55. Membentengi Rasa

245 12 0
                                    

Sesuai dengan niatku untuk menjauhi Rasta, aku sama sekali tidak tanggung-tanggung. Sebisa mungkin ketika sedang berada di kampus, berusaha tidak menengok ke tempat-tempat yang biasa Rasta singgahi.

Aku bukannya menyerah atas perasaanku pada Rasta, aku hanya sedang belajar mengikhlaskan. Kalau kami memang jodoh pasti nanti ketemu sendiri. Meski dengan cara yang tidak kusukai sebab sekarang aku harus menjauhinya.

Cia semakin lama semakin menghindariku. Lain halnya dengan Jio. Keberadaan mereka seperti waktu kami belum saling mengenal seperti dulu. Sangat asing. Jika kami berpapasan maka kami tidak memberikan reaksi apapun selain saling menatap beberapa detik.

Kucoba untuk menghubungi Jio, bukan karena aku tidak sanggup menahan rasa rindu. Aku tidak sealay itu. Kami memiliki tugas kelompok yang mengharuskan aku untuk mengesampingkan aura yang tidak enak diantara kami. Demi tugas! Kataku menyemangati diri sendiri.

"Halo."
"Ji. Ini aku." Terdengar helaan nafas berat di seberang sana. Seolah Jio enggan berbicara denganku. Dan rasanya menyakitkan. Dua orang sahabatku menjauh tanpa alasan yang jelas. Salahku di mana?

"Kamu ingat kan sama tugas yang dikasih sama pak Danu?" Tanyaku menyebutkan nama dosen yang terkenal galak di jurusan kami. Semoga Jio bisa mengerti.

Aku bukanlah mahasiswa yang cerdas, beda dengan Jio yang begitu mudah mendapatkan nilai A. Maka dari itu aku tidak akan menyia-nyiakan setiap tugas yang di berikan dosen. Terlebih lagi aku tak mau mengulang pada mata kuliah yang diajarkan oleh pak Danu.

"Hhmm ya. Soal itu nggak usah khawatir. Biar gua yang kerja."

Bukan itu yang jadi masalah. Dasar nggak peka!

"Bisa nggak kita kerjainnya bareng? Hmm takutnya nanti pak Danu nanyain materi kita terus gue nggak tahu."

Hening. Jio tidak langsung menanggapi. Sepertinya ia tengah memikirkan perkataanku. Semoga Jio tidak setega itu padaku.

"Oke deh. Kita kerjain besok siang aja di perpus. Besok kan cuma ada kuliah pagi." Putus Jio akhirnya. Rasanya aku ingin melompat saking senangnya. Ya, aku sangat berharap dari kerja kelompok ini.

"Hmm ya udah sampai jumpa besok ya Ji."

Sambungan terputus.

--

Kadang otak tidak benar-benar bisa memberikan perintah yang baik pada diri kita sendiri. Sudah kutekatkan bulat untuk menjaga jarak dengan Rasta. Namun yang kulakukan saat pupil mataku menangkap sosok Rasta adalah terus memokuskan ke mana ia melangkah. Dan seperti yang lalu, kebiasaan Rasta duduk di tengah keramaian mahasiswa sambil membuka bukunya. Siap tenggelam dalam bacaannya.

Rasta kelihatan baik-baik saja. Aku merasakan nafasku sedikit sesak. ia baik-baik saja dan itu memberikan tanda jika keberadaanku tidak cukup berarti bagi Rasta.

Aku ingin menangis sebagaimana hal yang dirasakan perempuan ketika sedang patah hati. Agar perasaanku bisa memberikan sedikit kelegaan. Namun sekarang rasanya begitu sulit hingga tak mampu mengurangi rasa sesak yang tengah kurasakan.

Sadarlah Medina, jatuh cinta bukan berarti perasaanmu bisa disambut dengan baik. Realistis lah ini hanya masalah waktu. Kamu akan segera melupakan laki-laki itu dengan segera! Sisi lain dari diriku menasehati.

Kupalingkan wajahku ke arah Rasta. Aku ingin menatapnya beberapa saat. Aku ingin merekam wajahnya dalam ingatanku baik-baik. Rupa ini, rupa yang selalu membuat jantungku berdetak liar tanpa kendali. Rupa yang selalu mampir dalam mimpiku.

Sebagian harapanku untuk menjadikan Rasta bagian terpenting dalam hidupku masih saja menggoda agar tetap dekat dengannya. Tapi seperti yang dikatakan Lolita di pesta ulang tahunnya. Bahwa Rasta mungkin bersikap baik-baik saja, tapi benak dan hatinya siapa yang tahu. Mungkin saja sebenarnya dia sudah sangat muak denganku. Hatinya yang kelewat baik itu membuatnya harus bersabar dengan tingkahku yang kadang sudah sangat keterlaluan.

-TBC-

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang