Chapter #29 Cause you have to choose, stay or leave

4.1K 342 10
                                    

Ada sejuta perasaan bersalah atas permintaan yang seharusnya tidak ia bayangkan saat itu. Ada penyesalan ketika ia mengingat betapa bodoh pertanyaannya sendiri saat itu.

"Gue tau itu bukan salah Evan. Hanya aja rasanya sakit saat selalu dibanding-bandingin. Terlebih sama orang tua sendiri. Tapi gue sayang sama dia."

"Dia orang kedua tempat gue ngadu selain nyokap. Dia yang selalu ngehibur gue waktu gue sedih diomelin bokap. Lalu dia meninggal gitu aja," ucapnya ingin tertawa.

Ia teringat momen terakhir kalinya ia melihat Evan di rumah sakit. Momen ketika kakaknya mengelus pipinya untuk terakhir kali dan tersenyum. Airmata menetes dari sudut mata gadis itu. Dan ia buru-buru menghapusnya dan kembali tersenyum. Tiba-tiba saja ia merasa kesal pada air matanya yang tidak tahu malu itu.

"Setelah Evan meninggal, bokap jadi stress. Dan nggak berapa lama kemudian bokap meninggal karena stroke."

Caca terdiam sejenak.

"Lo tau, gue nggak pernah suka dengan kata 'seandainya'.

Kata itu kayak gambarin betapa lemahnya gue karena cuman bisa berharap tanpa bisa ngelakuin apa-apa."

"Tapi setelah Evan meninggal, gue jadi sering gunain kata itu."

"Seandainya aja gue nggak pernah bertanya hal kayak gitu."

" Seandainya gue nggak pernah ngebayangin gimana rasanya kalau Evan nggak pernah ada."

"Seandainya Tuhan nggak perlu ngabulin harapan tolol gue."

"Seandainya Evan masih hidup sekarang."

"Lalu gue ketemu sama lo," gadis itu kembali mendengus.

Namun Aga bisa melihat senyum kecil terukir di sudut bibir merah mudanya. Dan itu bukan pertanda buruk. Karena itu, ia kembali mendengarkan.

"Awalnya biasa-biasa aja," ucap Caca.

"Ya, gue akui lo emang jadi pusat perhatian. Di manapun gue lewat yang gue denger cuman nama lo. Lo sempurna. Bener-bener ngingetin gue sama Evan."

"Tapi gue mulai kesal, saat gue nganterin buku ke ruang guru waktu itu. Gue gak sengaja denger mereka ngebahas tentang gue sama lo. Ngebanding-bandingin kita berdua. Terlebih mereka malah udah menggadang-gadangkan lo sebagai ketua osis nantinya."

"Lo lebih sering menang olimpiade. Lo nguasai semua cabang olahraga, dan lo lebih bisa diandelin sebagai laki-laki dan fans lo juga banyak. Lo punya kharisma sebagai ketua osis selanjutnya."

"Pada akhirnya mereka buat gue ngerasa balik lagi ke masa lalu. Gue jadi terobsesi buat ngalahin elo. Gue jadi terobsesi, buat ngalahin Evan kali ini melalui lo."

"Maaf, kalo dulu... gue egois banget. Sekarang gue sadar, lo nggak seharusnya jadi bahan pelampiasan gue."

"Walaupun gue benci banget liat ekspresi lo yang 'poker face' banget itu, seolah ngeremehin semua usaha keras gue. Terkadang tampang malaikat lo bisa bikin orang jengkel setengah mati, tau nggak?"

Aga tersenyum samar kemudian menghela napas, melarikan penglihatannya dari Caca dan menatap hal lain. Ia tidak ingin Caca melihat kesedihan yang bersemayam di pelupuk matanya.

"Gue nggak sesempurna yang lo bilang, Ca," gumamnya.

"Nggak ada yang sempurna di dunia ini. Bahkan gue. Dan mungkin, sosok gue jauh dari apa yang lo bayangin."

Caca mendengus tak percaya dan memutar kedua bola matanya.

Aga menghela berat.

"Terkadang gue ngerasa, mungkin Tuhan sedang marah saat nyiptain gue. Mungkin karena itulah seluruh harapan gue nggak pernah jadi nyata selama ini."

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang