“Kondisi Aga kritis saat tiba di rumah sakit. Cidera lama di tubuhnya justru semakin memperburuk keadaannya saat kecelakaan. Dokter bertindak cepat untuk menyelamatkan tubuhnya. Namun pendarahan di kepalanya sudah menekan batang otak. Dan itu berakibat fatal untuk sarafnya. Peluangnya untuk sadar... kurang dari 10 persen. Dia tidak akan bertahan.”
Air mata Caca jatuh. Tidak hanya airmata. Tapi juga semangatnya, tenaganya, hatinya juga seluruh perasaannya. Dunianya runtuh. Semuanya seakan luruh ke dasar jurang dalam sekejap. Paru-parunya tidak lagi merasa sesak. Jantungnya tidak lagi berdenyut menyakitkan.
Semua perasaan itu hilang bersamaan airmatanya. Di dalam tubuhnya, gadis itu merasa kosong. Apa yang disampaikan Om Adam tadi benar-benar seperti pukulan hebat untuknya. Benar-benar memukulnya telak. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
“Gue cari minuman dulu. Gue nggak mau lo dehidrasi karena nggak makan dan minum apapun. Lo tunggu di sini bentar.”
Dimas bangkit dan meninggalkan gadis itu di bangku taman rumah sakit. Tidak tega melihat Caca berdiam diri seperti itu. Berdiam layaknya raga tanpa jiwa. Tangis tanpa air mata. Teriakan tanpa suara. Mengabaikan apapun yang coba ia katakan.
Begitu Dimas pergi, seorang pria berdiri di depan Caca dalam balutan jas. Pria yang tidak ia kenal namun terlihat tidak asing di matanya. Sedetik kemudian, ia menyadari bahwa pria dengan wajah tegas itu adalah kakaknya Aga. Adnan.
Matanya menatap pemilik mata kelabu itu yang kembali mengirimkan rasa nyeri ke relung hati.Pada mata Adnan yang mengingatkannya pada Aga. Mata kelabu kelam yang membuatnya memilih untuk menunduk. Caca sedang tidak ingin menatap mata itu. Tidak ingin melambungkan hatinya dengan pengharapan yang telah hancur. Apa lagi yang harus ia dengar sekarang? Kematian Aga kah? Tidak cukupkah hanya dengan mendengar bahwa laki-laki brengsek itu tidak akan pernah sadar?
Adnan duduk kemudian meletakkan minuman kopi kalengan di samping Caca.
“Aku tidak tahu apa kamu suka itu atau nggak. Tapi minumlah,” perintahnya pada Caca.
Laki-laki itu duduk di samping Caca, membuka kopi kalengannya sendiri kemudian meneguknya. Adnan teringat saat ia mendatangi satu persatu anak-anak yang membuli adiknya dulu dan menghajar mereka tanpa ada siapapun yang tahu.
Kenangan itu membuatnya tersenyum simpul. Senyum itu semakin terlihat begitu sinis ketika ia menoleh pada gadis di sampingnya. Ia mengenali Caca.
Mengingatkannya pada sesuatu. Ternyata takdir lucu sekali mengaitkan kedua orang bodoh ini. Dua orang bodoh yang mungkin tidak menyadari kebodohan mereka satu sama lain. Sekali lagi, Adnan meneguk kopi hitamnya.
“Apa Aga bisa disembuhkan? Apa ada cara untuk membuatnya sadar?”
“Aku tidak tahu,” gumam Adnan. “Tapi aku tahu, bocah itu tidak akan mati hanya karena ini.”
“Tapi dokter bilang ke Om Adam kalau ...”
Adnan tertawa sinis. Jangan bicara tentang ayahnya di depannya. Ia tidak terlalu menyukai laki-laki paruh baya itu sejak dulu, terlebih setelah ibunya mendapatkan begitu banyak pengabaian. Ia tidak menyalahkan Aga, tapi bukan berarti ia bisa dengan mudah menerima anak itu sebagai adiknya. Dan tentu saja tidak mudah bagi Adnan untuk memaafkan ayahnya.
“Aku tidak pernah mendengarkan dokter. Dan jujur, aku bahkan tidak pernah percaya pada apa yang dikatakan ayahku. Kau mau tahu sesuatu yang lucu?”
“Ayahku tidak terlalu pintar memprediksikan sesuatu. Perhitungannya sering meleset meskipun si tua itu menghabiskan waktunya untuk tinggal di kantor dan memperumit pekerjaanku,” dengus Adnan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Подростковая литература"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...