Keduanya diam di setiap langkah yang diambil menuju rumah. Bungkam ketika udara malam menyusup ke balik jaket dan sweter yang digunakan. Ketika gemerisik angin yang berhembus meniup daun-daun pepohonan terdengar layaknya simfoni. Ketika aroma tanah menguar ke udara dalam percik-percik gerimis yang hampir reda.
Caca memegang erat tali ransel. Sesekali diliriknya tangan Aga yang menggantung di sisi tubuh. Kedua tangan yang terbalut perban di sana. Terkulai begitu saja tanpa memegang apapun. Membiarkan angin menggenggamnya.
Gadis itu mulai berpikir, kapan terakhir kali ia melihat tangan Aga mulus tanpa luka sedikitpun? Kenapa rasanya tidak pernah sama sekali?
Laki-laki itu sedang berusaha memindahkan luka di hatinya ke fisik. Laki-laki Ia tidak punya obat untuk mengobati luka di batinnya itu. Ia tidak punya apapun untuk meredakan rasa sakit itu. Yang bisa ia lakukan hanyalah menahannya agar hati yang telah retak itu tidak hancur. Bahkan ketika itu artinya ia harus menghancurkan tubuhnya sendiri.
Mata cokelat itu beralih ke wajah Aga, memandangi wajah yang penuh luka itu sejenak dari samping lalu melemparkan pandangannya ke depan. Ingin rasanya saat ini ia menyandung kakinya sendiri agar punya alasan untuk meraih tangan itu. Caca benar-benar berharap ia bisa melihat senyuman Aga seperti biasanya. Ia merindukan senyuman itu. Sejak kapan senyuman itu menghilang?
“Lo... besok bakalan masuk ke sekolah, kan?” tanya Caca saat mereka sampai di rumah.
Lidahnya kelu ketika ia berbalik melihat Aga. Menunggu jawaban laki-laki itu.
Aga mengangguk pelan. “Ehm,” jawabnya.
Jauh lebih pelan dari yang seharusnya terdengar. Seakan ia tidak pernah menjawabnya sama sekali. Dan itu membuat Caca ragu. Aga sedang membohonginya.
“Gue cuman pengen lo tau, gue mungkin bukan orang yang bisa ngobatin luka di hati lo. Bukan orang yang lo harapkan untuk menghibur hati lo. Gue mungkin cewek yang kasar, cewek yang selalu bersikap seenak hati dan nggak pernah nyoba ngertiin perasaan lo dengan baik. Tapi gue akan berusaha untuk selalu ada buat lo.”
“Satu yang gue minta, Ga. Tolong jangan pernah lagi bilang kalau lo baik-baik aja, padahal nggak. Lo boleh diam. Lo boleh nggak cerita apapun. Tapi jangan pernah bohongin gue. Karena ketika lo nyakitin diri lo, saat itu lo juga udah nyakitin gue.”
Sorot mata Aga tidak berubah sedikitpun. Yang ada di dalam kedua bola kelabu itu hanyalah sebuah kekosongan.
“Ca ...” panggil Aga.
Ibu jari Aga menyentuh bibir gadis itu. Mengusap luka di bibirnya dengan pelan beberapa saat kemudian turun ke bagian merah di lehernya yang sedikit tertutupi oleh sweter.
“Maaf,” ucap laki-laki itu serak. “... seharusnya gue nggak ngelakuin ini.”
“Kalau lo emang ngerasa bersalah, maka lo harus balik ke sekolah besok. Baru gue maafin. Gimana?”
Aga melepaskan tangannya. Matanya menoleh pada kedua mata Caca sesaat.
“Masuklah.” Aga menyuruh menyuruh Caca masuk ke rumah.
Dan begitu Caca masuk lalu menutup pintu rumah, barulah laki-laki itu melangkah pergi bersama dinginnya angin malam yang menerpa wajah dan tangannya.
Caca menyingkap tirai jendela. Di saat yang sama mendapati bagaimana punggung Aga telah perlahan menjauh dalam langkah berat.
Gue benar-benar berharap lo akan kembali besok, Ga. Betapapun beratnya masalah yang lo hadapin saat ini, tolong jangan milih untuk menghilang seakan lo nggak pernah ada.
♦♦♦
Tolong lupain apa yang terjadi hari ini, Ca. Lupain semuanya. Dengan begitu, gue juga akan coba untuk melupakan rasa sakit ini dan bersikap kalo semuanya baik-baik aja.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Fiksi Remaja"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...