Chapter #23 Reason

4.4K 330 12
                                    

Aga tidak tahu berapa lama oa berbaring di atas sofa. Yang  ia tahu, ketika akhirnya ia membuka mata, bulan telah kembali digantikan matahari yang berusaha menyelinap dari jendela. Satu tangannya yang terjulur ke bawah digigit-gigit pelan oleh kucing putih yang dipungutnya tempo hari. Si kucing tanpa nama yang berusaha membangunkan Aga untuk meminta makan.

Aga menoleh ke bawah, memperhatikan tangannya yang sesekali digigiti oleh si putih yang terus saja mengeong mondar-mandir itu.

“Meowww …”

Seakan berat, cowok itu kemudian bangun dan mengusap pelan kepala si putih yang terlihat manja. Ia baru berhenti mengikuti langkah Aga setelah diberi makan. Aga tersenyum samar. Jika saja tidak ada kucing itu, mungkin ia tidak punya alasan untuk bangun dari sofanya pagi ini. Apa yang dikatakan Adnan masih membekas di hati.

Aga menatap bayangan dirinya di cermin. Tidak ada luka baru. Tidak ada tanda-tanda fatal kecuali memar keunguan besar di sekeliling bahunya. Terlalu banyak menggunakan tangan dan bahu kanannya yang belum sembuh itu, membuat rasa sakitnya bertahan lebih lama, menggantikan perih luka yang menyayat hatinya selama delapan belas tahun.

Aga memegangi lebam di bagian bahunya, seakan mencoba meredam sakit itu sambil menahan napas. Lalu tiba-tiba saja suara Caca terngiang di kepalanya.

“Hati-hati …”

Hanya satu kalimat yang diucapkan  Caca saat itu, sesaat sebelum ia pergi dan menggas gila-gilasn motornya menembus jalanan ibukota seakan sedang mempermainkan malaikat maut. Sudut bibir laki-laki kemudianterangkat membentuk bulan sabit ganda ketika ia tersenyum.

Ah, benar.

Ia masih punya alasan untuk kembali ke sekolahnya hari ini. Meskipun hanya dari jauh, ia masih ingin menggapai harapan itu dengan tangannya.

Ia masih ingin... melihat Caca.

***

Caca bangun pagi-pagi sekali dan berangkat sekolah lebih awal.Jika biasanya jam enam lewat empat puluh lima menit batang hidungnya sudah muncul di kelas, hari ini justru belum jam enam ia sudah duduk manis di bangkunya, membuat Solihin kaget karena rekornya selama ini sebagai anak kelas XII IPA 3 yang selalu datang awal, sekarang justru direbut oleh Caca.

“Tumben lo datang awal Ca. Ada apaan emangnya?”

“Pengen aja,” balas Caca singkat, tanpa sadar meniru nada khas Aga sambil membaca novel.

Dan 'pengen aja' nya ini justru berlanjut berhari-hari. Esok demi esoknya lagi, Caca selalu jadi yang terawal tiba di sekolah. Sukses membuat Solihin menggaruk rambutnya keras-keras karena kesal selalu kalah.Datang awal sudah menjadi obsesi Solihin sejak dulu! Apa besok dia harus berangkat subuh biar nggak keduluan sama Caca?!

Solihin tidak pernah tahu bahwa sebenarnya Caca melakukan semua itu demi menghindari Aga.Setiap kali Caca teringat Aga menciumnya malam itu, jantungnya terus saja berdetak tidak menentu dan membuat wajah gadis itu memerah dalam hitungan detik.

Caca berusaha untuk tidak mengingatnya. Namun mustahil. Mustahil jika setiap hari ia melihat wajah Aga di sekolah! Lalu bagaimana caranya agar ia bisa melupakannya?!

Ia sengaja datang pagi-pagi agar bisa melewati kelas Aga yang masih kosong supaya tidak dicegat. Memang bukan Aga yang menyegatnya, tapi Dimas. Dan kalau Dimas melakukannya, jelas Aga akan otomatis langsung menghampiri.

Di hari lainnya Caca pernah menjerit dan memaki pelan ketika menghindari Aga dan tidak sengaja tersandung hingga Dimas yang kebetulan lewat, menangkap tubuh gadis itu sebelum wajahnya mencium lantai. Setelahnya Caca menyeret Dimas pergi dengan paksa seakan dunia sedang membutuhkan cowok itu.

Aga yang sedang menyeruput es lilinnya di koridor kelas, hanya bisa memperhatikan punggung mereka berdua yang semakin menjauh dengan satu alis terangkat. Bingung.

"Perasaan gue ato emang si Caca lagi ngehindarin lo, Ga?" Farhan bingung.
Aga mengedikkan bahunya. Ia juga tidak tahu.

Tiba tiba saja Aga mendengus geli.
Tidak. Ia tarik kembali ucapannya.
Sepertinya ia tahu kenapa Caca menghidarinya.

***

Dddrrrrrtttttttttttttt!!!
Dddrrrrrtttttttttttttt!!!
Dddrrrrrtttttttttttttt!!!

Caca mendekatkan ponselnya ke telinga di sela-sela tidurnya dengan suara masih mengantuk. Namun sedetik kemudian ia menjauhkan benda itu dari kuping.

“ALLAHUAKBAR, CA!! LO MASIH TIDUR?!!! UDAH JAM TUJUH, CA!! JAM TUJUH!! LO GILA YA?!! LO LUPA HARI INI ADA APA?!!! BANGUN NGGAK LO?!! DARITADI UDAH DITUNGGUIN YANG LAEN, CURUTTT!!!”

“Apaan sih, Yu? Berisik ah. Gue mau tidur. Ngantuk berat nih!”

“TIDUR TIDUR KEPALA OTAK LO! BUS BENTAR LAGI BERANGKAT GOBLOK!! GUE GAK MAU TAU, DALAM 10 MENIT LO HARUS UDAH DI SINI, ATAU LO DITINGGAL!!!” putus Ayu.

Baru saja Caca akan kembali pada mimpinya yang terputus tadi, matanya tiba-tiba terbuka lebar selebar-lebarnya saat menyadari sesuatu yang salah. Diambilnya kembali handphonenya dengan sigap. Jam tujuh lewat sembilan!

“Uwaaaaaaaaaa!!!”

“Telat! Telat! Telat!” teriaknya sontak membuat Tante Laksmi bingung, terlebih mendapati piyama putrinya sudah berganti menjadi kaos oblong dan celana training hitam dalam beberapa saat.

Caca menepuk-nepuk pipinya sebentar di depan cermin. Ia tak punya waktu untuk mandi. Jadi yang bisa dilakukannya hanyalah cuci muka dan buru-buru gosok gigi dengan gerakan kilat. Dikuncirnya rambut panjangnya dan meraih jaket hitam di belakang pintu lalu segera keluar dari kamar mengenakan sepatu.

“Mau ke mana, Ca? Kok pagi pagi udah heboh aja kayak mau perang ....”
“LDKS, Ma! Berangkat dulu ya!

Caca langsung mencium tangan Tante Laksmi dan berlari pergi, meninggalkan mamanya yang masih bingung dan tidak diberi kesempatan bertanya. Butuh waktu setengah jam dari jarak rumah ke sekolahnya. Namun kali ini Caca nekat minta tumpangan motor abang-abang yang mengarah ke sekolah setelah berlari kencang dan tidak yakin bahwa ia akan sampai tepat waktu!

Alhasil, jam tujuh tiga puluh kurang tiga menit, cewek itu berhasil muncul di depan sekolah, berlari menuju busnya di mana Pak Nata sudah menunggu. Ia langsung menghempaskan pantatnya ke kursi tanpa bertanya lagi tepat di saat bus sudah mulai jalan.

Napasnya hampir habis dan detak jantungnya tidak beraturan karena habis dipaksa berlari kencang. Caca mengatur napas. Mengisi sebanyak mungkin pasokan oksigen ke dalam dada. Bulir-bulir keringat membasahi dahinya. Anjrittt!
Kenapa gue sampe bisa lupa gini sih?!!!

“Minum dulu, Ca.”

Caca meraih dan mengambil botol mineral yang disodorkan oleh seseorang yang duduk di sampingnya.

Thanks,” balasnya cepat dan buru-buru membuka tutup botol, merasakan segarnya air yang mengalir melewati kerongkongan.
Ia baru saja akan mengembalikan botol mineral tersebut ketika tersedak mengenali pemilik mata kelabu yang mengenakan topi dan tudung jaket di sampingnya saat ini.

Aga menepuk-nepuk pelan punggung Caca, membantu menghentikan batuk cewek itu, meskipun di sisi lain sebenarnya ia sedang berusaha menahan tawa sambil melempar pandangannya ke luar jendela.

Begitu batuknya hilang, Caca langsung mendelik kesal laki-laki yang berusaha ia hindari beberapa hari ini.

“Ngapain lo di sini?!” teriaknya kaget.

Aga mengeluarkan sesuatu dari balik jaket hitamnya dan menunjukkannya pada Caca.

“Panitia,” ucapnya singkat, membiarkan ID card itu jatuh mengalung di dada.

“Panitia dari Hongkong! Lo kan bukan pengurus!”

“Gue nawarin diri jadi volunteer,” tukasnya cuek. “Tanya aja sama Pak Nata.”

Caca menganga lebar mendengar jawaban cowok itu. Ia tidak habis pikir. Cowok ini pasti nyogok Pak Nata. Pasti! Nggak mungkin kan Pak Nata tiba-tiba aja ngijinin orang lain gabung jadi panitia?! Tebakannya pasti benar. Aga pasti nyogok tuh guru!

“Lo udah gila ya?!”

Aga hanya mengedikkan bahu dan memejamkan mata sambil menyandarkan kepala ke kursi. Ia menurunkan topinya hingga menutupi mata, mencoba tidur selama perjalanan.

Caca menoleh ke sekitar sejenak, mencari kursi kosong yang ada. Namun semuanya sudah terisi oleh sebagian besar pengurus osis dan pramuka. Kecuali satu kursi di samping Dimas yang duduk di bagian belakang.

Ia tidak terlalu terkejut mendapati Dimas satu bus dengannya, karena faktanya Dimas memang ketua pramuka yang ikut ambil bagian dalam kepanitiaan.
Gadis itu langsung naik darah ketika Dimas mengejeknya karena tidak bisa menghindari Aga.

Bangsat lo! umpat Caca dalam hati dan memaki Dimas dengan kedua sorot matanya.

Dimas semakin tergelak meskipun akhirnya laki-laki itu mengalihkan matanya ke pemandangan di jalan. Ia merasa bosan.
Caca baru saja akan berdiri berniat pindah ke samping Dimas. Meskipun menyebalkan, setidaknya ia tidak perlu mati kutu di samping cowok itu. Namun Aga lebih dulu menahan tangannya tanpa melihat sedikit pun.

“Kalo lo pindah, gue juga pindah. Percuma aja. Jadi lebih baik lo diem di situ, atau gue terpaksa ngiket tangan lo biar lo nggak jauh-jauh.”

Caca menghela berat. Ia tidak punya pilihan untuk membantah Aga.
Alhasil, gadis itu hanya bisa diam sepanjang perjalanan sementara cowok di sampingnya tertidur lelap.

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang