50. Where My Love Goes

211 11 0
                                    


Aku tidak menunggu lama setelah kami tiba di depan rumahku. Aku segera meninggalkan Rasta tanpa berkata-kata. Rasanya aneh, aku menginginkan Rasta tapi akupun tidak berani untuk berharap lebih. Aku menyukainya tapi aku sadar betapa ia berusaha keras untuk tidak menyakitiku dengan penolakannya.

Rasta, andai kamu tidak sebaik ini. Mungkin mudah saja untuk melupakan kamu, meski apapun yang akan kamu lakukan padaku sama sekali tidak bisa merubah apa yang sudah ada semenjak kamu balas menanyakan namaku di minimarket waktu itu.

Andai waktu itu kita tidak bertemu kembali dan saling menyadari jika ternyata kita berada di kampus yang sama, dan andai kamu tidak mengenal Mentari.

Setelah berada di kamar aku menengok ke balik jendela yang masih terbuka, sepertinya orang rumah lupa menutupnya tadi. Mobil Rasta belum beranjak dari depan rumah. Rasta kenapa? Ponselku berbunyi dan nama Rasta menghiasi layar ponselku.

''Halo.''

''Medina.'' Suara Rasta yang menyapa dengan menyebut namaku terasa memberikan hawa sejuk yang tak kasat mata dalam kamarku.

''Ya? Kenapa?'' Rasanya ingin menangis saja saking bahagianya. Kalian tahukan perasaan bahagia ketika bisa berbicara dengan orang yang kalian suka, padahal kalian tahu jelas jika orang itu tidak berhasrat pada kalian sama sekali. Bisakah tindakan Rasta yang di luar kebiasaan malam ini memberikanku kesempatan untuk kembali berharap.

''Soal tadi, maaf udah ngatur-ngatur elo. Maaf gue udah nuduh elo sembarangan.'' Katanya dengan datar.

Nggak Ras, yang kamu lakukan itu bukan apa-apa. Aku cuma takut buat berharap banget. Tuhan, aku bahkan tidak bisa memahami apa yang kunginkan sekarang.

''Kamu mau aku nanggepin kayak gimana Ras?'' Kaca mobil Rasta terbuka, kulihat dia meletakkan tangan kirinya pada stir mobil dan sebelah tangan kanannya menempelkan ponsel ke telinganya. Rasanya kami begitu dekat. Melampau jarak dia yang berada di mobil dan aku yang berada di dala kamar.

''Menurut Lo?'' Selalu begini. Rasta sama sekali tidak mengijinkan untuk mengetahui apa yang ada di benaknya.

Aku menghela napas dan menatap manik mata Rasta yang jernih. Menatao kedalaman mata yang berulang kali telh menenggelamkanku. Apa Rasta tahu seberapa besar pengaruh dirinya terhadapku? Karena sekarang ini rasanya aku ingin kembali mengucapkan kalimat yang mungkin saja Rasta anggap basi.

''Rasta.''

''Ya.''

Kumatikan panggilan Rasta dan bergegas keluar kamar, me;ewati ruang tengah menuju pinti depan rumah. Melangkah dengan pasti dan tanpa ragu, mengabaikan kerasnya pavingblock yang menyentuh telapak kakiku yang tidak mengenakan alas.

Napasku tersengal, wajar saja, aku berlari tanpa henti. Sementara Rasta membuka pintu mobilnya dan berdiri dengan kening yang berkerut. Wajahnya seolah menanyakan apa yang telah kulakukan dengan gamblang.

Aku tersenyum kepadanya seperti orang bodoh. Syukur Rasta sama sekali tidak mencoba untuk menghentikanku. Dia hanya terpaku pada posisinya.

''Rasta... hikkss.'' Tanpa kuduga aku mulai terisak. Ada apa ini? Padahal sangat jelas kurasa bahwa wajahku tadi tersenyum. Sekarang kenapa aliran itu mulai memenuhi kedua pipiku.

''Ras..'' Aku menghampirinya dan melemparkan tubuhku ke arahnya dengan sangat keras. Kemudian melingkari punggung Rasta yang sering kuamati diam-diam. Rasanya sehangat bayanganku.

''Medina.''

''I love you Ras.''

Rasta mendorongku tepat setelah mendengar ungkapan perasaanku. Suatu hal yang membuat kudukku merinding dan aku tak bisa menahan agar mataku tidak membulat.

''Medina gue Junior, Bukan Rasta.'' Suara itu terdengar lebih mirip dengan permohonan ketimbang amarah.

Aku tak paham ini. Bukankah tadi Rasta yang kutemani ke pesta Lovely, dia bahkan bercerita banyak tadi, dan beberapa menit yang lalu Rasta menelponku untuk meminta maaf.

''Medina, gue tahu elo nggak gila, so please berhenti pura-pura.''

Aku tidak menjawabnya. Aku yakin ini pasti mimpi. Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa ini hanyalah mimpi buruk yang akan hilang jika terbangun nanti. Tapi sekali lagi, aku tidak bisa mengubah situasi menjadi hal yang kuinginkan.

Junior benar, yang kulakukan hanyalah berpura-pura, menganggap Rasta mengajakku ke pesta Lovely, menganggap obrolan Junior perihal di puncak adalah protes Rasta yang tidak suka dengan tindakanku. Aku membodohi pikiranku sendiri.

Telapak tangan itu terulur di depanku. Disusul sebuah wajah yang menunduk di depanku. Junior menawarkan bantuan untuk membantuku yang bahkahn untuk berdiri dengan tegak saja susah.

''Nggak gini caranya kalo elo mau dapetin apa yang lo suka.'' Aku menatap Junior dengan marah saat ia mengatakan apa yang kusuka, jelas yang dimaksud itu Rasta. Dan kata 'apa' menyiratkan bahwa Rasta itu hanyalah sebuah benda.

''Rasta itu bukan barang.'' Aku meralat kata-katanya dengan marah. Junior tertawa dan membawa telapak tangannya ke pucuk kepalaku, mengelusnya dengan asal.

''Ya apapun itu, terserah tuan puteri dech.''

Junior punya emosi yang menular. Mungkin karena itu aku sontak tersenyum saat melihat wajahnya yang sedang tersenyum sambil mengacak rambutku.

-TBC-

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang