Saat itu gerimis. Udara bertiup lebih dingin dari biasanya. Rintik hujan membasahi jendela taksi. Pemandangan diluar kaca mobil menjadi kabur.
Caca menggigiti ujung jarinya, cemas. Memikirkan apa yang terjadi dengan Aga. Jauh dari yang bisa dilihat sang supir taksi, mata gadis itu sedang tidak melihat ke luar jendela, namun berada di tempat yang jauh. Di dalam pikirannya sendiri. Begitu ditanya apa yang dilamunkan, gadis itu hanya tersenyum menjawab ‘bukan apa-apa’.
Kurang dari setengah jam kemudian, taksi biru itu tiba di seberang kantor polisi yang dituju. Tempat itu tidak sepi. Beberapa polisi berseragam terlihat keluar masuk melewati pintu masuk. Tidak hanya petugas, namun juga orang-orang biasa yang memiliki permasalahan di sana.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti tepat halaman pintu keluar tanpa memperlihatkan pengemudinya. Tepat ketika mobil itu berhenti, seseorang muncul. Melangkah berat keluar dari sana.
Seseorang dengan pakaian serba hitam dan jaket panjang bernuansa gelap yang mampu menyembunyikan seluruh noda darah di tubuhnya. Seseorang dengan rambut yang mulai panjang dan hampir menutupi mata. Seseorang yang sangat dikenali Caca.
Gadis itu buru-buru keluar dari taksi yang dinaikinya. Mengabaikan rintik-rintik hujan yang membasahi kepala, ia setengah berlari ingin menyberangi jalan. Dan tepat saat ia ingin meneriakkan nama “Aga”, suaranya terhenti.
Aga menatapnya. Tapi tatapan itu seolah mati. Tidak ada perasaan apapun di dalam sorot mata kelabu itu. Tidak ada apapun di sana. Kosong. Langkah gadis itu tertahan. Sorot mata itu benar-benar membuat jantungnya seakan ditusuk dengan seribu jarum berkarat.
“Aga ...”
Laki-laki itu masih menatapnya. Dan begitu Caca berniat melangkah, Aga mengalihkan matanya dari pemilik mata coklat hangat itu dan masuk ke mobil.
Mobil sedan itu melaju dan melewati Caca begitu saja. Dari kaca jendela, Caca bisa melihat Aga yang duduk di jok belakang. Mata kelabu itu bahkan tidak bergerak sedikitpun, hanya menatap lurus ke depan.
Dan satu-satunya yang bisa dirasakan gadis yang ada di seberang jalan itu hanyalah rasa nyeri yang menyerang dadanya ketika mobil itu menghilang dari pandangan.
Aga jelas-jelas melihatnya. Tapi kenapa laki-laki itu justru bersikap mengabaikannya? Kenapa ia malah pergi begitu saja?!
***
Ting Tong!
Ting Tong!
Suara bel dipencet beberapa kali. Caca berdiri di depan pintu. Mondar-mandir ketika belum mendapat respon dari si empunya apartemen. Haruskah ia mendobrak masuk saja?
Gadis itu baru saja akan memencet bel sekali lagi begitu pintu tiba-tiba terbuka. Dimas muncul dengan wajah penuh lebam dan plester yang menghiasi tulang hidungnya.
“Dim, A—"
“Aga di dalam,” potong Dimas.
Ia sudah tahu bahwa Caca akan menyusulnya ke sini. Tidak. Lebih tepatnya menyusul Aga.
“Gue keluar cari makanan dulu. Hubungin gue kalo terjadi apa-apa. Gue nggak akan jauh-jauh dari sini,” tukasnya pelan, menepuk bahu Caca lalu melangkah pergi setelah beberapa saat diam di apartemen Aga.
Di dalam sana gelap. Tidak ada cahaya lampu yang dihidupkan di ruangan itu. Hanya cahaya bulan dan lampu-lampu gedung yang membias melewati kaca jendela menerangi ruangan dalam warna-warna temaram. Tidak cukup terang, namun setidaknya cukup untuk membuat Caca mengenali siluet Aga yang duduk bersandar pada dinding. Bersandar dengan kepala tertunduk seakan tidak mampu menahan beban yang ada di pundak.
Rambutnya yang mulai panjang mengikuti sang pemilik, menatap hampa ke lantai tempat laki-laki itu terdiam, tidak membiarkan siapapun untuk melihat sepasang mata kelabu itu.
Caca melangkah mendekat. “Ga ...,” panggilnya pelan. Ingatan tentang bagaimana Aga menatapnya di depan kantor polisi tadi benar-benar menohok jantung Caca.
Namun Aga tak merespon. Ia tidak bergerak sedikitpun. Selain bahunya yang bergerak naik-turun mengikuti tarikan napas, cowok itu tidak bergerak sama sekali.
