Caca masih sibuk seorang diri. Mondar-mandir di dalam kamarnya tanpa tujuan yang jelas. Ia masih mencoba untuk menghubungi nomor Aga yang tidak pernah aktif berapa kalipun ia mencoba. Mengirimkan pesan-pesan yang tak pernah terbaca.
Ke mana sebenarnya laki-laki itu pergi?
Ke mana dia menghilang?
Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?
Caca mendesah dan melemparkan tubuhnya ke atas kasur. Memejamkan mata dan mendengarkan lagu. Namun tetap saja ia merasa gelisah. Apapun yang ia coba lakukan, bayang-bayang Aga selalu saja muncul membuatnya resah.
Terlebih ingatan tentang terakhir kalinya Aga menemui dirinya malam itu. Ingatan ketika Aga memeluknya tiba-tiba.
Suara ringtone dan getar dari handphonenya terdengar ketika gadis itu baru saja kembali dari kamar mandi. Nomor Dimas tertera di layar. Ia mengambil dan dengan satu klik-kan cepat menjawab panggilan selagi mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Hanya Dimas satu-satunya orang yang paling dekat dengan Aga.
“Hmm. Napa, Dim?” tanyanya tanpa basa-basi.
Tampak malas. Ya. Ia memang sedang tak bersemangat dengan apapun saat ini. Kepergian Aga benar-benar menguras semangatnya. Ia tidak tahu harus mencari Aga ke mana lagi. Setiap hari menunggu di depan apartemen Aga, tapi laki-laki itu tidak pernah muncul sekalipun seakan keberadaannya tidak pernah ada.
“Aga udah ketemu, Ca ...”
Caca terdiam sesaat. Ia menelan ludahnya. “Serius?!”
“Hmm ....”
“Di mana? Aganya sekarang di mana? Nggak terjadi sesuatu yang buruk, kan?”
“Gue nggak yakin, Ca.”
Jantung Caca mulai berdebar keras. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukan sesuatu yang buruk, kan?
“Mungkin... lebih baik lo ke sini, ngeliat sendiri.”
“Ke mana? Lo di mana sekarang?”
Dimas menghela napas berat sesaat kemudian sebelum menjawab pertanyaan Caca dan membuat gadis itu terdiam.
“Kantor polisi.”
***
Dimas menyandarkan kepalanya pada tembok. Ujung bibirnya yang pecah berdenyut nyeri. Ditatapnya Aga yang duduk tepat di dinding seberang sana dengan kepala tertunduk lemas kemudian memaksa laki-laki itu untuk bicara. Menyuarakan begitu banyak pertanyaan.Apa yang terjadi? Ke mana dia menghilang selama ini? Kenapa dia tak memberi kabar apapun? Apa yang sebenarnya dilakukan si sinting itu?
Tapi Aga tak menjawab satupun pertanyaannya. Ia bungkam seribu bahasa. Dimas menyerah dan kembali membentur-benturkan kepalanya pada dinding sel. Frustasi. Ternyata legenda malin kundang itu benar. Manusia bisa berubah menjadi batu. Setidaknya seperti seseorang di depannya saat ini. Hatinya berubah menjadi sekeras batu.
Beberapa saat kemudian seorang petugas berseragam membuka kunci pintu sel dan menyuruh mereka keluar bersamaan dengan kemunculan Bastian dan kepergian seorang pengacara yang telah menyelesaikan urusan mereka. Ia tidak terlalu heran ketika melihat kemunculan laki-laki berpakaian formal itu. Tidak asing baginya. Seakan sudah sering melihat sosok itu di belakang Aga selama ini.
“Semuanya sudah diselesaikan. Maaf, karena sudah membuat kamu dalam masalah,” ucap Bastian pada Dimas.
Dimas mengangguk berterimakasih. Namun tidak dengan Aga. Cowok itu tak mengucapkan sepatah katapun dan berlalu begitu saja dengan langkah gontai dan berat. Dimas menahan tubuh Aga ketika sahabat gilanya itu hampir jatuh. Aga menepis tangan Dimas dengan kasar. Ia tidak butuh ditopang. Tidak butuh dikasihani. Ia tidak butuh pertolongan apapun. Tidak butuh.
“Caca lagi ke sini, Ga.”
Langkah Aga bimbang sejenak. Sesuatu menyadarkannya. Sesuatu yang ia lupakan untuk sesaat. Sesuatu yang ikut menambah sakit di hatinya. Pada akhirnya, keberadaan nama itu pasti juga akan menjadi kenyataannya yang menyakitkan.
“Dia nyariin lo setiap hari. Jadi gue rasa dia harus tau keadaan lo,” jelas Dimas.
Aga tetap diam. Namun sesaat kemudian ia kembali menyeret langkahnya seakan tidak pernah mendengar apapun. Dimas mengalah.
Satu-satunya yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah memaksa mengikuti Aga pulang dan memastikan bahwa laki-laki idiot itu tidak melakukan hal-hal bodoh.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Novela Juvenil"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...