Suara musik berdentam keras di telinga. Angkuh. Memaksa. Mengentak tubuh-tubuh di dalam ruangan untuk terus bergerak, terus berteriak, seolah euforia adalah satu-satunya cara untuk tetap hidup.
Lampu-lampu bergerak liar di udara, berganti warna tiap detik. Merah. Biru. Ungu. Hijau. Semua terlalu cepat. Terlalu terang. Terlalu bising. Seorang DJ memainkan peralatan di depannya seperti sedang memimpin ritual. Tangannya terangkat, dan teriakan fanatik langsung membelah ruangan.
Semakin keras musik diputar, semakin kehilangan diri orang-orang di lantai dansa.
Dimas muncul di koridor masuk beberapa saat kemudian. Wajahnya tegang. Rahangnya mengeras. Ia menghampiri seorang kenalan yang sering ditemuinya di tempat itu.
“Mana dia?” tanyanya tanpa basa-basi.
Ia sudah berminggu-minggu mencari Aga seperti orang gila. Menggedor pintu apartemen itu berulang kali. Berteriak. Mengamuk. Sampai akhirnya dilempar keluar oleh satpam. Wajahnya dicatat. Namanya diingat. Ia tidak diizinkan masuk lagi.
Tapi semua itu tidak penting sekarang.
“Di sana,” jawab Rendy sambil menunjuk. “Lo liat sendiri. Kayaknya temen lo lagi hancur. Dari tadi minum terus.”
Pandangan Dimas mengikuti arah jari itu.
Seorang laki-laki berjaket hitam duduk di meja bar. Kepalanya tertunduk. Gelas kosong di tangannya. Satu lagi di sampingnya.
Aga.
“Thanks,” gumam Dimas, menepuk bahu Rendy sebelum berjalan pergi.
Rendy memang mengenali Aga. Begitu melihatnya malam itu, ia langsung mengirim foto ke Dimas. Dan tanpa berpikir dua kali, Dimas menyambar kunci motornya.
Begitu mendekat, bau alkohol menghantam hidungnya keras. Asam. Menyengat. Membuat perutnya mual. Dimas bukan peminum. Bukan perokok. Seluruh tempat ini terasa salah baginya.
“Ga!” teriaknya, hampir sia-sia di tengah musik yang menggila.
Tidak ada respons.
“Woi, Ga!”
Ia menarik bahu Aga dengan kasar, memaksanya menoleh. Mata mereka bertemu.
Kosong.
Mata Aga kosong. Tidak marah. Tidak fokus. Seperti melihat sesuatu yang tidak ada.
Aga menepis tangan Dimas. Tangannya kembali terangkat ke arah bartender. Meminta gelas lain.
Sesuatu di dada Dimas runtuh.
Ia merebut gelas itu.
“Balikin…” gumam Aga, suaranya berat dan berantakan.
“Lo udah gila?” Dimas membentak. “Lo ngapain di sini? Semua orang nyariin lo. Tapi lo malah ngelakuin ini?”
“Balikin…” ulang Aga.
“Berdiri!” tangan Dimas mencengkeram lengannya. “Gue anter lo pul—”
“GUE BILANG BALIKIN GELAS GUE, ANJING!!!”
BBUKK!
Tinju Aga menghantam wajah Dimas tanpa peringatan. Bibirnya pecah. Rasa panas menyambar. Dimas terhuyung, menghapus darah dengan ibu jarinya.
BBUKK!
Bogem balasan mendarat telak di wajah Aga. Tubuh setengah sadarnya terlempar ke belakang, menghantam kursi. Beberapa cewek berteriak. Orang-orang menjauh. Musik tetap menyala. Dunia tetap menari.
Kegilaan berubah menjadi tontonan.
Dimas tidak berhenti. Amarahnya meledak. Mereka saling menghantam. Kursi-kursi tumbang. Meja-meja bergeser. Gelas-gelas pecah berserakan di lantai. Dimas mengerang, meludah, mengumpat. Perutnya terasa nyeri. Wajahnya panas dan bengkak.
Akhirnya, ia berhasil menjatuhkan Aga ke lantai.
Tangan Dimas mencengkeram kerah jaket Aga. Mengangkat tubuh itu sedikit.
“SADAR, GA!” teriaknya di wajahnya. “SADAR!”
“KENAPA LO JADI KAYAK GINI?!”
“BRENGSEK! LO NGGAK PIKIRIN CACA, HAH?! DIA NYARIIN LO TIAP HARI SAMPAI SAKIT! LO DENGER NGGAK?!”
Aga diam.
Dan diam itu membuat Dimas semakin hancur.
“KALO LO MAU MATI,” bentaknya, suaranya pecah,
“BUKAN KAYAK GINI CARANYA, BANGSAT!!!”
“…bunuh gue…”
Dimas membeku.
Aga membuka mulutnya dengan susah payah. Napasnya berantakan. Tubuhnya sudah tidak melawan.
“Bunuh gue, Dim…” suaranya patah. “Tolong…”
Ia mengangkat lengannya menutupi wajahnya.
“Gue capek…” isaknya keluar. “Gue udah nggak sanggup… tolong…”
Security datang terlalu cepat. Tangan Dimas ditarik kasar ke belakang. Dijepit. Dijauhkan.
“Gue udah lelah…” suara Aga tenggelam di lantai yang dingin.
Dimas terdiam. Matanya melebar. Napasnya berat.
Aga tidak menutupi luka di wajahnya.
Ia sedang menyembunyikan air mata.
Air mata yang jatuh tanpa suara. Tanpa harapan. Tanpa perlawanan.
Aga menyerah.
Dan Dimas tahu—
temannya yang selama ini berdiri keras, dingin, dan tak tersentuh…
telah benar-benar runtuh malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Teen Fiction"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...
