Satu tahun kemudian...
Ini hari minggu. Hari di mana ia seharusnya mendapat jadwal untuk libur. Namun wanita itu justru ditugaskan di unit gawat darurat selama sebulan. Unit tersibuk dan area perang bagi semua dokter yang bertugas jaga di sana yang membuat siapapun tidak bisa memejamkan matanya dengan tenang.
Sirene ambulan terdengar panjang di depan rumah sakit. Saling bersahut-sahutan ketika satu persatu ambulan yang datang menggantikan ambulan yang pergi. Sebuah dipan diturunkan dengan cepat.
Caca berlari sambil mengikat rambutnya asal. Langsung bergerak cepat ikut mendorong pasien yang baru saja tiba itu ke unit gawat darurat sambil menanyakan kondisi terbaru korban yang terjatuh dari kaca jendela di lantai 2 itu.
Kedua tangannya menekan pendarahan yang terus keluar di perut si pasien dengan tangannya. Berteriak keras menyuruh siapapun yang berada di depan jalannya untuk minggir karena situasi darurat.
"Minggir! Minggir! Minggir!" teriaknya saat itu.
Bercak-bercak darah terlihat menghiasi jas putih panjangnya, hingga kemudian sosoknya menghilang melewati pintu ruang operasi.
Seseorang berdecak geli. Memandangi wanita itu dari jauh. Senyum tipis tersungging di sudut bibir merah mudanya. Kali ini, tidak hanya di bibir, namun juga di kedua mata indahnya sebelum kemudian sosok itu melangkah pergi. Diiringi tatap mata para perawat yang terus memandangi punggung lebarnya yang terus menjauh dengan penuh tanda tanya.
Di atas meja, dua buah gelas kopi hangat yang ditinggalkan mencuri perhatian para perempuan di sana. Kopi dari si wajah malaikat yang baru saja pergi itu. Pria dengan senyuman dan tatapan mata yang begitu menenangkan hati.
"Gue pasti ....," gumam salah seorang perawat mengiringi kepergian pria itu. Secara, hanya orang mati yang bisa melihat malaikat.
Seorang perawat lagi menyahut. "Hmm. Ya. Lo pasti lagi nyari mati," ucapnya datar hingga membuat perawat tadi tersadar kalau dirinya sedang meremas kertas laporan kondisi salah satu pasien.
Begitu operasi selesai, Caca keluar sambil merenggangkan otot tangan dan lehernya yang pegal. Kantong matanya terlihat jelas ketika ia menatap kesal Reno, mahasiswa magang yang berdiri tepat di sebelahnya.
“Dokter keren banget tadi,” ucap Reno mengacungkan dua jempolnya pada Caca dan mengikuti dokter wanita dengan seragam operasi itu.
Begitu Caca berbalik, Reno berteriak keras saat betisnya tiba-tiba ditendang.
“Gimana lo bisa nggak meriksa hasil EKG-nya dulu sebelum operasi?! Gimana kalau sampai terjadi apa-apa sama pasien tadi?! Lo mau tanggung jawab?!” omel Caca
“Maaf, Dok .…”
“Sekali lagi lo ngelakuin kesalahan yang sama, gue patahin betis lo jadi delapan bagian. Ingat itu baik-baik!”
Reno mencebik, namun kemudian kembali tersenyum mengikuti Caca seperti anak anjing yang terus mengikuti kemanapun induknya pergi. Ia terlalu mengidolakan Caca hingga tahan walaupun harus diomeli oleh wanita itu.
Caca melangkah ke meja perawat bersama Reno. Meja perawat selalu memiliki stok cemilan untuk dimakan.
“Ah, iya, tadi yang nyari dokter,” ucap Sarah, salah satu perawat di sana begitu melihat Caca.
Caca tidak terlalu terkejut. Profesinya saat ini membuat wanita itu sudah terbiasa dicari-cari.
“Siapa? Laki-laki? Perempuan?” tanyanya acuh tak acuh.
“Laki-laki," Sarah tersenyum girang. "
“Dimas?”
“Bukan. Dia nggak bilang namanya siapa. Cuman bilang temen lama Dokter. Tapi gantenggggg banget. Apalagi pas ngeliat dia bantu ngedorong dipan ke UGD tadi. Keren banget. Masa dokter nggak sadar sih?”
Caca tertawa. Sarah kelihatannya sangat terpesona pada pria itu.
