Chapter #39 Give Up

4.6K 319 22
                                        

Caca masih sibuk seorang diri. Mondar-mandir di dalam kamarnya tanpa tujuan yang jelas. Ia masih mencoba menghubungi nomor Aga yang tidak pernah aktif, berapa kali pun ia mencoba. Mengirimkan pesan-pesan yang tak pernah terbaca.

Ke mana sebenarnya laki-laki itu pergi?

Ke mana dia menghilang?

Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?

Caca mendesah dan menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Memejamkan mata, membiarkan lagu mengalun dari ponselnya. Namun tetap saja ia merasa gelisah. Apa pun yang ia lakukan, bayangan Aga selalu muncul, menekan dadanya pelan tapi terus-menerus.

Terlebih ingatan tentang malam terakhir itu. Saat Aga tiba-tiba memeluknya—terlalu erat. Terlalu lama. Seolah itu pelukan perpisahan.

Getar ponselnya membuat Caca terlonjak. Nomor Dimas muncul di layar. Ia mengangkatnya sambil mengeringkan rambut dengan handuk.

Satu-satunya orang yang paling dekat dengan Aga.

“Hmm. Napa, Dim?” tanyanya tanpa basa-basi.

Suaranya terdengar lelah. Kehilangan Aga menguras habis semangatnya. Ia sudah menunggu berhari-hari di depan apartemen itu, namun Aga tak pernah muncul. Seolah laki-laki itu menguap dari dunia.

“Aga udah ketemu, Ca …”

Caca terdiam. Menelan ludah.
“Serius?”

“Iya.”

“Di mana? Dia sekarang di mana? Nggak terjadi sesuatu yang buruk, kan?”

“Hm… gue nggak yakin.”

Jantung Caca berdegup keras.

“Mungkin… lebih baik lo ke sini. Liat sendiri.”

“Ke mana?”

Dimas menarik napas berat sebelum menjawab.

“Kantor polisi.”

---

Dimas menyandarkan kepalanya ke tembok dingin. Ujung bibirnya yang pecah berdenyut nyeri. Di seberang sana, Aga duduk bersandar ke dinding sel, kepala tertunduk, tubuhnya seperti kehilangan seluruh isi.

Dimas sudah mencoba semuanya.

Bertanya. Memaki. Memohon.

Ke mana dia pergi.
Kenapa menghilang.
Apa yang dia lakukan pada dirinya sendiri.

Tapi Aga tidak menjawab satu pun. Diam. Membatu.

Dimas tertawa pendek tanpa suara dan membenturkan kepalanya pelan ke tembok. Frustrasi. Ternyata legenda Malin Kundang memang nyata. Manusia bisa berubah menjadi batu.

Beberapa saat kemudian, pintu sel terbuka. Seorang petugas menyuruh mereka keluar. Di balik pintu, seorang laki-laki berdiri menunggu.

Bastian.

Langkah Dimas terhenti sepersekian detik.

Wajah itu—
ia mengenalnya.

Bukan dari sekarang.

Rumah sakit.

Ingatan lama menyeretnya mundur bertahun-tahun lalu.

Ruangan pengap di sebuah sekolah menengah pertama. Dua sekolah berbeda. Anak-anak kelas satu dan dua yang “terpilih”. Diculik. Dikumpulkan. Dikunci. Dijadikan hiburan.

Gladiator kecil.

Taruhan bagi para senior.

Dimas ingat lantai dingin itu. Ingat pukulan yang tidak berhenti. Ingat rasa sakit yang membuat napasnya terputus-putus. Ia sudah tidak bisa berdiri. Tidak bisa melawan.

Ia ingat dirinya bergumam setengah sadar, setengah putus asa.

Emak gue bakal ngamuk kalo tau gue mati babak belur kayak gini…”

Lalu seseorang maju.

Aga.

Tanpa ragu, ia yang sudah terluka berat, menarik Dimas mundur dan mengambil posisinya. Mengambil semua pukulan yang seharusnya menghancurkan tubuh Dimas. Melawan balik sampai tubuhnya sendiri akhirnya tumbang, hanya untuk seseorang yang tidak ia kenal.  Tak pernah ada yang tahu alasannya. Seolah, anak itu memang cari mati.

Hingga kemudian, Polisi datang. Semua kacau.

Aga terbaring di rumah sakit dengan dada terbalut perban. Tulang rusuk patah. Mesin berdetak pelan di sampingnya.

Dokter berkata hati-hati,
“Dia sempat koma.”

Hari-hari berlalu. Minggu-minggu.
Aga tidak sadar.

Dan di lorong rumah sakit itulah Dimas pertama kali melihat Bastian. Berdiri tenang. Berbicara dengan dokter. Mengurus segalanya.

Jelas, laki laki itu bukan orang biasa.

“Semuanya sudah diselesaikan.”

Suara Bastian menariknya kembali ke sekarang.

Dimas mengangguk.
“Terima kasih.”

Aga tidak berkata apa-apa.

Ia melangkah pergi dengan langkah gontai. Hampir jatuh. Dimas reflek menahan tubuhnya, namun Aga menepis tangannya kasar.

Ia tidak butuh ditopang.
Tidak butuh dikasihani.

“Caca lagi ke sini, Ga.”

Langkah Aga ragu sesaat.

Nama itu.
Realitas yang tak bisa ia hindari.

“Dia nyariin lo setiap hari,” ujar Dimas pelan. “Gue rasa… dia harus tau keadaan lo.”

Aga tetap diam. Lalu kembali berjalan seolah tidak mendengar apa pun.

Dimas menghela napas.

Satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mengikuti Aga pulang—
dan memastikan sahabatnya itu
tidak benar-benar memilih mati... seperti yang diinginkannya sejak lama.

...

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang