Dimas kembali menutup kembali pintu yang dibukanya. Menyandarkan tubuhnya pada pintu. Seulas senyum terukir di sudut-sudut bibirnya.
Di sana, di bagian terdalam tubuhnya, hatinya berdenyut menyakitkan. Menyakitkan melihat gadis itu memeluk sahabatnya. Menyakitkan karena satu-satunya yang dibutuhkan Aga untuk bernapas saat ini adalah Caca. Ya, hatinya terluka. Jauh lebih terluka karena sebuah pengikhlasan. Sebuah kerelaan yang harus ia hadapi.
"Sialan...," desisnya.
Senyum itu tampak begitu menyedihkan di kedua mata hitamnya. Tidak untuk Aga. Tapi untuk dirinya. Untuk dirinya yang tak bisa melakukan apapun untuk mengobati luka di hati temannya dan tak bisa melakukan apapun demi gadis yang ia sayangi.
"Sialan," makinya pada dirinya sendiri. Ia benar benar pecundang....
♦♦♦
Laki-laki itu tak bergerak ketika Caca mengambil tangannya. Ia bahkan tak mendesis ketika Caca mengusap luka-luka di buku jarinya dengan alkohol lalu membalutkan perban di sana.
Caca tahu bagaimana sakitnya saat luka koyak seperti itu diberi alkohol. Tapi kenapa laki-laki ini bersikap seakan ia tidak merasakan apapun?
Kenapa ia bersikap seakan seluruh tubuhnya mati rasa? Tubuh.... dan hatinya. Keduanya seakan mati. Apa yang terjadi?
Namun Caca tidak akan menanyakannya. Jika pertanyaan itu akan membuat laki-laki ini kembali terluka, maka lebih baik ia memilih diam. Ditumpahkannya sedikit alkohol ke kapas bersih sekali lagi dan memperpendek jarak hingga wajahnya berada persis di depan Aga.
Apa yang sebenarnya terjadi sampe lo ngehukum diri lo kayak gini, Ga?
Laki-laki itu memejamkan mata ketika Caca menyelipkan tangan ke bawah rambutnya yang menutupi dahi dan menekan pelan bagian pelipisnya dengan kapas beralkohol. Membersihkan luka-luka itu perlahan.
Tangan gadisnya bergerak pelan menyusuri luka-luka lain meskipun sesekali melirik mata Aga yang terpejam, seolah laki-laki itu sedang tertidur. Ingin sekali rasanya memotong poni Aga yang panjang dan hampir menutupi mata, yang menyembunyikan kelopak mata indah di baliknya. Hanya saja, bukan itu yang harus ia pikirkan saat ini.
"Udah selesai," ucapnya setelah menempelkan plester di wajah Aga dan mundur sedikit.
Sudut bibirnya terangkat lemah ketika ia mencoba tersenyum pada laki-laki itu. Bahkan ketika senyumannya tidak ditanggapi. Laki-laki itu membuka mata beberapa saat kemudian. Menatap lantai di bawah kakinya sebelum akhirnya berdiri.
"Tunggu diluar," ucapnya pelan.
Matanya yang kosong membimbingnya untuk berdiri.
"Nggak!" Caca ikut berdiri. "Gue nggak akan ngijinin lo pergi kemanapun. Jadi mending lo masuk lagi ke kamar dan tidur."
Sikap keras kepala Caca akhirnya membuat Aga mengeluarkan Caca dari apartemennya dengan paksa dan menutup pintu. Tak disangka, ternyata selain Caca, masih ada satu orang bodoh yang menunggu di depan sana.
"Aga!!!"
"Kenapa lo diseret keluar? Lo ngapain dia?!" tanya Dimas lalu menggedor-gedor pintu Aga.
"Ga! Eh, brengsek!!! Buka, nggak?! Jangan sampe gue ancurin nih pintu!!!" teriak Dimas.
"Aga!" panggil Caca.
"Ga!"
"Aga!" panggil Caca panik.
"GA! NIH PINTU MAHAL, GUE NGGAK MAU GANTI RUGI BANGSAT!!!"
Dimas sudah ancang-ancang mendobrak-
dan tepat saat itu... pintu terbuka.
BRAKK!!!!
Tubuh Dimas terjerembab ke lantai.
"Aduh-!"
Ia langsung bangkit. Cepat. Terlalu cepat.
"NGGAK ADA YANG LIAT YA?!"
Caca menatapnya datar.
"...Lo jatuh."
"ITU TACTICAL ROLL," bantah Dimas cepat. "Strategi."
Aga berdiri di ambang pintu. Tidak peduli.
"Ayo," ucapnya pada Caca.
Satu tangannya memegang tas kecil Caca. Pakaian kotornya telah berganti dengan kaos turtleneck hitam dibalik jaket panjang yang ia kenakan. Aroma alkohol memudar dan tampangnya tidak lagi sekacau sebelumnya.
"Ayo," ucapnya sekali lagi pada Caca, tak mempedulikan Dimas.
Namun begitu Aga mulai melangkah, Dimas menahan tangannya. Menginginkan jawaban ke mana laki-laki itu akan pergi dan membuat keributan lagi. Ke mana dia akan membawa Caca pergi?
"Ayo kemana? Jangan bawa dia ke masalah baru lagi, bego! Gue capek ditoyor polisi gara-gara lo!"
"Gue antar dia pulang," jawab Aga pelan.
Dimas melepaskan tangannya sesaat kemudian mengangguk sekilas, membiarkan Aga berlalu melewatinya begitu saja, tak mempedulikan sikap keras kepala Caca.
Kalo gue nggak ngantar lo pulang saat ini juga, gue mungkin akan jadi orang yang paling berbahaya buat lo, Ca. Karena ketika lo bilang lo nggak akan pernah pergi, gue mulai jadi orang yang serakah.
_
Aga_
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Ficção Adolescente"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...
