Tidak bisa kupungkiri jika begitu sering aku memikirkan Rasta. Tidak seharipun aku mampu melupakannya. Tapi kini semuanya terasa tidak jelas.
Aku senang Rasta mulai mencairkan hatinya. Sudah beberapa hari ini kami bertemu dan menghabiskan cukup waktu.
Jangan berprasangka. Kami hanya sekedar mencari referensi untuk tugas kuliah. Jadi niat kami tulus.
Meski begitu. Gagasan bahwa kami menghabiskan cukup waktu bersama membuatku jadi lebih bahagia.
Mengenai Lovely. Rasta sama sekali belum menyinggung masalah itu. Aku akan sangat senang jika dia sudah mengikhlaskan Lovely bersama Jio.
Aku memang tidak yakin. Tapi aku harap baik Jio atau Lovely tidak sedang bermain-main. Aku ingin mereka bisa baik-baik saja.
Rasta masih menekuni buku di tangannya. Sesekali membuka halaman depan dan belakang secara acak. Seolah tengah memeriksa sesuatu.
Mentari. Aku belum melihat keberadaannya beberapa hari belakangan ini. Aku jadi penasaran. Kemana dia? Rasta juga tidak pernah membahas Mentari. Mungkin aku perlu bertanya langsung. Sekarang.
"Hmm Ras?"
Rasta mengankat kepalanya.
"Ya?"
Aku mencoba memikirkan kalimat yang pas untuk bertanya. Aku tidak ingin terkesan mencampuri hubungannya dengan Mentari dan membuat suasana menjadi keruh.
"Mentari, kok aku nggak pernah liat dia?"
Rasta menutup bukunya dan menghembuskan nafas panjang. Sepertinya aku salah dengan menanyakan keberadaan Mentari!
"Bukan sesuatu yang penting."
Rasta menjawab tanpa menatapku sedikitpun, ia juga terkesan malas menanggapi. Pandangannya sibuk ke arah mahasiswa yang lalu-lalang di perpustakaan kampus ini.
"Ada Ras? Kenapa kamu kayaknya males gitu?"
Fix, aku sudah kelewatan. Jika Rasta marah dan kembali mendiamiku maka aku akan pasrah. Padahal aku lebih suka dengan Rasta yang ini. Mencair seperti es. Menjadi lebih hangat. Lebih nyaman.
"Aku salah ya?" Tanyaku saat Rasta hanya diam. Tidak menggubrisku sama sekali.
"Kamu nggak salah."
Ekspresi Rasta berubah. Dia tersenyum. Tapi binar jahil di matanya sama sekali tidak tertupi.
Apa dia sedang menggodaku?
"Terus kenapa kamu nggak jawab pertanyaan aku?"
Rasta bersandar pada kursi kayu di belakangnya.
"Aku berhak memilih untuk tidak menjawabkan?"
Aku sama sekali tidak bisa menahan agar pupil mataku tidak membesar. Ucapan Rasta tadi sama sekali terdengar bukan Rasta.
Oke, Rasta memang berubah. Dalam segala hal perlakuan Rasta kepadaku juga ikut berubah. Jadi wajar saja reaksiku agak berlebihan.
Perutku terasa sakit. Mungkin aku terlalu gugup. Menyebalkan sekali.
"Ya sudah terserah." Jawabku kesal dan parahnya Rasta memasang ekspresi geli bercampur usaha menahan tawa. Anehnya aku senang melihat Rasta begini.
___
Rasta memaksa untuk mengantar hingga di depan rumahku. Selama perjalana Rasta menjadi lebih bawel dari sebelumnya yang memang dia tidak begitu banyak bicara. Tapi aku terlalu bahagia hingga mengabaikan beberapa keganjilan mengenai perubahan Rasta.
Sayangnya hingga di depan rumah. Wajah Rasta kelihatan kesal. Aku menatap ke arah pandangan Rasta yang memaku. Dan kutemukan sumber yang menjadi kekesalan Rasta.
Ternyata di teras sudah ada Jio yang duduk di samping Lovely. Aneh juga melihat mereka tiba-tiba ada di rumahku. Jio sama sekali tidak pernah mengatakan bahwa ia akan kemari hari ini.
"Hmm Ras."
Usahaku untuk menenangkan Rasta gagal. Ia keluar dan membanting pintu mobil dengan keras. Aku bahkan terperanjat dibuatnya.
Rasta berjalan melewati pagar besi. Ia menghampiri Jio dan Lovely. Aku segera saja keluar menyusul Rasta. Tidak yakin bahwa aku bisa menyelesaikan masalah yang sebenarnya tidak kupahami.
Kini aku melihat Rasta menatap Lovely dengan wajah kaku. Jio sendiri hanya bungkam. Lain halnya dengan Lovely yang terlihat akan menangis.
Sebenarnya ada apa ini?
Kenapa Rasta terkesan sangat membenci hubungan Jio dengan Lovely?
Rasta meraih pergelangan tangan Lovely dan menyeret gadis malang itu dengan keras. Jio hanya diam. Pandangannya berubah kosong.
Saat melewatiku Rasta sama sekali tidak menoleh. Dia terus menggenggam pergelangan Lovely. Layaknya penggembala yang takut ternaknya lepas.
Melihat keadaan Lovely yang seperti itu tentu membuatku merasa miris. Parahnya saat Lovely menoleh pada Jio, sahabatku itu hanya diam.
Aku tahu jika Jio bukanlah seorang pengecut, tapi tingkah Jio yang sekarang tidak lebih baik dari seorang pengecut. Aku sama sekali tidak bisa menahan diriku untuk tidak kecewa.
Beberapa saat setelah mobil Rasta berlalu dari sini, Jio kembali tersadar. Ia kelihatan linglung. Aku berjalan ke arah pintu.
Sejujurnya aku kecewa dengan sikap Jio yang defenseless itu. Aku juga belum siap mendengar alasan Jio, maka dari itu aku sama sekali tidak mengacuhkan Jio sewaktu ia mencecarku dengan pembelaannya itu.
"Din elo mesti dengerin penjelasan gue."
Aku menatapnya dengan kaget.
"Penjelasan yang gimana Ji? Kok elo diam aja waktu Lovely pergi. Elo gak liat apa gimana sedihnya dia?"
Mendadak Jio bungkam. Pandangannya tak begitu fokus. Aku hanya mendecakkan lidah dan memasuki rumah. Mungkin Jio butuh waktu untuk menyadari apa yang sebenarnya ia inginkan hingga ia bisa membuat pilihan benar-benar diinginkannya.
-TBC-
KAMU SEDANG MEMBACA
Into You (Completed)
ChickLitMasalah yang dihadapi oleh Medina itu klise. Dia naksir sama orang yang salah. Bukan orangnya yang salah tapi pilihan Medina yang keliru. Jelas saja jika perasaan sukanya terhadap orang itu lumrah disebut sebagai cinta sepihak. Kasian banget! Disc...