, waktu tak lantas mengikis bayangannya dari benakku.Hari pertama memasuki kampus setelah kelompok dari rumah sakit ternyata membuatku jadi canggung sendiri. Aku tidak tahu pastinya karena apa. Aku merasa semua berubah dengan cepat dan begitu mudah. Itu pikirku. Padahal sudah berapa lama aku menyukai Rasta?
Sejak dulu, sejak melihatnya di supermarket. Sejak dia tanpa ragu menanyakan namaku juga.
Sudah hampir dua tahun. Selama itu pula aku menghabiskan waktu untuk meyakinkan diriku sendiri jika aku menyukainya. Berusaha mengenalnya lebih dekat. Dan memahami semua sisi Rasta yang menyebalkan.
Tapi apa memang benar aku menyukainya?
Aku tahu jika dia menampilkan kesan yang dingin dan cuek melalui perlakuannya pada orang-orang yang dianggapnya tidak menaruh kepentingan apapun terhadapnya. Tapi jika berkaitan dengan orang yang dia anggap penting, seperti Mentari. Rasanya akan membuat siapapun merasa miris. Dan anehnya hanya aku yang benar-benar bisa memahami sisi Rasta yang satu.
Atau mungkin aku saja yang terlalu perasa? Rasta, entah dia sengaja atau tidak sadar. Beberapa kali aku melihat interaksi mereka, Rasta dan Mentari. Mereka terlihat begitu dekat untuk ukuran orang bersahabat.
Sekarang saja saat kami sedang makan siang di kantin kampus yang tidak biasanya begitu sepi, hingga mau tak mau aku tak bisa menatap kerumunan mahasiswa sebagai pengalihan dari interaksi mereka yang bikin emosi jadi diaduk-aduk.
Bahkan sewaktu mengambil pesanan kami saja mereka memutuskan untuk mengambilnya bersama tanpa menanyakan apa-apa padaku. Mereka datang dengan mulut yang sibuk mengeluarkan celoteh. Sayang aku tidak begitu bisa mendengarnya.
Rasta membawa pesananku dan pesanannya di kedua tangannya itu. Sedangkan Mentari membawa pesanannya sendiri. Saat mereka duduk lagi-lagi posisi mereka mengangguku. Mereka duduk bersebelahan dan aku duduk di hadapan mereka dengan dibatasi oleh meja.
"Kenapa Din? Muka lo kok ditekuk gitu." Mentari menyuap baksonya sambil melirik ke arahku. Bisakah kusebut jika dia sengaja menggodaku? Memancing kekesalanku di hadapan Rasta.
Aku diam dan tak menjawab. Ku lirik Rasta, dia nampak tidak terusik dengan pertanyaan Mentari untukku. Harusnya mereka sadar alasan utama mengapa wajahku menjadi kusut begini ya karena mereka. Dasar makhluk-makhluk tidak peka.
Sebenarnya perutku sudah sangat lapar. Seharusnya aku makan tanpa peduli dengan mereka, yang ada aku hanya mencuil isi mangkuk punyaku sekali dan memutuskan untuk menyudahi acara makan siangku yang begitu tidak enak ini.
Mereka berdua yang sejak tadi sibuk dengan sebuah obrolan tanpa berniat berniat mengikutsertakan diriku menjadi terhenti ketika Mentari melirik mangkuk baksoku.
"Loh Medina kok gak makan?" Tanyanya terdengar khawatir. Tentu kekhawatirannya tidak berpengaruh padaku. Aku tau dia hanya basa-basi saja sekarang karena ada Rasta.
"Kenapa nggak dimakan?" Suara desisan terdengar itu kemudianlah yang membuatku terkejut.
"Elo harus makan Din. Jangan sampai oleng lagi terus masuk rumah sakit."
Itu Rasta, Rasta lah yang memberikan kalimat dengan nada penuh ultimatum padaku.
"Nggak selera." Jawabku jujur.
"Oh jadi kamu mau gimana dulu supaya bisa selera?" Orang-orang yang sedang menerima perhatian Rasta yang seperti ini tentu akan menganggap Rasta menakutkan. Tapi bagiku dia sangat istimewa.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Into You (Completed)
ChickLitMasalah yang dihadapi oleh Medina itu klise. Dia naksir sama orang yang salah. Bukan orangnya yang salah tapi pilihan Medina yang keliru. Jelas saja jika perasaan sukanya terhadap orang itu lumrah disebut sebagai cinta sepihak. Kasian banget! Disc...