Chapter #17 I was there

4.9K 376 16
                                    

Aga menenggelamkan dagunya pada bahu Caca, membungkam gadis itu.Ia tidak bisa bicara lagi. Suaranya hampir hilang. Yang bisa ia lakukan hanyalah menutup matanya.Merasakan detak jantung Caca yang berdebar keras dalam pelukannya saja, sudah cukup untuk membuatnya tenang.

Ia suka setiap debaran jantung Caca yang bertalu cepat saat ini. Setiap degupannya yang berlomba dengan tarikan napas.

***

Begitu sampai di rumah, Caca menghempaskan tas, tubuh dan hatinya ke kasur dengan keras.Bening matanya memandang kipas angin yang berputar di langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Pikirannya masih berada di tempat lain. Dan ia tak tahu kemana pikiran sintingnya itu berada saat ini.

Ia menggeleng keras, berusaha kembali mengumpulkan otaknya yang sedang berkelana jauh lalu memeluk guling kesayangannya, berusaha memejamkan mata. Ia hanya ingin beristirahat dengan nyenyak malam ini. Tanpa bayangan apapun. Tanpa perasaan gundah apapun yang membuat hatinya merasa tidak nyaman saat ini. Astaga!

Namun saat Caca berhasil memejamkan mata, ingatan di apartemen itu justru kembali muncul di kepalanya. Wajah Aga kembali muncul di otaknya.Bagaimana Aga tiba-tiba memeluknya saat itu. Bagaimana ia bisa merasakan debar jantung Aga di dadanya yang bertalu tenang.

Kata-kata yang diucapkan Aga dalam keheningan itu. Kesedihan yang samar-samar terdengar dalam suaranya yang tenang. Kepedihan yang berusaha diredam dalam mata kelabunya yang sendu. Caca tiba-tiba saja berdetak perih.

Sebentar aja, Ca. Setelah itu lo boleh pergi ....

Lagi-lagi Caca menepuk-nepuk dadanya sambil menarik napas dalam-dalam. Seumur hidup, baru kali ini ia dipeluk seorang cowok. Dan bagaimana mungkin bisa-bisanya dia tidak melawan?! Bagaimana mungkin ia membiarkan Aga memeluknya seperti itu?!

Ca, otak lo ilang di mana sih, Ca?! Sadar, Ca! Dia itu Airlangga! Dia Airlangga! Cowok yang seharusnya lo kalahkan! Lo nggak boleh berdebar karena cowok itu! Lo nggak boleh sampe suka sana dia!

"Sekalipun gue tahu gue nggak berhak, sekalipun gue tau kalo lo benci sama gue, tapi gue suka lo ada di sisi gue saat ini.”

Suara Aga kembali muncul dalam benak Caca dan membuat Caca berhenti menjambak rambutnya sendiri.

“Tenang aja. Gue nggak lagi nembak lo. Jadi jangan dijawab.”

Kalau bukan nembak, jadi maksudnya apa coba ngomong kek gitu?!

"Arrrrggghhh!"

Caca mengerang frustasi. Dia tidak mengerti sama sekali, Tuhan! Tolong!

Sebuah ketukan pelan terdengar di pintu.

"Caca .... kamu ..."

Caca menoleh mendapati ibunya berdiri di depan kamar dengan tampang heran. Baru saja ia ingin menanyakan keadaan Aga, ketika melihat putrinya itu berteriak-teriak seorang diri di dalam kamar seperti orang kerasukan.

"Kamu ... gak apa-apa, kan?" tanya wanita itu bingung pada akhirnya.

***

Langit gelap seperti biasa begitu malam tiba. Namun apartemen milik cowok itu tetap gelap seperti yang selalu terlihat, hanya mengandalkan cahaya telivisi serta sinar rembulan yang menyusup dari jendela balkon yang sengaja dibiarkan terbuka menerangi ruang tengah. Mengirimkan angin malam yang berhembus di kulitnya pelan.

Hari ini tidak banyak yang bisa ia lakukan kecuali baring dan menonton tv. Piring-piring kotor telah dicuci. Lantai telah di pel. Dan baju kotor telah dicuci dan dikeringkan oleh Caca yang tiba-tiba saja muncul di depan pintu apartemennya dan menjelma menjadi baby sitter. Aga terkekeh pelan mengingat bagaimana ia dengan jailnya mengerjai gadis itu hingga pipinya memerah seperti tomat yang baru matang. Kecuali sekantong plastik jeruk yang dibawa Caca diletakkan di atas meja, tidak ada lagi yang tersisa dari gadis itu.

Aga menghela napas pelan, mengulurkan tangannya ke bawah lalu menggelitik dagu kucing kecil yang muncul di bawah sofa tempatnya berbaring saat ini.Tangannya kemudian terangkat memegangi ponsel dan melihat-lihat album foto seseorang yang ditampilkan di layar.

Beberapa foto yang sempat diambilnya secara diam-diam tadi. Foto yang memperlihatkan seorang cewek yang sedang berdiri di depan meja kompor dengan rambut dikuncir asal. Jika saja Caca tahu, lehernya pasti sudah patah saat ini. Tiba-tiba saja ia ingat dengan apa yang ditanyakan cewek itu beberapa saat yang lalu.

'Ngomong-ngomong, kemarin kenapa lo gak dateng?'

'Dateng ke mana?'

'Ke ragunan..!'

Aga menggeser jarinya di atas touchscreen beberapa kali. Mencari sebuah foto yang lebih jauh.

Hingga kemudian layar tersebut menampilkan pemandangan dari samping seorang gadis di tengah malam yang sedang tersenyum lebar menatap ke langit malam. Ke arah lampion yang ia terbangkan bersama ratusan lampion lainnya.

***

Dengan tudung jaket menutupi kepala dan bahu yang masih sakit ketika tersenggol, laki-laki itu melewati kerumunan keramaian pengunjung yang rata-rata adalah murid SMA Airlangga dan SMA lain-lainnya.Di panggung yang berada di tengah lapangan, ia mengenali Alvin yang sedang semangat menyanyi menghibur ratusan cewek-cewek di bawah.

Suara musik berdentam cukup keras di telinga Aga dan ia meringis ketika beberapa orang kembali tak sengaja menabrak bahunya yang terluka.

Aga melangkah ke tempat yang lebih tenang, menghindari pekikan histeria ke bagian lain. Melintasi koridor timur yang lebih sepi. Entah apa yang ia cari, ia sendiri tidak berani memikirkannya.Dia hanya tahu, bahwa hatinya sedang ditarik ke suatu tempat. Dan di sanalah langkahnya berhenti, di ujung koridor yang berhadapan dengan beberapa stand makanan anak kelas sebelas.

Matanya memandang jauh ke depan, ke tempat duduk yang berada tak jauh dari ruang osis. Caca ada di sana bersama Dimas. Tawa menyenangkan tersungging di sudut bibir gadis itu ketika meladeni lelucon yang dibuat oleh Dimas.

Kemudian lampion-lampion perlahan diterbangkan ke udara. Begitupun yang dilakukan Caca. Dilihatnya gadis itu menuliskan permohonan di kertas lampion lalu memejamkan mata dan berdoa.

Melihat Caca saat itu, Aga merasa waktunya berhenti berdetak. Jantungnya perlahan berhenti berdebar dan dunianya serasa berhenti berputar.

Aga tak bisa melepaskan matanya dari cewek itu. Ia tidak tahu kenapa, namun rasanya ia sanggup berdiri di sana seharian hanya untuk memandangi Caca. Seakan bukan gravitasi yang menahannya untuk tetap berdiri, namun gadis yang ada di seberang mata itu, Caca.

Aga mengeluarkan ponselnya dari saku dan memotret Caca, menyimpan foto gadis itu dalam dua memori yang ia miliki sebelum kemudian memutar tubuhnya dan melangkah pergi pergi dari sana sebelum Caca menoleh dan menyadari kehadirannya.

Ia tidak tahu harapan apa yang dituliskan oleh gadis itu. Namun apapun itu, semoga Tuhan mengabulkannya.

***

Sepasang mata kelabu yang meneduhkan itu kembali memandangi layar ponselnya, memandangi wajah Caca yang sedang tulus berdoa juga wajah yang sedang tersenyum senang memandangi ratusan lampion yang terbang di langit. Sudut bibirnya terangkat samar ketika sebentuk senyuman terukir di sana. Tidak hanya di mulut, namun juga di kedua sorot matanya yang tak terbaca.

"Gue ada di sana, Ca," gumam cowok itu kemudian.

"Gue ada di sana."

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang