Caca nelangsa. Ia merasakan sayatan cepat di hatinya hanya dengan melihat keadaan laki-laki yang terlihat jauh lebih menderita dibanding apa yang ia rasakan sekarang. Laki-laki itu sedang membangun dinding pertahanannya sendiri dan tak mengijinkan siapapun untuk mendekat.
Ia tak ingin orang lain menyentuhnya. Tak ingin orang lain memegang hatinya yang terkoyak. Ia tak ingin orang lain melihat keadaannya yang menjijikan saat ini. Bahkan Caca sekalipun.
Rasa kasihan yang tercermin di dalam bola mata coklat hangatnya itu, Aga tak menginginkan perasaan iba itu dari orang lain. Ia bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Ia bisa merawat lukanya sendiri. Ia selalu bisa melakukannya.
Tapi setiap kali melihat mata coklat itu, Aga menjadi takut. Ia merasa takut dengan dirinya sendiri. Ia merasa lemah seperti dinding rapuh yang akan menjadi debu ketika tertiup angin. Karena itu, ia harus menjauh dari Caca. Pecundang seperti dirinya yang selalu melarikan diri dari rasa sakit, tidak pantas berada di sisi gadis itu. Pada akhirnya, ia hanya akan berakhir melukai gadis itu dan orang-orang yang ia sayangi.
Sejak awal keberadaan dirinya adalah sebuah kesalahan.
Namun Caca justru menyeret lututnya mendekati Aga hingga tepat berada di depan laki-laki itu. Mengumpulkan semua keberaniannya yang masih tersisa. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Ia sendiri juga tidak bisa meninggalkan Aga sendirian dalam keadaan seperti ini. Ditariknya lembut kepala Aga yang tertunduk. Memaksa laki-laki itu bersandar di pundaknya.
''Gue nggak akan pergi, Ga. Gue nggak bisa. Terserah lo suka ato nggak...” bisiknya pelan bercampur airmata.
Hatinya terluka karena perlakuan Aga. Tapi hati Aga jauh lebih terluka dibanding dirinya. Entah kenapa ia seakan bisa melihat teriakan tersiksa itu di kedua mata Aga yang memintanya pergi. Aga tidak bergeming merasakan sentuhan Caca. Ia tetap diam seribu bahasa. Tubuhnya tetap membatu, membuat hati Caca semakin teriris.
Seberat apa luka yang harus diterima Aga saat ini? Kenapa hanya dengan melihat Aga seperti ini, membuat hatinya terasa seperti dicabik-cabik?
“Gue nggak tahu seperti apa dan sedalam apa luka yang lo tanggung, Ga,” ucapnya samar, “... karena itu gue nggak bisa menghibur lo dan bilang kalo gue ngerti perasaan lo. Tapi lo boleh pinjam pundak gue buat bersandar. Karena lo juga berhak buat istirahat, Ga.”
Aga mendengus pelan. Seolah merendahkan perkataan Caca. Aga mendengus dan tubuhnya bergetar menahan tawa. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum sinis seolah Caca baru saja mengatakan sesuatu yang lucu.
Sesuatu yang benar-benar lucu hingga membuat dadanya serasa sesak. Tolong jangan katakan kata-kata seperti itu. Jangan memberinya harapan untuk tetap bertahan. Ia sudah lelah. Karena itu, tolong jangan memberinya penghiburan dalam bentuk apapun. Ia mohon dengan sangat ....
“Ag—”
Aga menarik Caca, menyetak dan memeluk pinggang Caca tiba-tiba. Menenggelamkan wajahnya dalam debaran cepat jantung gadis itu. Memejamkan matanya ketika luka di hatinya sendiri semakin terasa sakit hingga ia tak sanggup lagi menahannya. Paru-parunya terasa sesak.
Airmatanya jatuh. Pemilik mata kelabu itu menangis. Dan saat beban itu tidak sanggup lagi ia tanggung, ia memeluk Caca lebih erat. Ia takut ia akan runtuh saat itu juga. Ia benar-benar takut ketika gadis itu melepaskannya maka tubuhnya akan hancur saat itu juga.
“Gue hanya pengen dipeluk ....” serak Aga padanya tanpa sadar.
Gue juga pengen dipeluk ....
Aga pernah mengatakan kalimat itu sebelumnya.
“Jangan tinggalin gue ....,” isak laki-laki itu kemudian membuat jantung Caca sakit.
Lo tetap di sini. Satu-persatu pergi. Lo jangan ninggalin gue juga ....
Dan satu-persatu kenangan itu berputar layaknya potongan film yang di replay otomatis di kepalanya. Teringat lagi pada hal yang lebih jauh, saat pertama kali melihat Aga berkelahi di dekat minimarket dulu. Sorot mata Aga saat itu... bukanlah kemarahan.
Itu sorot mata terluka. Tatapan keputusasaan. Kenapa ia baru menyadarinya sekarang?
Air mata kembali menetes. Tangannya yang sebelumnya terlepas menggapai udara, kini ia lingkarkan ke leher Aga. Memeluknya erat. Memeluknya seakan-akan ia sangat takut untuk melepaskannya. Ia takut jika ia melepaskan tangannya, maka laki-laki itu akan menghilang dari sana.
Ia tidak ingin melepaskannya. Meletakkan dagunya di atas rambut Aga. Membiarkan air matanya kembali menetes dan jatuh di sela-sela rambut Aga. Memberikan sedikit perlindungan yang dibutuhkan laki-laki itu selama ini.
Punggung laki-laki itu begetar. Isakan tertahan dari sela-sela giginya. Air matanya membasahi permukaan baju Caca. Dan gadis itu tersadar, bahwa itu bukanlah air mata remaja berusia delapan belas tahun. Melainkan air mata seorang laki-laki yang baru saja kehilangan dunianya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Fiksi Remaja"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...