Dua hari kemudian...
Aga terbangun di rumah sakit.
Kelopak matanya terasa berat-seolah seseorang menaruh beban di atasnya. Ia mengerjap pelan, lalu meringis saat nyeri tajam menjalar dari bagian belakang kepalanya, menghantam kesadarannya tanpa ampun. Rasa sakit itu membuat napasnya terhenti sesaat, cukup lama untuk membuatnya lupa di mana ia berada.
Seharusnya kamu tidak menyiksa dirimu sendiri...
Maaf...
Suara itu kembali. Lembut. Hampir hangat.
Aga menelan ludah dengan susah payah sebelum memejamkan mata lagi. Ia berharap-bodohnya berharap-suara itu akan tetap tinggal jika ia menutup mata lebih lama. Tapi ketika ia membukanya kembali, yang ada hanyalah langit-langit putih rumah sakit dan bau antiseptik yang menusuk hidung.
Jarum infus tertancap di punggung tangannya. Perban melilit kepalanya dengan rapat.
Ah. Rumah sakit lagi.
Ia tidak kaget. Bahkan tidak terkejut. Ada rasa lelah yang aneh-lelah yang lebih dalam dari sekadar fisik. Ia terlalu sering terbangun di tempat seperti ini. Terlalu sering tubuhnya menyerah sebelum hatinya sempat ikut mati.
Aga menggeser pandangan. Lemari kecil. Kursi kosong. Tirai. Jendela.
Ia hafal semuanya.
Yang tidak pernah bisa ia biasakan adalah rasa kosong yang selalu datang setelahnya-ketika ia sadar bahwa suara ibunya barusan hanyalah mimpi. Ilusi kejam yang otaknya ciptakan untuk menertawakan harapannya sendiri.
Ia menatap ke luar jendela.
Langit mendung. Abu-abu. Berat.
Hujan mungkin akan turun.
Entah kenapa, membayangkan hujan membuat kepalanya kembali berdenyut. Ia menarik napas dalam-dalam, menahannya, lalu menghembuskannya perlahan. Menghitung detak jantungnya satu per satu-takut jika ia berhenti menghitung, semuanya akan ikut berhenti.
Tangannya meraih ponsel di nakas.
Layar menyala.
Puluhan pesan. Ratusan panggilan tak terjawab.
Dari Caca.
Senyum kecil-nyaris menyakitkan-muncul di sudut bibirnya.
Berapa lama aku nggak sadar?
Jarinya baru saja mengetik satu kalimat balasan ketika layar kembali bergetar.
"Ha-"
"LO TUH BRENGSEK BANGET YA, GA!!! KENAPA BARU-"
Aga refleks menjauhkan ponsel dari telinganya. Suara itu terlalu keras. Terlalu hidup. Terlalu... peduli.
Kepalanya berdengung.
Beberapa detik kemudian, ketika omelan itu terdengar lebih jauh, ia kembali menempelkan ponsel ke telinganya.
"Udah ngomelnya?"
"Lo tuh, yah... lo ngilang ke mana lagi, hah?! Baru aja muncul sehari, udah ngilang lagi? Hobi banget jadi ninja-ngilang sana, ngilang sini!"
Aga tertawa pelan. Suara tawanya serak, tidak utuh.
"Maaf. Aku baru aktifin HP. Sorry nggak ngasih kabar."
Kata aku meluncur begitu saja-tanpa ia sadari.
Di seberang sana, Caca terdiam. Batuk kecil terdengar, gugup.
"Ca...?" panggil Aga.
Ia tidak tahu bahwa satu kata itu membuat dada Caca menghangat sekaligus panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Подростковая литература"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...