“Terus sekarang dianya kemana?” tanya Caca.
“Barusan pergi.”
Caca mengangguk. Ia melangkah meninggalkan meja perawat. Memanjangkan lehernya untuk melongok menemukan pria yang dimaksud Sarah di antara keramaian rumah sakit.
Sampai kemudian sepasang matanya menemukan punggung seseorang. Punggung yang mengenakan setelan mantel panjang berwarna hitam dengan siluet tubuh yang sangat dikenalinya.
Caca menelan ludah. Tiba-tiba saja ia mempercepat langkahnya dan setengah berlari mengejar sosok itu. Dituruninya eskalator begitu keluar lift dan mengedarkan pandangannya. Ingin sekali rasanya ia berteriak memanggil nama pria itu.
Napasnya memburu, detak jantungnya berdetak kencang, ketika ia kembali mencari bayangannya. Tergesa ingin menemukan sosok itu hingga hampir saja menabrak dipan pasien darurat yang didorong kencang menuju UGD. Dan ketika akhirnya sosok itu telah begitu dekat dan berhasil ia raih dengan tangannya, wanita itu harus mengerjap.
"Maaf," ucapnya tersenyum ragu. "Saya salah orang" lanjutnya melepaskan tangan laki-laki asing itu.
Si pemuda terlihat bingung sesaat ketika Caca menariknya, namun ia hanya mengangguk pelan dan menjawab, "Iya, gapapa," dan kembali melanjutkan langkah.
Caca menarik napas dan mengerjapkan matanya. Berusaha menenangkan detak jantungnya yang terus memburu akibat berlari.
Benar. Dia cuman salah lihat. Nggak mungkin orang itu ada di sini. Ia hanya salah lihat.
Wanita itu menghela napas berat kemudian mengusap kepalanga frustasi. Otaknya sudah tidak beres karena kebanyakan bergadang rupanya. Astaga.
***
Hatchiii!!!
Caca bersin. Tubuhnya benar-benar kekurangan asupan energi karena sering jaga malam. Fisiknya sedang tidak fit. Begitu jam tugas selesai, wanita itu keluar dari rumah sakit dengan mengenakan celana kain, baju kaos serta jaket dan tampang lusuhnya yang sudah sepucat mayat hidup.
Ia memarkirkan mobil hitamnya di pinggir jalan ketika melewati sebuah minimarket.
Minimarket yang sama tempat dulu untuk pertama kalinya ia meminta bantuan Aga karena dibuntuti beberapa preman. Sejak beberapa tahun terakhir, Caca selalu menikmati jam makan malamnya di minimarket itu setiap pulang bekerja.
Ia mengambil satu cup mie instan duduk di dekat jendela mengamati beberapa pejalan kaki yang melintas di bawah lampu jalan yang menerangi trotoar.
Aroma mie instan yang menguar langsung membuat perutnya keroncongan. Dengan cepat dibukanya segel penutup dan mengunyah mie instannya dengan lahap.
Baru beberapa kali ia menyeruput ketika ketika sepasang matanya tiba-tiba saja melihat seseorang berada tepat di luar kaca. Berdiri di tepat di hadapannya. Seorang pria dengan rambut sedikit acak-acakan, tubuh tinggi yang dibaluti pakaian serba hitam dan mata kelabu kelamnya yang terlihat menenangkan.
Caca berhenti mengunyah ketika pria itu menyunggingkan senyumnya yang menawan. Tangan pria itu terangkat mengulurkan sebuah kantung plastik yang berisi beberapa bungkus es krim di depan wajah, ia memiringkan kepalanya, menunggu reaksi Caca.
Caca tak mengatakan apapun. Gadis itu diam. Ia tidak bisa membuka mulutnya sama sekali. Ekspresi wajahnya belum berubah, namun airmata justru tiba-tiba saja jatuh dari sudut matanya.
Ini... bukan ilusinya saja kan? Katakan padanya, bahwa ini bukan mimpi. Katakan padanya bahwa pria bermata kelabu yang sedang berdiri di hadapannya saat ini, bukan ilusi yang selama ini muncul dalam benaknya.
Sudut-sudut bibir laki-laki itu melengkung menciptakan bulan sabit ganda ketika ia tersenyum semringah.
“Caca ...,” panggil pria itu dengan suara dan tatapan matanya yang meneduhkan.
“Aga ....”
(Tamat)
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Teen Fiction"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...