Chapter #28 Reason

4.2K 329 7
                                    

Caca bergerak menaikkan selimut begitu udara dingin menjalari tulangnya. Ia menggigil. Tangan Ayu menimpa wajahnya dengan kasar. Bergerak menendang selimut di lututnya hingga selimut itu tak lagi menutupi kaki. Ditepisnya tangan Ayu dari wajahnya sambil mengerang pelan. Sesaat kemudian gantian kaki Ayu yang justru menimpa pinggulnya selagi gadis itu meracau dalam tidur.

“Udah gue bilang ... jangan deket-deket bego ... gue tabok lo ntar ... minggir … minggir ....”

Caca kesal.

Demi Tuhan! Ijinkan dia tidur dengan tenang lima menitttttt aja!

Caca menendang kaki Ayu dari balik selimut hingga kemudian membuat Ayu bergerak gelisah dan memeluk seseorang di sisi lainnya. Dian yang risih dipeluk sontak saja menyentak tangan Ayu dari tubuhnya hingga Ayu berbalik kembali memeluk Caca, membuat Caca mengerang pelan.Pada akhirnya Caca menyerah. Ia melempar kasar selimutnya ke wajah Ayu dengan kesal. Menyeret paksa bokongnya keluar dari tenda dengan mata berat kemudian mencuci muka.

Langit masih temaram. Burung-burung bahkan belum berkicaul. Kabut masih tebal pagi itu, terbawa angin dan menjelma layaknya kelambu. Dan matahari bahkan masih belum menampakkan tanda-tanda kemegahannya. Hanya bias cahaya kelabu yang menjadi pengiring bagi sang surya yang sebentar lagi bangun dari singgasana dalam perlahan.

Caca merenggangkan kedua tangannya ke atas, menurunkan satu tangan untuk menutupi mulutnya yang menguap lebar hingga ia melihat seseorang yang tidak asing sedang duduk di ujung bukit sana, di atas pagar pembatas.

“Ngapain lo pagi-pagi di sini?” tanya Caca sebagai bentuk sapaan lalu duduk di samping cowok yang sedang menatap arah kabut awan itu.

Aga melirik sekilas sebelum matanya kembali ke depan.

“Nggak bisa tidur,” jawabnya.

“Lo sendiri?”

“Ayu tidur kayak cacing kena abu. Nggak bisa diem. Besok-besok ingetin gue bawa tali, biar dia bisa gue iket dulu terus gue gulingin dalam selimut biar dia nggak bisa gerak-gerak. Heran gue."

"Kecil aja badan tuh anak tapi giliran tidur, satu tenda langsung di monopoli. Mana tuh tenda gedenya cuman seupil doang. Gimana gue bisa tenang tidurnya coba?”

Laki-laki ikut tertawa meskipun tanpa suara saat matanya menemukan semburat hangat di wajah Caca. Di hangatnya kedua mata coklat yang beralih memandang arah matahari terbit itu.

Caca menggosok-gosok kedua tangan untuk menghilangkan rasa dingin lalu memeluk dirinya sendiri yang kedinginan. Melihat Caca, Aga menarik tudung jaket Caca, menyentaknya ke depan hingga menutupi kepala cewek itu.

“Jangan sampai masuk angin,” ucapnya sebelum Caca bertanya.

Aga menerawang jauh ke depan saat warna magenta mulai terlihat semakin jelas menyambut sang matahari yang perlahan bangun dari tidurnya.

Warna yang sama dengan waktu kelahirannya. Tidak hanya Aga, Caca bahkan takjub ia bisa melihat pemandangan seperti ini. Kapan terakhir kali ia melihatnya?

Sepertinya tidak pernah sama sekali.Ia tidak pernah tertarik untuk buru-buru bangun dari tidurnya hanya untuk melihat matahari terbit. Jangankan dari puncak seperti saat ini, bahkan dari kaca jendelanya saja pun tidak pernah. Caca tidak mengerti dan tidak punya alasan kenapa ia harus repot-repot melakukannya. Karena itulah ia sedikit takjub sekarang.Memikirkan tentang indahnya matahari terbit saat ini, membuatnya serta merta ikut teringat pada nama Aga.

