Chapter # 34

4K 315 16
                                        

“Baca apaan?”

Aga muncul tiba-tiba di belakang Caca setelah beberapa saat sibuk menelusuri gramedia dan mencari bukunya sendiri, membuat gadis itu menoleh padanya karena kaget. Ia bisa merasakan napas Aga yang berhembus teratur saat laki-laki itu membaca sinopsis di cover belakang novel yang sedang dipegangnya. Menyandarkan dagunya di bahu Caca tanpa mempedulikan reaksi cewek itu.

Cobaan ... cobaan ....

“Udah dapet buku yang lo cari?” tanya Caca mengalihkan perhatian.

Aga mengacungkan sebuah buku di tangannya sebagai jawaban. The Tale of Despereaux tertera di cover depannya dengan gambar seekor tikus berpedang. “Udah,” jawabnya sambil tersenyum.

Caca mengambil buku anak-anak karya Kate DiCamillo yang dipegang Aga.

“Buku apaan sih emangnya?” gumamnya lebih kepada diri sendiri sambil membuka halaman-demi halaman. Namun matanya dibuat keriting dalam sekejap. “Bahasa inggris semua?! Ah, gila! Mana gue bisa baca.”

“Bukannya lo jago bahasa inggris?”

“Gue bukan jago. Tapi paham. Cuman kalo lo kasi gue buku full teks bahasa inggris kayak gini, gue angkat tangan deh. Nyerah. Terlalu berat buat gue. Bikin pusing doang.”

Aga tersenyum, mengambil teenlit yang dipegang Caca lalu mengetukkannya ke puncak kepala gadis itu.

“Kalo gitu lo baca yang ini aja. Gue nggak mau lo pusing,” ucapnya jahil dan berlalu pergi membayar dua buku itu. Meninggalkan Caca yang masih tidak percaya melihat sikap manis Aga.

♦♦♦

Hiruk-pikuk suasana malam terdengar samar dari sebuah balkon apartemen di lantai lima puluh sana. Tidak seperti sekelilingnya, apartemen itu gelap. Tanpa lampu yang menghiasi seluruh ruangannya. Namun kegelapan itu tak benar-benar membutakan mata. Bias sinar dari bulan dan lampu-lampu gedung pencakar langit yang menyusup baginya sudah lebih dari cukup sebagai sumber pencahayaan seperti biasa. Di sana,  Aga duduk bersandar di tepi jendela balkon sambil duduk menyandarkan punggungnya pada tepi pintu kaca.

Satu kakinya berselanjar lurus di lantai sementara yang satunya sengaja ditekuk sebagai sandaran buku. Tangannya bergerak sesekali membuka halaman demi halaman. Di balik kacamatanya, kedua manik kelabu hangat itu menekuni setiap kalimat di sana. Buku yang sama yang tergeletak di nakas kamar ibunya waktu itu.

Matanya berhenti sejenak pada baris terakhir kalimat di sana sebelum ia menutup buku itu dan mengalihkan pandangannya pada pemandangan Jakarta di malam hari dari atas sana.

There is nothing sweeter in this sad world than the sound of someone you love calling your name.

Kalimat terakhir yang ia baca membuat angannya bermain dalam benak. Menari dalam pikirannya dengan seutas tali yang bisa ia raih. Namun sebelum ia menggapai angan itu, ia menyerah.

Matanya menunduk ke bawah sesaat. Menatap kosong lantai di bawah kakinya sambil mengangkat panggilan yang terus masuk di handphonenya. Mendengarkan suara panjang lebar dari seberang telpon. Ia menelan ludahnya pelan dan menarik napas mendengarkan penjelasan Bi Surti. Sebelum kemudian ia menjawab pertanyaan wanita itu. Mencoba tersenyum menenangkan. Bukan menenangkan suara si penelpon. Tapi menenangkan dirinya sendiri bahkan sekalipun ia tak menyadari.

“Ya,” ucapnya, “Aku pulang besok, Bi.”

Aga menutup telpon. Rasa takut menjalari seluruh kakinya, membuatnya tidak bisa berdiri. Ia hanya bisa tertunduk dan menyandarkan bahunya pada kaca jendela balkon. Memegang buku itu di tangannya.

Mencoba untuk tidak memikirkan apapun. Ia tidak boleh memikirkan apapun. Tolong… jangan memikirkan apapun.

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang