Chapter #35 The Truth

4.4K 318 7
                                        

Apalagi yang bisa membuatnya merasa lebih buruk?

Pertanyaan itu seharusnya tidak pernah muncul. Tidak pernah ia izinkan tumbuh di kepalanya. Karena setiap kali ia berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja, kenyataan justru datang menjungkirkan hatinya tanpa peringatan—lalu membantingnya ke tanah tanpa ampun.

Semuanya bermula dari suara pecahan gelas di tengah malam.

Aga terbangun. Ia bangkit terlalu cepat, jantungnya berdegup tidak wajar. Kakinya melangkah keluar kamar, mengikuti suara itu menuju dapur. Tangannya meraih saklar. Lampu menyala.

Dan di sana—
seorang perempuan berdiri tertunduk di dekat meja.

Rambut panjangnya tergerai, kulitnya pucat, wajahnya kehilangan warna. Tangannya berpegangan pada sisi meja, seolah tubuhnya sendiri tak lagi mampu menopang.

Perempuan itu menunduk, memunguti pecahan gelas di lantai. Tidak peduli ketika serpihannya melukai kulit tangannya.

“Mama…”

Aga bergegas mendekat.

Plaakkk!

Tangannya ditepis kasar.

Tante Laras mundur beberapa langkah. Tubuhnya gemetar. Tatapan matanya kosong, seperti menolak keberadaan Aga sepenuhnya.

“Ma…” panggil Aga lagi, suaranya melemah.

Ia hanya ingin memastikan perempuan itu baik-baik saja.

Namun Laras justru menghindar saat Aga mencoba menyentuhnya. Ia membalikkan badan, berjalan menjauh meski kakinya menginjak pecahan beling. Ia tidak peduli. Ia tidak ingin melihat anak itu. Tidak bahkan sedetik pun.

Ia seharusnya tidak keluar kamar.

“Sampai kapan mama akan ngabaikan aku kayak gini?”

Aga tidak berteriak.

“Aku… cuma mau nolong,” katanya pelan.

Kalimat itu jatuh lebih menyakitkan daripada jeritan. Ia sudah terlalu lama menyimpan pertanyaan-pertanyaan ini. Terlalu lama menunggu jawaban yang tak pernah datang.

“Sampai kapan mama akan nganggep aku nggak pernah ada?”
“Kenapa mama nggak pernah mau ngeliat aku?”
“Apa salah aku sebenarnya?”

Napas Tante Laras tersendat.

Pertanyaan-pertanyaan itu menghantam jantungnya. Ia mencengkeram ujung meja hingga buku jarinya memutih. Dadanya terasa sesak. Jantungnya berdegup terlalu cepat, terlalu keras.

Melihat ibunya seperti itu, Aga refleks mendekat. Memegangi lengannya. Takut. Khawatir. Takut telah menyakitinya.

Namun lagi-lagi, tangan itu disingkirkan dengan kasar.

Seolah sentuhan Aga adalah racun.

“Ma…”

“Jangan mendekat.”

Untuk pertama kalinya, Aga mendengar suara ibunya ditujukan langsung kepadanya. Dan entah mengapa, itu terasa lebih menyakitkan daripada kebisuan bertahun-tahun.

“Ma, biar aku—”

“Kubilang jangan mendekat! Kamu nggak dengar?!”

Aga tersentak.

“Ma…”

“Berhenti panggil aku begitu,” suara Laras bergetar. “Aku bukan mamamu. Bukan ibumu. Jangan panggil aku seperti itu.”

Dan untuk pertama kalinya—
mata cokelat itu menatap Aga.

“Kamu mau tahu?” tanyanya lirih, hampir putus.
“Kamu mau tahu kenapa aku seperti ini?”

Aga menahan napas.

“Karena aku membencimu.”

Kalimat itu menembus dadanya tanpa sisa.

“Aku benci harus melihat wajahmu setiap hari,” lanjutnya. “Ayahmu. Perempuan itu. Bayiku...” Ia menelan ludah, bersamaan rasa sakit yang menohok jantungnya.

“Kamu kaget?”
“Kamu baru tahu kalau kamu cuma anak hasil perselingkuhan ayahmu?”

“Kalau begitu salahkan ayahmu. Dia yang memaksaku menerimamu. Mengurusmu. Memasukkan namamu ke dalam keluarga ini demi menutup aibnya.”

“Perempuan itu mati melahirkanmu,” suaranya meninggi. “ memintaku merawatmu ... Anak haramnya.. ”

“Kalau bukan karena dia—hidupku tidak akan hancur....”

“Rumah tanggaku tidak akan berantakan.”

“Adnan tidak akan kehilangan ayahnya.”

"Bayiku..... Bayiku juga tidak akan mati.... Bayiku yang malang... "

“Semua ini karena ibu dan ayahmu!!!”

"Aku membencimu!!! Hanya melihatmu tumbuh, membuat hatiku sangat tersiksa!!!"

Aga mundur selangkah.

Sesuatu di dalam dirinya runtuh... sepenuhnya.

Tatapan Laras bergetar. Kebencian di matanya goyah, berubah menjadi keputusasaan yang telanjang. Aga menunduk, mengambil pecahan beling besar dari lantai, lalu mengulurkannya.

“Kalau gitu…” suaranya nyaris tak terdengar, “bunuh aja aku.”

Darah menetes dari telapak tangannya.

“Kalau memang sesakit itu ngeliat aku…”
“bunuh aja aku.”

Tante Laras membeku.

Matanya terpaku pada darah di tangan Aga. Air mata jatuh tanpa bisa ditahan. Kakinya terasa lepas dari tubuhnya sendiri.

Ia jatuh berlutut.

Tangannya memeluk kaki Aga.

“Aku mohon…” isaknya pecah. “Jangan siksa aku lagi…”

“Kumohon…”

“Pergilah dari hidupku…”

“Pergilah dari hidupku…”

Dan untuk pertama kalinya, air mata Aga jatuh tanpa suara.

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang