Festival sekolah...
Di tengah-tengah lapangan sana, sorak-sorai cewek-cewek membahana ke seantaro sekolah begitu Revival mulai kembali menyanyikan lagu ketiga mereka.Melemparkan sejuta senyum yang paling menawan untuk cewek-cewek yang jungkir balik di depan panggung. Untunglah Alvin tidak membatalkan untuk nampil gara-gara kejadian di cafe itu.
"Gue mungkin bukan cowok yang baik. Tapi gue nggak pernah melanggar apa yang gue janjiin," ucap Alvin ke Caca saat cowok itu tiba di sekolah dan berpapasan dengannya.
"Oh iya, cowok yang namanya Aga itu bukan pacar lo, kan? Jadi gue rasa, gue masih punya kesempatan."
Alvin mengedipkan matanya sekali dan membuat Caca ternganga. Bagaimana bisa ada manusia sepede itu?
Ponselnya bergetar. Buru-buru Caca mengeluarkannya dari saku. Sedetik kemudian ia kecewa. Ternyata hanya notif promo dari indomaret.
"Jangan nungguin Aga. Dia nggak bakal dateng."
Dimas muncul dari belakang dengan dua gelas plastik minuman. Satu untuk Caca dan satu lagi untuk dirinya sendiri.
"Lo tau dia ke mana?"
"Ke kebun binatang," kesal Dimas.
" Ya, di rumahnya lah. Di atas sofa. Ngegane Tidur. Istirahat. Kan no life banget idup tuh anak."
Caca mendesah. Lagi-lagi perasaan bersalah menghantuinya. Inilah alasannya kenapa ia tidak ingin berhutang budi dengan orang lain. Perasaan itu selalu membebani ke mana pun ia melangkah.
"Giliran Aga aja yang sakit, mulai lo uring-uringan. Giliran kaki gue sampe hampir di amputasi gara-gara sering lo tendang, nggak pernah lo tanyain kondisinya. Pilih kasih banget lo."
"Coba lo liat, udah berapa banyak memar yang lo ciptain di betis gue?"
"Issshhh!"
"Hah! Hah! Apa gue bilang?! Baru juga gue omongin, udah mau main nginjek aja!"
Caca menghembuskan napas lelah menghadapi Dimas kemudian tertawa di samping cowok itu. Ia teringat kejadian kemarin. Saat ia tidak sengaja terkena siraman air piket anak kelas sebelas dari lantai dua hingga seluruh seragamnya basah.Lagi-lagi sebuah ketidaksengajaan hingga membuat Dimas meneriaki keras siswi itu dari bawah dan melepas seragamnya untuk menutupi tubuh Caca.
"Woi!!! Lo nyiram pake mata dong! Buta lo ya!"
"Maaf, kak, maaf. Saya kira nggak ada orang tadi. Maaf Kak Dimas, Maaf, Kak Caca. Saya bener-bener nggak sengaja!"
"Nggak sengaja nggak sengaja! Lo mau gua ospek dua kali?! Turun lo sini!"
"BTW ... makasih," gumam Caca samar.
"Apaan?"
"Nggak. Nggak apa-apa," jawabnya.
"Nggak jelas banget lo jadi cewek."
Dimas tertawa.
Tangannya terangkat ingin mengacak-acak puncak kepala gadis itu. Seperti ada magnet yang begitu kuat menariknya.
Namun ia mengurungkan niat dan memasukkan kembali telapak tangannya ke saku celana.
"Kenapa lo nggak jengukkin dia aja?"
Caca menatap cowok itu bingung.
"Gue?"
"Nggak. Mbak Sekar," balasnya memutar mata.
"Ya elo, lah. Coba aja lo jengukkin dia. Mungkin dengan gitu tuh anak bisa sembuh lebih cepat."
Caca diam.
"Ada yang pengen gue tanyain sebenarnya. Kenapa sikap lo dingin banget sama tuh anak?"
"Gue nggak tahu ada dendam apa lo sama dia. Tapi kalo aja lo kenal lebih dekat dengan dia, Ca, Aga itu ... sebenernya dia bukan orang yang berhak dibenci."
"Apalagi tanpa alasan."
Dimas tersenyum tipis. Hatinya mengernyit pilu ketika menyarankan Caca untuk menjenguk temannya itu.Namun ia juga tidak ingin Caca terus-menerus melemparkan kebenciannya pada seseorang seperti Aga.
Aga memang tidak pernah menceritakan apapun tentang kehidupannya pada Dimas, namun cowok itu tidak buta. Setiap kali ia mengunjungi rumah Aga, yang dilihatnya adalah kehampaan dan kesunyian yang menyedihkan. Aga tidak pernah melakukan kesalahan apapun, namun sosok itu mengunci dirinya sendiri dalam kesepian dan menjauh dari kesenangan seakan ia tidak pantas untuk bahagia.
Dimas tidak pernah mendengar Aga mengeluh tentang apapun, tidak pernah protes tentang apapun, bahkan tidak pernah bicara dengan nada kasar atau membentak sekali pun.Dia terlalu baik. Karena itulah, jahat sekali jika harus membenci sosok sepertinya.
"Coba lo jenguk dia, Ca," saran Dimas lagi, meyakinkan Caca.
Sesaat kemudian mereka berdua bisa melihat lampion yang membawa berbagai harapan anak-anak Airlangga satu-persatu terbang menghiasi pekatnya malam di atas langit SMA. Terus melayang ke atas hingga berubah menjadi kerlap kerlip bintang yang indah.
Caca mengangkat ponselnya kemudian memotret pemandangan itu. Mengabadikannya dalam kamera ponsel sambil tersenyum setelah satu lampion yang berisi harapannya juga ikut bergabung menjadi kunang-kunang di atas sana.
Semoga dia baik-baik saja ...
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Подростковая литература"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...