“Ga,” panggil gadis itu lagi, mencoba menyentuh luka di bawah mata Aga namun Aga menepis tangannya menjauh.
“Pergi, Ca ....”
Suara itu lolos dari sela-sela bibir Aga. Serak dan berat. Aroma alkohol yang pekat tercium jelas dan menyulut emosi Caca.
“Lo kenapa jadi kek gini sih, Ga? Cerita ke gue. Kenapa lo jadi minum-minum kayak gini? Terus kenapa lo justru babak belur kayak gini? Lo ke mana selama ini? Apa yang sebenarnya terja—“
“Pergi, Ca ....”
“Lo ngilang gitu aja, tanpa kabar dan ngacuhin gue sama sekali. Dan... dan sekarang lo minta gue pergi gitu aja tanpa jelasin apa-apa? Lo pikir gue nggak khawatir? Apa lo nggak pernah mikirin perasaan gu—“
“GUE BILANG PERGI, CA! PERGI!!!” teriak Aga.
Caca menjerit ketika Aga mencengkeram lengannya kuat. Saking kuatnya hingga mampu memberhentikan seluruh aliran darah yang mengalir. Membuat tangannya sakit.
Namun tatapan Aga justru lebih menyakitinya dibanding apapun. Mata kelabu itu menatapnya dengan kemarahan yang pekat. Kemarahan yang juga diselimuti oleh ketakutan yang mendalam. Ketakutan yang tak dimengerti oleh Caca. Ditepisnya kedua tangan laki-laki itu dengan kasar.
Jika Aga menginginkannya pergi, lantas kenapa laki-laki itu justru menahan tangannya?!
“GUE NGGAK MAU!” balas Caca.
“Pergi ...,” geram Aga, meskipun tidak sekeras teriakan sebelumnya.
“GUE BILANG GUE NGGAK MA—“
Aga menyentaknya. Mendorong tubuh gadis itu hingga jatuh ke lantai hingga punggungnya tersentak sangat keras. Di detik yang sama kedua mata gadis itu melebar. Aga melumat bibirnya ganas. Menjelajahi setiap inci bibirnya dengan hasrat yang begitu menuntut. Ciuman yang penuh dengan amarah di dalamnya. Kasar dan menyakitkan hingga membuat bibir Caca terluka.
Didorongnya kuat dada Aga berusaha membebaskan diri. Namun laki-laki itu justru dengan mudah membelenggu tangannya. Menahan tangan Caca di atas kepala dengan tangan kirinya sementara tangan kanan merengkuh tengkuk leher gadis itu agar tidak bisa bergerak.
Caca meronta. Ia bisa merasakan rasa darah bercampur alkohol dari bibirnya yang terluka karena gigitan Aga. Ia mencoba melawan. Namun Aga justru menyentak bagian atas kemejanya hingga terkoyak.
Caca terkesiap. Ia menendang ke segala arah dengan sia-sia. Memohon dengan sangat di tengah tangisannya agar Aga menghentikan apapun yang sedang dilakukannya sekarang.
Tapi Aga tak peduli. Cowok itu seakan membutakan mata dan menulikan telinganya sendiri. Sampai kemudian ia bisa melihat bayangan dirinya di kedua mata cokelat Caca yang basah oleh air mata ketakutan.
Ia bisa siapa dirinya yang tak diinginkan ini. Melihat wajahnya yang memuakkan. Caca harus melihat dirinya dengan jelas. Melihat dengan jelas keberadaannya yang menyedihkan ini. Tidak ada tempat baginya untuk melarikan diri. Bahkan termasuk hati gadis itu. Di kedua mata cokelatnya yang menyakitkan untuk dilihat.
“Pergi, Ca ....” ucapnya dingin melepaskan gadis itu dan merengsek menjauh.
Ia menciptakan jarak sejauh mungkin antara dirinya dan Caca. Kembali menyandarkan punggung pada dinding dengan kepala tertunduk di atas lutut. Tenaganya seakan habis. Hingga untuk mengangkat kepala pun ia tidak sanggup.
Di satu sisi Caca ingin pergi dari sana dan meninggalkan laki-laki itu. Menjauh dari sana dan tidak pernah ingin lagi bertemu dengan laki-laki ini. Melupakan rasa peduli dan khawatirnya untuk laki-laki brengsek ini. Namun di sisi lain kakinya terasa begitu lemas ketika mendengar suara Aga. Paru-parunya mengernyit pilu.
“Pergi... atau gue bakal ngelakuin hal yang lebih gila ....” ancam Aga.
Gue mohon pergi, Ca ....
Pergi dari sini...
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Fiksi Remaja"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...