Chapter #05 Looking For

6.3K 410 14
                                    

Jam istirahat pertama, Dimas menyandarkan punggungnya di depan pintu kelas. Tidak seperti biasa, hari ini nada bicara cowok itu sedikit ketus hingga Caca mengira bahwa si tengil itu mungkin saja salah makan pagi ini.

Dimas tidak pernah bicara dengan nada serius seperti ini sebelumnya. Jelas ada sesuatu yang membuat laki-laki dengan tatanan rambut spike itu kesal pagi ini. Sesuatu yang menghancurkan mood ketua pramuka itu untuk tertawa lima detik yang lalu.

Tepat ketika Caca muncul di depan kelas dan bertanya, "Aga mana, Dim?"

Wow .... tunggu-tunggu....

"Tumben-tumben lo nyariin dia, Ca. Apakah ini tanda-tanda akhir zaman, Tuhan?" balasnya curiga.

Kedua tangan yang semula tersembunyi di saku celana sekarang terlipat di depan dada. Dimas bahkan mengabaikan ajakan teman-temannya untuk ke kantin dan memilih mengintrogasi cewek di depannya saat ini.

Ia menyuruh Geo dan Farhan pergi dengan satu kedipan mata dan lambaian tangan yang terang-terang mengusir keberadaan mereka yang jelas hanya menganggu percakapan ‘penting’nya dengan Caca.

Kenyataan bahwa Caca mencari Aga benar-benar merupakan suatu keajaiban dunia bagi Dimas. Keajaiban yang jelas mengusiknya dan jelas tidak ia sukai.

Bahkan ketika Dimas berusaha untuk tidak terganggu, rasanya sulit sekali. Seribu tanda tanya langsung muncul di atas kepalanya ketika memandang mata cokelat cewek galak itu.

Seorang Agisha Nanda, cewek yang paling terkenal galak sama semua cowok-cowok di sekolah, yang jelas-jelas amat sangat membenci Aga tanpa diketahui alasannya, tiba-tiba mencari Aga sendiri tanpa perantara dan itu jelas membuat segalanya menjadi sesuatu yang aneh.

Bahkan Farhan yang sejak tadi gak peduli dengan keberadaan Caca pun langsung noleh 180 derajat!

"Gue gak salah denger nih? Bukannya yang mulia Ratu biasa ngutus orang kalo ada perlu sama dia?"

"Bawel lu. Kayak gak pernah ngeliat tuh cowok dicari aja."

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Caca dan Aga adalah dua orang yang saling mengabaikan di sekolah. Tidak ada hubungan apapun yang membuat mereka terlihat seperti teman ataupun musuh.

Rival.

Kata yang lebih pantas untuk menggambarkan hubungan mereka. Namun semua itu ditepis Aga, karena Aga mengatakan bahwa ia sama sekali tidak punya urusan dengan cewek itu. Apakah Caca akan mengalahkan nilainya di ujian atau tidak, Aga sama sekali tidak peduli.

Namun dengan satu pertanyaan dari Caca barusan, segalanya menjadi tidak wajar bagi Dimas. Ada sesuatu yang terjadi di antara dua orang itu, dan ‘sesuatu’ itu membuat Dimas bertanya-tanya.

"Lo jawab aja Aganya di mana?"

"Lo jawab dulu ada apaan lo nyari Aga?"

Mulut Caca terbuka. Ditatapnya cowok itu tak percaya.

"Kalo lo nggak mau ngasi tau, ya udah, biar gue cari sendiri," jawab cewek itu kesal dan melangkah pergi.

Belum dua langkah, Caca membeku ketika Dimas tiba-tiba saja menempatkan satu tangannya ke tembok, menghalangi Caca. "Kasi tau gue dulu, baru gue ijinin pergi," ucap cowok itu.

Caca mendengus kesal, melangkah ke arah lain. Namun lagi, Dimas meletakkan tangannya ke tembok. Caca menatapnya tak percaya karena kali ini, kedua tangan Dimas justru benar-benar mengurungnya. Cewek itu tidak boleh pergi begitu saja tanpa penjelasan.

"Lo ngapain sih, bego? Gue mau lewat!"

"Lo nanyain Aga, kan?" tanya Dimas. "Aga ada di UKS," lanjutnya.

