Pembohong ....
Caca mengepalkan tinjunya erat di sisi tubuh melihat bangku Aga tetap kosong setelah kelas dimulai beberapa jam yang lalu. Dadanya sesak. Perasaan dikhianati menyusup di setiap tarikan napas gadis itu.
Aga membohonginya. Laki-laki itu membohonginya. Bahkan ketika ia sudah tahu sejak awal ia dibohongi, rasanya tetap saja menyakitkan ketika kebohongan itu menjadi nyata. Ingin rasanya ia menendang sesuatu saat ini. Terserah apapun itu asalkan ia bisa meluapkan kekecewaannya.
Kecewa?
Ah, benar. Gadis itu kecewa. Sekalipun ia sudah menduga ini sebelumnya. Teringat bagaimana Aga menjawabnya tadi malam, ia sudah tahu pada akhirnya ia akan dikecewakan.
Ia tahu bahwa hatinya akan merasa nyeri namun masih meletakkan harapan itu dalam sebuah tabung kaca di hatinya. Hingga kemudian tabung itu perlahan retak. Matanya panas menahan air matanya agar jangan sampai jatuh. Ia menggigit bibir bawahnya saat meredam perasaan kesal.
Saat ini ia hanya berharap agar sekolah cepat selesai dan langsung pergi ke apartemen cowok brengsek itu. Bahkan jika laki-laki itu tidak mau membuka pintu apartemennya, gadis itu sudah bertekad akan mendobrak pintu itu hingga hancur. Ia tidak peduli lagi. Terserah.
BUKKK!!!
AWWW!!!
Caca meringis saat tak sengaja menabrak seseorang di depannya. "Sorry," ucapnya dan berlalu pergi begitu saja.
Ia sedang tidak bersemangat mengomel hari ini. Pikirannya sedang fokus ke sebuah rencana lain. Hingga berapa orangpun yang disenggolnya di koridor tidak terlalu ia sadari. Hanya kata 'maaf' acuh tak acuh yang keluar dari sela bibir tanpa memperhatikan. Berjalan dengan kepala tertunduk menyembunyikan matanya yang merah.
"Kenapa lo nangis?"
Suara itu menghentikan langkahnya. Caca mengangkat kepalalalu menoleh ke seseorang yang ditabraknya tadi. Matanya melebar mengenali sosok yang berdiri di belakangnya itu. Jantungnya melompat dalam sedetik. Aga ...
Buru-buru dihampirinya laki-laki itu dan menendang tumitnya keras hingga membuat si empunya kaki berteriak pelan kesakitan.
"Sakit, Ca!"
"Lo tuh ya!"
"Apa?"
Caca terdiam. Mulutnya terbuka dan matanya membulat dengan kerutan di keningnya. Ia baru sadar kalau Aga sudah kembali bersikap normal seperti biasanya meskipun wajahnya penuh dengan luka.
Bibir Aga melengkung nembentuk senyuman hangat. Ia menyeret langkahnya dan duduk di pagar pembatas antara koridor kelas dan lapangan basket. Ditariknya satu tangan Caca mendekat dan memeluk gadis itu. Mengabaikan pasang mata yang sesekali melintas dan berbalik melihat mereka. Ia tidak peduli. Jika kehidupan tidak peduli dengan apa yang ia rasakan, kenapa ia harus peduli?
"Lo udah nggak papa, Ga?"
"Hmmm," Aga mengangguk dengan memejamkan matanya sekali lalu tersenyum.
"Lo yakin?"
Laki-laki itu menunduk, memandang tangan Caca yang digenggamnya. Mengelusnya pelan dalam sorot mata yang dalam.
"Gue gak yakin," ucapnya jujur. Sesuai dengan yang diminta Caca tadi malam. "...tapi seenggaknya saat gue peluk lo kayak gini, gue ngerasa kalo gue akan baik-baik aja."
"Ga..."
Aga melepaskan pelukannya namun tidak dengan tangannya yang menggenggam tangan Caca. Ditatapnya sepasang mata cokelat yang sedang memandangnya tulus itu.
"Terkadang gue takut kalo lo ternyata cuman ilusi dan menghilang saat gue bangun. Karena itu gue harus genggam tangan lo kayak gini, agar gue yakin kalo lo nggak bakal pergi ke mana-mana."
Caca terdiam sejenak. Mengamati kelopak mata yang tertutup di sana. Menyembunyikan matanya yang penuh dengan harapan menyakitkan. Karena sekali lagi, Aga sangat takut dengan harapannya sendiri. Dan ia sadar, gadis ini adalah satu-satunya harapan terbesarnya yang tersisa.
"Gue nggak akan ke mana-mana, Ga," ucap Caca. "Gue nggak akan ninggalin lo apapun yang terjadi. Gue akan selalu di dekat lo ketika lo butuh tempat untuk bersandar. Karena itu, jangan pernah nanggung semua luka lo sendirian. Lo punya hak untuk nangis. Nggak ada yang bisa ngelarang lo. Dan jika memang ada, biar gue tabok tuh orang pake sepatu gue. Gue serius."
Aga tidak tertawa.
Ia hanya bisa menatap gadis itu, menyentuh wajah gadis bermata coklat hangat itu perlahan dengan ujung jarinya dan menyelipkan rambut di sekitar pipi gadis itu ke belakang telinga. Mencoba meyakini bahwa Caca memang benar nyata di sana. Diciumnya tangan Caca dalam-dalam. Dengan sepenuh jiwanya yang masih tersisa sebelum kemudian membuka mata.
"Sana gih balik ke kelas. Gue harus pergi sekarang,"
"Lo mau ke mana lagi sih, Ga?!"
"Cuman sebentar. Gue pasti balik lagi," jawab Aga.
"Gue datang ke sini karena gue butuh charger untuk ngisi ulang tenaga gue," lanjutnya.
Aga berdiri dari pagar tembok tempatnya duduk, lalu menepuk puncak kepala Caca di saat yang sama ketika bahunya melewati gadis itu tanpa menoleh.
Hanya menepuknya sekali. Bukan mengacak-acak puncak rambutnya seperti biasa. Dan itu membuat Caca tertegun. Kenapa kali ini terasa begitu berbeda?
Caca tidak bisa mengatakan apapun saat melihat punggung Aga menjauh. Ia mengepalkan tangannya ketika merasakan perasaan aneh itu dada.. Di satu sisi ia merasa lega karena Aga sudah kembali.
Di sisi lain ia merasa bahagia karena Aga membutuhkannya. Namun di saat yang sama ia juga merasakan sengatan yang membuat jantungnya melambat mengiringi tiap langkah Aga hingga ia melihat laki-laki itu masuk ke sebuah mobil yang sudah menunggunya di depan gerbang sekolah.
Sengatan aneh yang membuat denyut jantungnya terasa nyeri dan memilukan.
Apa ini?
Kenapa?
Bukankah seharusnya saat ini ia merasa senang?
Tapi kenapa justru sebaliknya?
Kenapa hatinya justru memintanya untuk menahan Aga?
Kenapa ia merasa dadanya terasa sesak?
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Fiksi Remaja"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...