Laki-laki itu menyandang kata 'senja' di namanya. Kebalikan dari fajar, kebalikan dari sebuah ‘awal’. Seakan dirinya lahir untuk sebuah perpisahan. Mungkin karena itulah, laki-laki itu terlihat sangat merindukan fajarnya. Perumpamaan itu, justru meninggalkan perasaan sedih di hati Caca.

Ketika ia melihat bagaimana mata Aga menunggui sinar fajar yang belum muncul itu, seolah ia sendiri akan menghilang.

“Ca ...,” panggil Aga.

Dan ketika laki-laki itu kembali bicara pada Caca, suaranya seolah ia berada dari tempat yang tak tergapai. Aga mengumpulkan seluruh keberaniannya sebelum akhirnya benar-benar menanyakan pertanyaan yang selama ini menggantung di hatinya yang penuh luka.

“Kenapa lo benci sama gue?”

***

"Kenapa lo benci sama gue?" tanya Aga.

Sesaat kemudian ia tersenyum dan kembali menatap ke depan.

"Gue selalu nanya sama diri gue sendiri. Kenapa dulu lo benci sama gue? Dan gue gak tahu jawabannya."

Caca diam sesaat mendengarkan Aga. Untuk pertama kalinya cowok itu bertanya dengan serius.

"Lo nggak pernah ngomong baik-baik ke gue. Dan sebenernya malah nggak pernah sekalipun punya niat untuk bicara ke gue. Setiap kali ketemu atau berpapasan di koridor, senyum lo langsung menghilang."

"Kadang gue pengen ketawa ngeliat lo kayak gitu. Tapi di saat yang sama, gue juga bingung. Kenapa lo segitu bencinya sama gue?"

"Apa gue pernah nginjek kaki lo waktu mos?"

Aga terkekeh pelan, menunduk menatap sepatunya sendiri.

Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sedang ia sembunyikan dibalik senyumnya saat ini. Tidak. Bahkan Caca sekalipun. Namun gadis itu tahu jelas, bahwa ada luka di dalam bibir yang sedang tersenyum samar itu.

Caca menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan lalu mengalihkan matanya ke depan saat kedua manik kelabu Aga memandangnya. Akan lebih baik jika ia tidak terperangkap dalam rasa bersalah dan simpati pada laki-laki itu. Di kedua matanya saat ini, yang ada hanyalah tatapan kosong berbalut kesedihan yang mendalam. Meskipun demikian, sebaris senyum samar terukir di bibirnya ketika ia berdecak geli menertawai pikirannya sendiri.

"Gue benci sama lo karena gue iri," jawabnya sambil lalu.

"Iri?" Aga bingung.

"Hmmm,"dehem Caca, lalu kembali berkata, "Gue iri sama lo. Lo ngingetin gue sama Evan, kakak gue."

Caca mencoba tersenyum lagi. Hal seberat apapun jika dibawa tersenyum, akan terasa jauh lebih ringan. Namun entah kenapa yang keluar justru hanyalah seringaian sinis.

"Gue iri sama Evan dulu. Cemburu. Juga kesal."

"Dia selalu dipuji-puji bokap karena prestasinya. Dan gue selalu marah waktu bokap selalu banding-bandingin gue sama dia."

'Kamu harus bisa kayak kakakmu!'

'Ini baru anak kebanggaan papa!'

'Anak laki-laki emang jagoan!'

Suara gadis itu kesal saat meniru kalimat sang ayah yang dulu sering membuatnya menangis di pojok kamar.

"Sumpah, kuping gue rasanya berasap mulu tiap dengerin bokap gue ngedumel. Dan akhirnya gara-gara bokap juga, gue jadi kesetanan belajar sampai sekarang. Demi ngejar Evan."

"Gue juga pengen dibangga-banggain. Dan gue jadi kesal dengan dia. Terkadang timbul pikiran jahat di benak gue yang berharap, seandainya aja kalo Evan nggak pernah lahir."

"Apa kehidupan akan baik-baik aja kalo dia nggak ada?"

"Dan gue nggak pernah tahu, kalo pada akhirnya dia bakalan benar-benar pergi dan bikin gue merasa jadi orang yang paling berdosa karena pernah berharap kalo aja dia nggak pernah lahir."

"Karena itu, gue nggak bisa maafin diri gue sendiri."

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang