Malam sudah datang lagi, sementara aku masih saja bergulat di atas ranjang sembari menunggu kabar Rasta. Aku memang tidak membalas pesannya tapi bukan berarti bahwa aku tidak mau mendengar penjelasannya perihal alasan kami tidak bisa jalan hari ini.
Junior dengan enggan akhirnya pergi juga setelah aku mengatakan ingin istirahat dengan tiba-tiba, untungnya dia tidak banyak bertanya. Moodku sungguh tidak karuan sejak menerima pesan dari Rasta, meski ini sudah berjam-jam tetap saja tidak membawa perubahan apa-apa padaku.
Perutku berbunyi menandakan ada hal yang lebih penting harus kuurus selain Rasta, yaitu bertahan hidup dengan cara makan, maklum terakhir aku makan hari ini yaitu tadi pagi. Dan melewatkan makan siangku. Sekarang aku harus makan, siapa tahu saja aku bisa sedikit tenang bila selesai makan.
Kubuka kulkas, hanya ada sayuran dan telur. Sepertinya ibu lupa mengisi kulkasku sewaktu datang kemari, sejak kuliah aku memang memutuskan untuk hidup sendiri. Meski tidak sepenuhnya bisa mandiri, sebab tetap saja ibu yang mengatur urusan dapurku.
Aku akan membuat omlellet saja. Setelah mencuci beras dan menaruhnya ke dalam magic jar, aku mulai memotong sayur-sayur menjadi tipis-tipis, dan mencampurnya dengan beberapa butir telur ayam. Semua kulakukan dengan tenang. Aku suka masak meski tak begitu ahli, setidaknya aku bisa membuat makanan yang kayak untuk di makan oleh manusia.
Aku sudah menata semua di atas meja makan yang berdekatan dengan dapur. Agak berlebihan juga sebenarnya untuk ukuran orang yang makan sendiri. Tapi ya, aku suka. Dan aku berharap sekarang ini ditemani makan oleh seseorang.
Suara ketukan pelan mengusik lamunanku. Siapa yang datang malam-malam begini? Aku jarang menerima tamu, kecuali yang datang itu adalaha teman kampusku.
Aku berjalan dengan khawatir. Bagaimana pun aku juga penakut. Semoga saja bukan perampok atau penjahat. Kuambil sapu besi yang berada di dekat tempat sepatuku. Memegangnya dengan kuat. Bersiap-siap jika yang datang itu orang jahat.
Jupiter knop pintu dengan tangan kananku. Kutarik cepat dan sosok Rasta yang tinggi dan menarik hati muncul di depanku. Wajahnya nampak muram. Beberapa rambutnya yang berantakan, jatuh mengenai keningnya.
Mulutku terbuka dengan cara yang tidak terkendali sekali. Tadi memang aku mempersiapkan jika seandainya yang datang itu orang jahat maka aku akan memukul orang itu dengan sapu. Dan bodohnya aku tidak mempersiapkan diri jika seandainya yang datang itu adalah Rasta.
Bodoh!
"Boleh aku masuk?" Rasta kelihatan ragu.
"Hmm ya boleh lah." Jawabku berusaha untuk santai.
"Mau minum apa Ras?" Tanyaku sewaktu Rasta sudah duduk.
"Air putih saja."
"Tunggu ya, aku ambilkan dulu."
Rasta mengangguk.
Sebenarnya aku tidak menyangka Rasta akan datang malam ini. Kupikir ia akan mencari lain waktu. Dan untuk apa ia datang setelah membatalkan rencana kami yang tidak lebih penting dari hal yang ia lakukan tadi pagi? Aku menjadi skeptis. Paling dia hanya ingin minta maaf.
"Di minum Ras." Aku meletakkan air dingin itu di meja yang dekat dengan Rasta. Laki-laki itu dengan segera mengambil dan meneguknya pelan. Semua itu tidak luput dari perhatianku.
Rasta meletakkan airnya kembali. Dan cukup lama ia diam. Sampai akhirnya aku mengeluarkan suara. "Kamu udah makan? Kebetulan aku lagi masak." Kataku setelah tadi melihat deretan makanan di atas meja sewaktu mengambilkan air untuk Rasta. Dia hanya tersenyum tak menjawab.
"Maaf ya soal rencana kita."
"Nggak masalah kok Ras." Aku berharap Rasta akan mengutarakan alasan yang membuat ia harus membatalkan rencana kami tapi dia tidak mengatakannya. Malam itu dia hanya bertanya-tanya seputar kegiatan kampus. Dengan perasaan yang agak kecewa aku berusaha menyimak dengan baik.
--
Beberapa hari kemudian Rasta menjadi sulit untuk kutemui. Ponselnya juga tidak aktif. Rasanya aku ingin menangis saja. Kenapa sih dia sangat suka bersembunyi dan menutup sesuatu?
Sekarang akan berada di sekolah Lolita, adiknya Rasta. Tadi pagi aku sudah datang ke rumah keluarganya dan tidak menemukan apa-apa selain pintu yang tertutup.
Cukup lama aku menunggu hingga akhirnya beberapa siswa berseragam putih abu-abu berhamburan keluar dari gerbang sekolah. Kupicingkan mataku untuk mencari Lolita. Akhirnya ketemu juga. Tidak sulit menemukan Lolita, ia memiliki fisik yang sempurna seperti kakaknya.
"Lolita!" Kataku memecah keriuhan para abegeh itu.
"Hahh kak Medina?"
"Bisa kita ngomong?" Lolita kelihatan enggan namun setelah memaksanya akhirnya dia mau juga. Aku mengajaknya ke kafe yang paling dekat dari sekolahnya, sebab aku ingin segera bertanya pada Lolita.
"Kamu tahu kemana Rasta?"
Tangan Lolita yang akan menyendok ice creamnya menjadi terhenti. Ia menatapku horor.
"Kok mukamu gitu?"
Dia menunduk. Diam dan kembali menyendok ice creamnya dengan pelan. Sampai ia menelan ice creamnya, Lolita masih saja diam.
"Kenapa nggak dijawab?"
"Kupikir kakak sudah tahu, kakak itukan sepupunya Mentari."
Aku mengerutkan kening, bukan karena mendengar Lolita menyebut nama Mentari tanpa embel-embel 'kakak' melainkan hubungan menghilangkannya Rasta berkaitan dengan Medina.
Atau, mungkin saja Rasta itu tidak menghilang. Ia hanya sedang menghindariku. Tapi kenapa? Bukannya kami baik-baik saja. Jika memang ada yang salah harusnya ia mengatakannya padaku.
Oh tentu saja, itu karena Rasta adalah laki-laki yang kelewat baik. Ia tak mungkin tega menyakitiku dengan kalimat yang jelas akan bagaimana perasaan dia kepadaku. Rasta tidak menyukai, Rasta tidak pernah menginginkan aku.
Mentari, hanya gadis itu yang Rasta inginkan. Dan gadis itulah yang membuatku selalu saja menjadi pilihan terakhir. Aku menatap Lolita yang sibuk dengan ice cream cokelatnya. Aku sengaja memesankan itu untuk Lolita, Jio selalu mengatakan jika Lolita sangat menyukai cokelat. Ah betapa beruntungnya Lolita, ia akan selalu menjadi pilihan pertama bagi Jio.
END
Makasih banget ya, sudah mau baca cerita ini. Into you akhirnya tamat juga, setelah tiga bulanan di wattpad..
Wassalam, sampai jumpa di tulisan saya yang lain. 😘😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Into You (Completed)
ChickLitMasalah yang dihadapi oleh Medina itu klise. Dia naksir sama orang yang salah. Bukan orangnya yang salah tapi pilihan Medina yang keliru. Jelas saja jika perasaan sukanya terhadap orang itu lumrah disebut sebagai cinta sepihak. Kasian banget! Disc...