Caca memutar bola mata dan berusaha menyingkirkan tangan Dimas. Namun Dimas justru tidak membiarkan ia lewat. "Siapa bilang lo boleh pergi?"

"Dim, gue nggak lagi pengen bunuh orang pagi ini. Plis, jangan mancing emosi gue."

"Gue udah ngasi jawaban atas pertanyaan lo, Ca. Dan sekarang lo juga harus kasi jawaban atas pertanyaan gue. Itu baru yang dibilang seimbang. So, ada urusan apa lo nyari Aga?"

"Bayar utang. Puas?!" kesal Caca.

"Bayar kutang? Aga kan nggak pake kutang, Ca ...."

"AWWWW!!!"

Dimas memekik kaget ketika Caca menendang betisnya kuat dan lagi, untuk kesekian kalinya ia tidak bisa menghindar. Sebenarnya terbuat dari apa kaki cewek itu? Sejenis baja kah?

Di saat yang sama Caca juga bertanya pada dirinya sendiri. Sebenarnya terbuat dari apa otak cowok itu? Kenapa setiap apa yang keluar dari mulutnya tidak ada yang benar?!

"Utang bego! Bukan kutang! Korek tuh kuping bener-bener! Emang dasar otak lo cabul ya! "

"Sakit, Cewek Sarap!! Yang kemaren aja belom sembuh! Nafsu banget lo nendang gue! Kalo nafsu yang laen-laen sih nggak papa, asal jang- eitchhh!!" Dimas menarik kakinya cepat sebelum Caca sempat menendang betisnya lagi. "Nggak kena," ledeknya.

Caca kesal dan berlalu pergi sana tanpa mempedulikan laki-laki sinting yang masih berusaha memancing emosinya itu.

Sabar, Caca. Sabar. Orang sabar disayang Tuhan ... ucapnya dalam hati. Sabar ... sabar ....

"Benerin dasi lo ato gue tarik sampe bawah ntar!" teriaknya sedetik kemudian mengingatkan cowok itu sebelum benar-benar beranjak pergi.

"Iya, Iya. Galak amat. Cepet tua loh kalo ngomel-ngomel tiap ha—"

Begitu Caca melotot, Dimas buru-buru membenarkan dasinya tanpa pikir panjang. Sorot mata cewek itu kalau udah marah, seramnya melebihi emaknya di rumah. Sumpah. Bahkan untuk sekilas, sepertinya ia melihat pancaran api dibalik punggung Caca lengkap dengan tanduk di atas kepala cewek itu. Ia terkekeh pelan.

"Dia ngapain ke sini?"

Aga muncul tiba-tiba di belakang Dimas, membuat cowok itu kaget. Untunglah ia bukan orang yang latah.

"Anjritt! Ngagetin orang aja lo!"

Aga mengabaikan Dimas. Satu alisnya terangkat melihat punggung Caca yang menjauh dari koridor kelasnya. Tanda tanya muncul dibenak cowok itu tanpa pengulangan.

Otaknya teringat bagaimana Caca menatapnya penuh ketidakpercayaan tadi malam.

Tatapan yang mencambuk kulitnya dengan rantai panas hingga Aga merasa bahwa keberadaannya saat itu adalah sebuah dosa yang tidak termaafkan.

"Nyariin lo. Gue bilang lo di UKS, " jawab Dimas. "Lo pake kutang, Ga?"

Aga memandang Dimas. "Pake," jawabnya. "Polkadot. Mau liat?"

"Ihhh, najis! Gue nggak suka yang polkadot, yang banyak bling-bling nya, yang bisa glow in the dark" ucap Dimas lekas-lekas menjauh.

"Hmmm, gitu..."

"Lagian, bukannya lo disuruh ke UKS? Ngapain lo balik?"

"Bosen."

"Ngomong-ngomong si Caca ngutang apa-WOI, GA!!" teriak Dimas saat sadar bahwa Aga sudah tidak ada di sampingnya lagi.

Ketika ia menoleh ke belakang, Aga sudah menjauh meninggalkan kelas.

"Lo mau ke mana lagi, Ga?!"

"Balik ke UKS," jawab Aga.

“What?”

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang