17. Flat

396 23 1
                                    


"Kamu senyum?"

Bad question. Dia memang lagi senyum. Suatu hal yang mungkin tidak akan pernah kamu lihat sebanyak tiga kali dalam mengenal Rasta.

Senyum langkahnya yang patut kusyukuri. Meski keadaan kami sudah berbeda. Aku tidak mungkin dengan girang meraih tangan Rasta dan menjejalinya pujian yang pasti sudah basi di telinganya.

"Ya."

"Senang bisa lihat kamu senyum gini." Kataku dengan jujur.

"Gue sama sekali nggak kepikiran kalo sepupu Mentari itu ternyata cewek yang..." Dia keliatannya ingin menggodaku. Seringainya muncul.

"Yang apa?" Desakku pada kalimat Rasta yang menggantung itu.

Dia tidak menjawab. Kupikir harusnya ia bisa menyembunyikan kekagetannya karena melihatku tiba-tiba. Memang jika di kampus seringnya aku menghindari Rasta.

"Yahh elo tiba-tiba aja ngilang gitu. Ternyata lagi sakit ya?"

Mungkin aku salah mengira. Suara Rasta dab ekspresi wajahnya terlihat begitu bersalah. Atau itu hanya sekedar simpati pada seorang gadis yang menggilainya.

Aku lelah menduga terus menerus. Tapi aku juga tidak cukup berani untuk mendengar jawaban langsung dari mulut Rasta. Penolakan halusnya sudah terasa menganggu sisi egoku untuk memiliki Rasta.

Aku takut. Tentu saja. Sebab pertanyaan yang bersarang di otakku sudah memiliki jawaban pasti.

He even loves me not. Final.

"Aku memang lemah dari dulu Ras."

Rasanya pandanganku mengabur. Apa karena cairan itu sudah siap untuk membasahi wajahku?  Pernahkah aku mengatakan bagaimana cengennya diriku ini?

Sebaiknya aku tidak menangis di hadapan Rasta. Sebaiknya aku bersembunyi. Berbalik memunggunginya adalah satu tindakan spontan yang bisa kulakukan sebelum air mataku jatuh.

Dia tidak menjawab. Dia juga tidak berusaha untuk mencecarku dengan pertanyaan ataupun pernyataan.

Aku menangis tanpa suara. Mulanya begitu. Menunggu sampai Rasta bosan dan keluar. Tapi nyatanya suara pintu yang ditutup ataupun dibuka sama sekali tidak terdengar. Hanya semilir angin yang menembus sela kaca jendela ruangan ini dan nafasku yang tersendat.

Lama, dia belum keluar.
Lelah, menahan tangis terus.

Akhirnya tangisku pecah. Aku terisak cukup kencang. Semakin menjelaskan bagaimana malang dan sedihnya diriku hanya karena satu orang saja.

Sialnya, orang itu masih ada di ruangan yang tidak cukup luas ini. Bahkan setelah jeritan pertamaku dia sama sekali tidak memberikan reaksi. Hanya itulah yang kutahu. Aku membelakangi Rasta.

-TBC-

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang