Caca menempelkan ponselnya ke telinga sambil melangkah. Cuaca malam memang tidak terlalu dingin. Namun kondisinya yang memang sedang tidak enak badan karena pilek, membuat udara menjadi terasa begitu membekukan di kulit.
Dimasukkannya tangan kiri ke saku jaket. Jaket merah milik Dimas yang dipinjamkan cowok itu sambil menapaki trotoar. Menghirup udara malam dan menghembuskannya berat. Ia benci jalanan sepi seperti ini.
"Iya, Ma. Hari ini emang agak telat.Tadi abis rapat di tempatnya Ami nih baru mau pulang. Lagi di jalan. Ya udah kalo gitu Caca tutup telp-" kalimat gadis itu terhenti.
Matanya membelalak lebar mendapati seseorang berada tepat di samping. Seseorang yang sedang duduk di balik kaca minimarket tepat di samping. Di sana, Aga yang mengenakan kaos hitam di balik jaket, duduk menyeduh mie instan di atas meja.
Bibir cowok itu mencebik ke bawah begitu matanya bertemu pandang dengan Caca.
Ia tidak tahu kenapa dalam satu hari ini, ia harus terus-terusan menerima tatapan kesal dari cewek itu. Ia mengabaikan Caca, kembali mengaduk-aduk mie instannya. Seakan cewek itu bukan sesuatu yang penting untuk dilihat.
Bukan salahnya jika ia bertemu cewek itu di sini, di area yang tidak jauh dengan lokasi tempat tinggalnya.
Caca mendengus tak percaya dan melanjutkan langkahnya, melewati minimarket itu begitu saja dengan cepat.
Yang bener aja! Masa sampe harus ketemu di luar sekolah juga?!
Ditendangnya batu kecil yang ada di depan beberapa kali dengan kesal saat memikirkan perbedaannya dengan Aga dan kenapa dalam satu hari ini ia harus terus-menerus bertemu dengan cowok brengsek yang sudah membuat seragamnya basah kuyup itu!
Sialnya batu yang ditendang Caca tadi tidak sengaja mengenai kepala salah satu preman yang sedang nongkrong tak jauh dari sana hingga pria itu memekik kesakitan.
"Anjing!! Siapa yang ngelempar ba - Eh, eneng cantikkk. Baru pulang sekolah, neng?"
Laki-laki itu langsung merubah nada bicaranya begitu melihat Caca.
Ah sialll ....
“Maaf, Bang, maaf. Nggak sengaja tadi. Nggak tau kenapa tiba-tiba aja batunya jadi jatoh di kepala abang. Maaf ya, Bang,” ucap Caca cepat lalu buru-buru memutar tubuh.
"Neng mau ke mana neng?" teriak laki-laki itu sambil terus mengikuti Caca yang berusaha untuk kabur. “Kok maen kabur aja gitu, neng? Nasib abang pegimane nih? Neng!” laki-laki itu tertawa geli.
“Neng!”
Mampus!
Jantung Caca berdebar kencang dan langkah kakinya semakin cepat saat ia sadar tidak hanya satu orang yang mengikutinya sambil bersiul-siul. Ia hampir setengah berlari ketika akhirnya melihat minimarket tadi dilewatinya dan masuk ke sana tanpa pikir panjang. Mengambil tempat duduk lalu membuka botol mineral. Menghabiskan minumannya dengan cepat. Tangannya bergegar samar. Rasa takut mulai menjalari kakinya. Kenapa ia bisa sampai ke daerah sesepi ini sih?!
"Kenapa lo?"
Caca tersedak. Matanya melebar mendapati Aga ternyata duduk di sampingnya. Sejak kapan?!
"Lo... lo masih di sini?!"
"Baru mau pulang,” jawab Aga datar. Sejak awal dia memang duduk di situ. Caca saja yang tiba-tiba masuk dan langsung duduk di dekatnya.
Cowok itu meneguk minumannya, memperhatikan ekspresi Caca yang terlihat aneh.
Ini pertama kalinya ia melihat seorang Agisha Nanda mengeluarkan keringat dingin sebesar biji jagung.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Teen Fiction"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...