Om Adam duduk dikursinya. Kerutan di keningnya tercipta saat kedua matanya menatap Aga dalam-dalam. Ini bukan pertama kali putra yang satu itu membuat masalah dan kembali dalam keadaan babak belur. Hanya saja ini pertama kalinya ia melihat keputusasaan di mata anak itu.
Keputusasaan yang berusaha ia sembunyikan namun terlambat. Hatinya telah dihancurkan. Om Adam sudah lelah. Ia tidak ingin lagi melihat Aga menghancurkan tubuhnya sendiri seperti ini. Ia tidak ingin melihat anak itu terluka lagi. Ia sudah lelah.
“Sampai kapan kamu akan bertingkah seperti ini?” tanya Om Adam.
“Kamu absen dari sekolah, pergi ke club malam, mabuk-mabukkan dan berkelahi setiap hari. Sampai kapan kamu akan menghancurkan dirimu sendiri?” ulang Om Adam dengan suara rendah.
“Papa takut aku menghancurkan diriku sendiri atau takut bahwa media akan mulai mencari tahu siapa aku?”
Aga tersenyum miring dan menatap lantai di bawahnya lalu kembali berkata,”Ah, benar. Pasti karena itu. Papa takut media tahu kalau orang yang membuat masalah itu adalah anak dari pendiri perusahaan ini. Karena itulah papa menyuruh orang untuk membungkam media yang ngambil foto-foto itu.”
Aga menatap foto-foto yang tergeletak di atas meja kerja ayahnya. Tak terkejut sama sekali. Hidupnya selama ini memang selalu diawasi.
“Apa semua ini karena mamamu lagi?” Om Adam balik bertanya.
“Kapan kamu bisa bersikap dewasa dan berhenti memikirkan masalah sepele seperti itu? Ingat, kamu adalah pewaris kedua perusahaan ini. Berhentilah bersikap manja dan mulailah dewasa. Gunakan otakmu untuk hal-hal yang lebih berguna.”
“Sepele…” ulang Aga pelan.
Ia bersumpah, rasanya ingin sekali ia tertawa keras saat ini. Namun rasa nyeri langsung menghantam kepalanya. Ia sudah mulai tidak tahan dengan ini semua.
“Boleh aku yang nanya sekarang?”
“Apa aku... memang anak haram yang coba papa sembunyikan?”
“Kamu putra papa. Dan papa sayang sama kamu. Hanya itu yang perlu kamu pahami.”
Aga ingin tertawa sinis. Untuk pertama kalinya, ia ingin menertawakan laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang. Tiba-tiba saja perutnya terasa geli. Ayahnya baru saja mengatakan sesuatu yang lucu sekali. Sesuatu yang lucu hingga kepalanya hampir meledak setiap mendengar kalimat ayahnya. Bukan ini yang ingin ia dengar.
Om Adam memutar kursi menghadap kaca jendela di belakangnya. Satu tangannya bersandar di sisi kursi dan satunya lagu memijit pelipisnya. Semua ini benar-benar membuat isi kepalanya berantakan.
“Pergilah ke Amerika. Lanjutkan studimu di sana dan jernihkan pikiranmu. Dengan begitu kamu bisa melupakan mamamu.”
Langkah Aga terhenti. Kepalanya tertunduk menatap ganggang pintu di depan tangannya. Seakan-akan yang barusan bicara adalah gagang pintu itu, bukan ayahnya.
“Seharusnya papa lakukan itu sejak aku lahir. Dengan begitu, mungkin aku nggak perlu merasa semenyedihkan ini.”
BLAMM!
Pintu tertutup keras. Aga keluar dari ruangan itu sebelum dirinya muntah di sana. Ia tidak ingin mendebat ayahnya sekarang meskipun emosingnya melambung di dada dan memaksa untuk dikeluarkan. Memaksa untuk diteriakkan. Dilampiaskan. Hanya saja ia tidak tahu kenapa ia tidak bisa melakukan apapun selain tersenyum sinis dan menggertakkan gigi.
Tubuhnya menghianati keinginannya sendiri. Ia ingin berteriak dan melampiaskan semua kekecewaan itu pada ayahnya. Menuntut sebuah penjelasan yang diinginkannya selama ini. Namu setiap kali ia ingin melakukan itu, rasa nyeri yang begitu hebat menyengat kepalanya dan membuat ia harus mengambil napas dalam-dalam. Bahkan bumi pun terasa terombang-ambing setiap kali ia melangkah.
Adnan baru saja keluar dari dalam lift yang menuju ruangannya. Sosok Aga yang melangkah di koridor dengan wajah penuh luka tidak terlalu membuatnya terkejut. Meskipun demikian, pupil matanya membesar ketika menyadari beberapa pasang mata staf kantor yang memandang Aga penasaran.
“Jadi sekarang kamu mulai berani menunjukkan wajah babak belurmu di sini? Apa kamu ingin menghancurkan citra perusahaan?” ucapnya berdiri di depan Aga.
Aga hanya menoleh sekilas pada duplikat ayahnya saat ini. Mereka berdua memang benar-benar mirip. Hanya sorot mata yang membedakan kakaknya itu dengan ayahnya. Ayahnya selalu menatapnya dengan sorot mata penuh perhatian. Sementara Adnan.... Aga tertawa kecil. Laki-laki itu bahkan merasa terpaksa untuk menatapnya. Aga mengalihkan mata.
“Maaf.”
“Apa maafmu bisa membuatmu menghilang seperti sebelumnya? Jika tidak, jangan ucapkan sesuatu yang tidak berguna.
Aga diam. Ia mencoba fokus pada apa yang dikatakan Adnan sementara isi kepalanya menjerit tersiksa.
“Berhentilah membuat masalah dan menjadi beban untukku. Kamu sudah dewasa. Jadi kamu pasti mengerti. Sekalipun kamu menghancurkan tubuhmu, tidak akan ada yang berubah.”
Adnan melewati bahu Aga begitu saja. Sementara Aga kembali mencoba menyeret langkahnya. Perasaannya sedang tidak baik sekarang. Perasaan juga tubuhnya. Dua-duanya membuat Aga merasa seperti sedang dicambuk dengan rantai besi berduri.
Aga merapatkan gigi ketika kata-kata Adnan kembali terngiang, menusuk kepala bertubi-tubi hingga keningnya mengernyit. Refleks dipegangnya bagian belakang kepala kuat-kuat sambil mendesis kesakitan.
Tubuhnya lemas dan jantungnya berdebar dengan cepat. Keringat dingin membasahi telapak tangan. Tidak hanya tangan, tapi juga dahi. Ia menelan ludah keras-keras melewati pangkal tenggorokan. Ingin rasanya saat ini ia mencopot kepalanya dan membuang benda itu kemana saja sebelum meledak! Shit!
“Karena aku membencimu!!”
Aga memejamkan mata dalam-dalam mendengar suara ibunya. Mencengkram rambutnya kuat hingga urat-uratnya timbul. Rasa sakit yang teramat sangat terasa di bagian yang disentuh. Telinganya berdesing nyaring seakan sesuatu sedang merobek gendang telinganya dari dalam.
Cairan hangat berwarna merah gelap mengalir dari telinga. Menetes ke bawah tanpa ia sadari. Matanya kabur dan dalam sekejap tubuhnya ambruk ke bawah. Tangan yang tadi mencengkeram bagian belakang kepala sekarang terkulai dengan darah segar yang memenuhi telapak tangan. Aga jatuh. Kepalanya menghantam lantai dan tak sadarkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Teen Fiction"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...