Chapter #49 When the time is gone, no chance to left

4.4K 309 30
                                        

Lampu merah di atas pintu ruang operasi masih menyala.

Menyala terlalu lama.

Hampir tiga jam.

Tidak ada yang berbicara. Tidak ada yang berani bertanya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti penundaan hukuman—hukuman yang semua orang tahu akan datang, hanya tidak tahu seberapa kejam bentuknya.

Pintu itu akhirnya terbuka.

Seorang dokter residen keluar dengan langkah cepat. Baju hijaunya basah oleh keringat. Masker sudah diturunkan ke dagu, memperlihatkan rahang yang menegang—bukan karena lelah, tapi karena terburu-buru.

Belum sempat ia berkata apa pun, seorang wanita sudah berlari ke arahnya.

“Dokter!” suara itu pecah sebelum selesai. “Bagaimana anak saya? Aga baik-baik saja, kan, Dok?”

Dokter itu berhenti. Menarik napas singkat.

“Pasien membutuhkan darah tambahan. Persediaan kami—”

“Ambil darah saya.”

Suara Adnan memotong kalimat itu tanpa ragu.

“Golongan darah kami sama. Saya kakaknya.”

Dokter itu menoleh cepat, mengangguk singkat. “Silakan ikut perawat.”

Adnan tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk dan langsung pergi. Bahkan tidak sempat menoleh ketika seorang pria lain baru saja tiba—wajahnya pucat, napasnya terengah, mata dipenuhi ketakutan yang belum sempat disembunyikan.

“Laras…,” suara Om Adam parau. “Apa yang terjadi? Aga—”

“Aku.”

Satu kata itu keluar pelan, tapi cukup untuk menghentikan segalanya.

Tante Laras menatap suaminya, lalu tangisnya runtuh.

“Aku yang salah, Adam…,” suaranya gemetar. “Aku… aku yang bikin dia kayak gini.”

Ia maju selangkah, lalu lututnya menyerah.

Tubuhnya jatuh berlutut tepat di hadapan Om Adam.

“Aku yang nekan dia. Aku yang nyakitin dia… Aku yang bikin dia pengin mati…” kata-katanya berantakan, tercekik isak. “Kalau aja aku nggak ngomong itu… kalau aja aku berhenti… Aga nggak akan—”

Napasnya patah.

Ia mencengkeram dadanya sendiri, seolah jantungnya ingin keluar dari sana.

“Tuhan…,” bisiknya nyaris tanpa suara. “Ambil aku aja. Jangan dia. Tolong… Dia nggak salah apa-apa.”

Om Adam berlutut dan memeluk istrinya.

Tidak berkata apa pun.

Ia hanya memeluknya—erat, seolah jika dilepaskan sedikit saja, Laras akan benar-benar hancur di lantai rumah sakit itu.

“Aga kuat,” katanya akhirnya, suara itu dipaksakan keluar. “Dia selalu kuat.”

Tapi bahkan ia sendiri tidak terdengar yakin.

***

Caca menyeret langkahnya lemas dan tak bertenaga. Lemah karena seluruh semangatnya untuk bernapas seakan menguap entah ke mana. Tidak menyisakan apapun baginya untuk merasa bahagia.

Bahagia.

Kalimat itu seakan menjadi hal paling menyedihkan di dunia yang pernah ia dengar saat ini. Kebahagiaan itu seperti apa sebenarnya?

Kenapa ketika ia belajar untuk memahami perasaan bahagia itu, justru kesedihan yang ia dapatkan?

Gadis itu memejamkan matanya. Ia bahkan harus berpegangan pada besi di koridor agar tubuhnya tidak luruh ke lantai. Hatinya mengernyit pilu. Terasa begitu nyeri setiap kali ia melihat wajah Aga di dalam ruangan sana.

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang