41. Childish Thing

249 12 1
                                    

Air mataku jatuh bukan karena aku sakit hati. Air mataku jatuh, aku menangis, kecewa. Semua begitu mendominasi. Aku ingin mencari Rasta menanyakan langsung. Tapi masalahnya apa aku sanggup? Apa aku bisa melakukannya pada Rasta? Jika ia membenarkan issue yang kudengar, maka apa yang akan kulakukan? Oke cukup, aku akan menanyakannya langsung. Masa bodoh dengan hatiku yang patah berulang kali oleh tangan yang sama.

--

Ternyata tidak perlu menunggu matahari terbenam dan kembali terbit lagi untuk melihat Rasta. Ya sejam kemudian Rasta sudah ada di hadapanku. Kelihatan sehat dan tetap dingin. Kupikir dia akan lebih menghangat setelah rencana pernikahannya dengan Mentari.

''Hai Ras."

"We need to talk.'' Katanya.

''Sebenarnya aku juga lagi nunggu.''

Dia menggeleng pelan, semenjak dia datang hingga mengutarakan maksudnya, Rasta sama sekali menghindari tatapan mata denganku berlama-lama. Dimana hal itu embuatku yakin jika ada hal yang coba ia sembunyikan.

Lagi, tidak seperti biasanya Rasta memiliki inisiatif untuk langsung

--

Mulutku saja yang kalau aku tidak merasa pantas untuk Rasta. Makanya aku tidak pernah mendesaknya untuk memberikan penegasan. Dan aku juga tidak yakin dengan penegan apa yang kuinginkan, so ya itu masih kupikirkan.

"Are you in?''

''Ya." Kataku singkat.

Aku harap Rasta akan menjadi seperti biasa. Tanpa basa-basi.

"Hmm elo habis ketemu sama Lolita?" Oh jadi dia hanya ingin menanyakan itu. Kok aku kecewa ya.

"Yahh memang.''

Lalu apa lagi Ras? Dia tidak langsung merespon. Dia hanya diam kemudian mengambil ponselnya dan mengusap-usap layarnya beberapa saat. Seolah keberadaanku tidak cukup penting baginya dibanding dengan layar ponselnya.

''Rasta?'' Dia menengok kearahku. Dari reaksi matanya Rasta keliatan kaget.

"Soal Mentari...'' Mulaku dengan gugup.

''Ya?'' Kurasa bukan Cuma aku yang gugup di sini.

Wajah Rasta nampak begitu lain. Tidak ada kesan tenang ataupun tak acuh yang biasa ia berikan saat mendengarku. Ia nampak khawatir dan begitu putus asa. Orang bodohpun pasti bisa melihatnya.

"Kenapa nggak bilang? Kenapa kamu nggak pernah bilang sama...'' Rasanya berat untuk melanjutkannya.

Aku mengenal beberapa orang yang mengalami married by accident. Dan beberapa dari mereka berhasil melewatinya. Rasta? Aku sangat yakin dia juga bisa. The boy who will never be mine.

''Medina. Ini, ini bukanlah hal yang harus kamu pikirkan.'' Dia menghela napas panjang, telapak tangan kanannya yang hangat terasa begitu nyaman saat menyentuh pipiku.

Dia menunduk dan membiarkanku seolah tenggelam pada kelam matanya yang tidak berujung itu. Mata itu, seolah memiliki sihir yang kembali mengingatkanku bahwa aku akan kembali jatuh pada mata itu.

Pandanganku mengabur, kurasa au sudah hilang kontrol. Yang terdengar hanya suara tangisan seorang perempuan dan bisikan Rasta yang menenangkan. Apakah suara tangisan itu milikku? Bahkan pikiranku sudah kacau.

--

Aku terbangun dengan pipi yang basah. Suara ponselku yang berdering membuatku kesadaranku pulih sepenuhnya. Barusan aku mendapatkan mimpi buruk yang paling kutakuti. Jarum pendek pada jam dinding di depanku menunjuk pada angka 7. Aku kesiangan. Peluh memenuhi pelipis dan leherku.

Hanya mimpi.

Kataku mencoba menenangkan degup jantungku yang berpacu dengan cepatnya. Rasta masih ada. Dan belum taken. Kalimat terakhir membuatku merasa jadi malu sendiri. Aku harap Mentari segera muncul dan tidak membuat Rasta menjadi sibuk.

"Halo."

"Rasta."

"Ya.''

"Sampai jumpa nanti."

Rasta menjawab telponku. Itu sudah cukup membuktikan jika dia masih sama, dingin dan tenang.

--

"Medina!''

Sepertinya ada hal yang harus kusingkirkan selain mimpi buruk yang searasa masih mengahantuiku sekarang. Suara tengil itu, pasti Junior lagi.

Aku berbalik dengan enggan ke arahnya. Junior begitu ceria sekarang. Apapun itu semoga tidak ada hubungannya denganku. Karena terhubung dengan Junior merupakan hal terakhir di dunia ini yang akan kulakukan.

"Walaikum Salam J.'' Sindirku halus. Dia tidak terpengaruh.

"Sabtu ini ada rencana nggak. Gue pengen ngajak elo ke ultah nenek gue." Ewww ultah neneknya Junior? Kenapa pula dia sampai punya inisiatif ngajakkin aku?

"Duh gimanya ya? Nanti gue kabarin lag dech.'' Kataku mencoba mengelak.

Junior hanya mengangguk, senyumnya yang manis itu tidak hilang sekalipun aku memberikan respon yang kurang welcome pada ajakannya itu. Penuh dengan aura positif, seperti itulah dia. Sayangnya tidak bisa menular padaku. Yang ada aku akan merasa ichh knock-knock to the wood alias ill feel.

Untuk saja tadi pagi aku telah mendengar suara Rasta, jadinya nggak mood marah-marah gitu dech. Uhh so easy Medina.

"Oke gue tunggu dan pastiin jawabannya iya."

Dasar psikopat! cengar-cengir gaje. Dikira gampang apa ngedikte seorang Medina.

-TBC-

Into You (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang