38. Hati Seorang Perempuan

262 12 0
                                    

Semua seakan terasa menggangguku, sisi lain Junior, Jio yang masih saja bersikeras untuk mendiami Lolita. Cia? Oh tentu saja dia menjadi kehilangan kepekaannya terhadap sesama perempuan hanya karena Junior yang menjadi orientasinya.

Semua itu hanyalah sebagian kecil dari hal yang begitu menggangguku. Rasta. Dalam benakku selalu bertanya. Mengapa aku begitu bodoh hingga membiarkan satu nama membuatku kehilangan kendali terhadap diriku sendiri.

Sekarang ada banyak kendaraan yang berlalu di depanku, suara klakson mobil, motor, dan bau udara yang begitu menyesakkan. Aku hanya berdiri di sini. Pemandangan yang kulihat tadi terasa nampak bagaikan ilusi.

Apakah kalian bisa memahaminya?

Rasta bersama dengan Mentari. Ditambah lagi Junior yang kedatangannya seperti angin tidak tertebak dengan pernyataan jahatnya.

''Sejauh yang gue lihat dia memang bahagia.''

Aku tidak ingin membuat diriku menjadi jahat hanya karena perasaan cemburu. Tapi Rasta, Rasta dengan Mentari. Saling berinteraksi dengan begitu intim. Aku mulai berpikir jika awal dari patah hatiku untuk yang ke sekian kalinya akan kembali menimpaku lagi. Dan kali ini aku akan benar-benar jatuh.

"Gue nyariin elo kemana-mana dan ternyata elo lagi melamun di sini?" Junior mncul. Aku tidak tahu pasti ia datang dari mana, tapi bukan sesuatu yang harus kupedulikan. Termasuk sikap Junior yang sok akrab ini.

"Hahh elo marah sama gue?" Tanyanya dengan nada bosan. Aku memutar kepalaku ke arahnya dengan cepat hingga kepalaku terasa begitu sakit.

"Gue nggak yakin elo datang Cuma buat nanya yang gak penting kayak gitu." Mataku mulai berair. Aku tidak ingin menangis. Jika kalian sadar bahwa tidak ada satupun manusia yang ingin menampilkan kerentanannya pada siapapun. Tapi aku tidak sanggup menyingkirkan sisi melankolisku itu, dan yang menyebalkan itu adalah Junior yang ada di depanku adalah orang yang paling ingin kujauhi. Bukan karena ia jahat, tapi karena dia adalah Junior.

"Medina." Suaranya berubah lirih. Matanya juga nampak meredup saat melihatku. Apakah itu adalah bentuk dari sebuah kasihan? Weel i don't need it at all.

"Keliatannya gimana?" Tanyaku mencoba sinis, namun malah terdengar seperti ingin menahan tangis. Dia diam. Menit selanjutnya adalah aku menjadi seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Menangis, berteriak, dan bahkan mencakar wajah Junior. Hal yang mungkin akan kusesali nanti saat emosi terkendali dan saat bertemu kembali dengan Junior.

Apakah kalian berpikir aku ini gila? Bahkan di saat menyedihkanku. Aku masih saja mengingat Rasta. Rasta dan Mentari yang berbahagia, lalu di mana bahagiaku? Sebab yang terasa hanya sesak. Seolah dadaku ditekan sesuatu yang keras dan tak ada satupun yang berniat melepasnya.

-TBC-

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang