57. Lagi, Karena Dia

267 15 0
                                    

Bukan hal yang mudah bagi gadis sepertiku untuk mencoba move on setelah mengagumi seseorang selama sekian tahun. Ah rasanya aku tak pernah mengingat bagaimana alaynya diriku jika menyangkut dengan Rasta.

Setelah percakapanku dengan Junior beberapa hari yang lalu, lelaki itu sama sekali tidak pernah absen mengirimkan pesan tak penting kepadaku.
Seperti Hay Medina.
Lagi ngapain?
Selamat malam.
Jangan lupa jaga kesehatan yahh.
Pokoknya segala macam pesan yang nggak penting sudah Junior sebutkan dalam pesannya. Tapi aku sudah terbiasa dengan kebiasaan Junior yang sangat tidak biasa itu.

Seperti sekarang saja. Aku belum lima menit terbangun dari tidurku pagi ini, pesan Junior sudah memenuhi pemberitahuan di ponselku.

Hai Medina udah bangun?
Udah mandi belom?

Sighh mengapa Junior kelihatan alay saat mengirim pesan itu? Apa dia tidak tahu bahwa dirinya itu terlalu kaku untuk melakukan basa-basi yang tak penting itu? Terlebih, kami ini nggak pacaran. Dan aku sangat mengerti bila Junior pun hanya ingin bermain saja. Tapi kenapa pula harus aku?

Kepalaku menjadi pusing. Tidak ada untungnya bagiku untuk memikirkan si Junior. Lebih baik aku melanjutkan tidur saja. Masih lagi dan mata kuliah semester ini sudah selesai semua.

Kurenggangkan tanganku bersiap untuk kembali tenggelam dalam mimpi. Sayang, panggilan dari orang yang sebenarnya tidak kuharapkan untuk muncul, memenuhi layar ponselku.

Rasta Calling..

Bukan hal yang mudah, sudah berulang kali aku merapalkan perintah agar mengabaikannya saja. Tapi lagi-lagi aku bertindak bodoh. Kutekan warna hijau kemudian mendekatkannya ke telingaku.

"Halo." kataku dengan napas sesak.

"Medina?"

"Ya Ras, kenapa?"

"Nggak ada cuma mau tahu kabar kamu gimana."

Apa aku salah dengar? Rasta barusan bilang 'kamu' hal yang jarang ia lakukan, atau malahan tidak pernah.

"Hmm cuma itu?" Aku tersenyum membayangkan Rasta kini berada di depanku. Matanya yang tajam namun selalu memberikan tatapan polos tanpa prasangka. Aku rindu dengan tatapan Rasta itu.

Kudengar suara tawa Rasta sayup-sayup, sepertinya ia tengah menjauhkan ponselnya sewaktu tertawa.

"Bisa nggak sih kita ketemu?"

"Untuk?" Aku balik bertanya, mencoba mencari tahu maksud Rasta yang mengajakku untuk bertemu setelah usahaku untuk menjauhinya beberapa hari ini.

"Memangnya perlu alasan buat ketemu sama teman sendiri?" Bukannya menjawab ia bertanya balik, seperti yang kulakukan.

Mendengar kata-kata Rasta jika kami ini teman terus terang membuatku menjadi lesuh. Teman? Apa dia menganggap perasaanku sedangkal itu.

"Ya ampun nggak lah Ras. Kalo mau ketemu ya ketemu aja." Kataku sambil tertawa untuk menyembunyikan kekecewaanku.

"Gimana besok sore aku jemput kamu?"
Jantungku berdegup dengan kencang.

"Kita naik motor berdua."
Romaku berdiri.

"Hmm iya Ras. Aku tunggu ya."

--

Apa aku salah jika merasa kecewa saat Rasta ternyata membawaku ke sebuah gedung panti asuhan. Bukan cuma itu saja, ternyata bukan cuma aku yang menemani Rasta. Tapi ada beberapa mahasiswa yang kukenal dari jurusan yang sama dengan Rasta.

Ya, mereka sedang mengadakan kegiatan amal yang menjadi salah satu program kerja di organisasi kampus. Aku bukanlah jenis mahasiswa yang begitu aktif dalam kegiatan berorganisasi, bukan karena aku membencinya. Aku hanya merasa jika itu bukanlah duniaku.

Aku tahu Rasta itu mahasiswa yang dikagumi banyak perempuan di kampus ini. Cuma selama aku selalu menganggap mereka itu tidak terlalu penting. Siapa sangka bila Rasta memiliki banyak fans yang begitu agresif. Aku tahu jika aku tidak ada bedanya dengan mereka, namun tetap saja aku merasa tidak suka. Apalagi mereka sama sekali tidak menganggapku ada dengan terus-menerus menempel pada Rasta.

Rasta yang sadar bila aku sama tidak nyaman segera memasukkanku dalam percakapan mereka yang sebenarnya tidak terlalu kuikuti sejak tadi.

Hingga saat Rasta kembali mengantarku, aku sama sekali tidak mau mengeluarkan suara selain menjawab pertanyaan Rasta dengan ya atau tidak.

"Kamu marah." Rasta berujar saat aku membelakanginya.

Kuhela napas dengan panjang kemudian berpaling pada Rasta.

"Enggak kok." Jawabku sambil tersenyum. Aneh, dulu seribu kali Rasta mengabaikanku ataupun membuatku terlalu berharap, aku sama sekali tidak terganggu dengan itu. Sekarang hanya masalah sepele saja, aku sudah uring-uringan, padahal Rasta hanya mencoba untuk sopan dengan teman-temannya.

Rasta menarik kedua sudut bibirnya ke atas membentuk senyum yang sangat memesona. Melihat itu, kedua kakiku jadi lemas, aku berlari masuk ke rumah. Menutup pintu lalu bersandar pada pintu untuk menopangku.

Jantungku berdetak keras. Lagi, dan itu untuk Rasta.

-TBC-

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang