Dian diam sambil sibuk memainkan game di layar ponsel sementara Ayu menempelkan ponselnya ke telinga, sesekali melirik was-was ke depan.
"Ca, lo di mana? Mereka udah nungguin dari tadi nih. Gue mati kutu duduk di depan Alvin."
Terdengar balasan dari seberang telpon, Ayu langsung kembali menjawab, "Oke, oke. Cepetan ya!" dan menutup telponnya sambil tersenyum tidak enak.
Alvin menoleh pada Dian Cewek berambut hitam panjang yang dibiarkan tergerai lurus dengan kedua bola mata coklat gelap dan alis tebal alami. Wajahnya mengingatkan Alvin pada karakter-karakter cewek di film korea.
Hanya saja, game di mata cewek itu lebih penting dari seorang Alvin di depannya. Setelah berkenalan dan bicara singkat tentang pensi sekolah yang akan diadakan beberapa hari lagi, cewek itu tidak mengucapkan sepatah apapun selanjutnya.
Berbeda dengan Dian yang jutek parah, Ayu seratus delapan puluh derajat kebalikannya. Dia tipikal cewek periang yang cepat akrab dengan siapa saja dan sangat suka tertawa dan bercanda. Dalam sebentar saja cewek itu sudah bisa langsung akrab dengan Rio yang duduk di sebelah Alvin.
Cowok itu mengalihkan matanya dari Ayu dan menatap jendela. Percakapan antara Rio dan Ayu sama sekali tak menarik baginya.
"Masih lama ya?" tanya Alvin, mengetuk-ngetukkan jari di atas meja sambil memandang keluar jendela.
Alvin bukan tipikal orang yang suka menunggu. Ia bahkan benci jika harus dibuat menunggu. Namun demi permohonan sepupunya, Reval, yang sampai rela berlutut demi mengatur pertemuan ini, alhasil cowok itu harus merantai kakinya sendiri ke meja agar tidak pergi dari sana. Sudah lewat lebih dari satu jam, namun yang ditunggu tidak kunjung muncul juga. Hal ini membuat Alvin kembali menghembuskan napas berat selagi menghitung jumlah orang yang lalu lalang di depan cafe.
Ia baru saja akan kembali bertanya pada Ayu tepat ketika Caca muncul dengan napas ngos-ngosan. Seperti habis berlari cepat.
"Maaf, maaf. Gue telat," ucapnya.
Alvin menoleh pada cewek itu dan senyumnya langsung mengembang ke udara. Sekarang ia mengerti, kenapa Reval sampai berlutut memaksanya membantu Caca. Dia ... manis. Manis banget!
Rambut ikal panjang yang dikuncir asal, wajahnya yang kecil, mata cokelat susu yang sangat indah, garis hidung yang sempurna serta bibir kecilnya yang polos tanpa sapuan lipstik maupun lipgloss. Kalau yang kayak begini mah, jangankan Reval, Alvin yang disuruh berlutut pun cowok itu nggak akan nolak.
"Nggak apa-apa. Santai aja. Kami berdua juga lagi punya waktu luang hari ini."
Alvin mengubah moodnya dalam sekejap. Kehadiran cewek bernama Caca seperti moodbuster untuknya. Penyingkir segala energi-energi negatif yang menyelimutinya beberapa saat yang lalu. Cowok itu tersenyum. "Jadi lo ketua osisnya?" tanyanya lagi.
"Ya. Gue Agisha Nanda. Lo bisa panggil gue Caca aja."
"Oke,” angguk Alvin. “Gue Alvino Mahendra. Dan yang duduk di samping gue ini-"
"Gue Rio," sahut Rio mengulurkan tangannya dan disambut Caca sebelum Alvin sempat menyelesaikan perkenalannya.
“Oke. Jadi kita langsung aja. Jadi gini ....”
Caca menjelaskan pada Alvin dan Rio tentang festival yang akan diadakan beberapa hari lagi dan masalah dengan band tamu sebelumnya. Alvin mendengarkan Caca sambil terus mengikuti setiap pergerakan cewek itu dan sesekali tersenyum, sekalipun ia tidak sepenuhnya mendengarkan.
Caca berdehem pelan, mencoba menyadarkan Alvin yang sepertinya sedang melamun seorang diri dengan senyum mengembang di ujung bibir dan membuat Caca memutar bola mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Novela Juvenil"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...