Chapter #33 Through the soul

4.2K 312 14
                                    

Caca terlelap. Dahinya memerah saat kepalanya berganti posisi ke samping untuk menghirup udara segar. Ia menumpukan sebagian pipi pada lengannya yang terjulur bebas sebagai bantal. Terbuai dalam mimpi untuk beberapa saat sampai kemudian ia tersadar perlahan ketika merasakan hembusan napas samar yang terdengar teratur di dekatnya. Caca  membuka mata.

Ketika kelopak matanya terbuka, bayang-bayang Aga ada di sana. Di dalam mimpinya. Dengan posisi yang sama. Aga menumpukan sebelah wajahnya di atas lengan seperti yang Caca lakukan. Layaknya cermin satu arah, gadis itu bisa melihat mata coklatnya sendiri yang terpantul di cermin mata Aga.

Mata kelabu yang begitu kelam dan syarat akan kekosongan emosi. Namun ia tidak bisa menebak apa yang ada di benak sang pemilik mata. Menebak-nebak kenapa mata itu terlihat begitu menyedihkan, sorot mata yang begitu kesepian. Membuat gadis itu ingin menyentuh wajah Aga dengan ujung jemari. Menyentuh kelopak matanya yang dalam. Menyentuh bulu mata panjang dan lebat yang membingkai mata sendu itu. Menelusuri garis hidung dan pipinya yang cekung, serta bibirnya yang terkatup rapat.

Caca ingin seakan ingin menyentuh wajah itu dan mencari tahu kenapa tidak ada jejak kebahagiaan yang tertinggal di sepasang retinanya yang begitu indah namun juga memilukan di saat yang sama.

“Pegang aja, Ca. Nggak apa-apa,” ucap Aga.

Begitu mendengar suara Aga, mata Caca langsung membulat kaget. Ternyata bukan mimpi. Sontak saja gadis itu langsung melarikan tangannya dan duduk. Wajahnya memerah. Ia mengalihkan pandangan sedetik kemudian. Menengok ke seluruh penjuru kelas yang sudah tidak berpenghuni hingga menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Kosong. Jam berapa sekarang?

“Kok lo nggak bangunin gue sih? Yang lain pada ke mana?”

“Udah pada pulang,” jawab Aga.

“Hah? Terus ... sejak kapan lo di sini?”

“Sejak negara api menyerang,” Aga mengedikkan bahu. “Gue jemput di kantin, tapi lo nggak ada. Ketiduran di kelas rupanya.”

Sebenarnya teman-temannya Caca ingin membangunkan gadis itu, hanya saja Aga melarang dan menyuruh mereka pergi. Melihat gadisnya terlelap, membuatnya ingin lebih melihat wajah polos itu.  Hingga membuatnya tidak sadar bahwa hari telah petang. Ada sesuatu yang tak asing di wajah Caca saat itu. Ia berusaha mengingatnya. Hanya saja … apa? 

Kenapa wajah gadis itu begitu kabur dalam benaknya? 

Caca bangkit dan keluar dari kelas diikuti Aga dari belakang. Cewek itu tidak mengatakan apapun lagi selain hanya menghela napas.

Ternyata sekolah tidak benar-benar kosong. Di koridor yang dilewati Caca masih ada beberapa siswa yang asik nongkrong. Dari sudut matanya, ia juga bisa melihat lapangan yang sedang digunakan oleh salah satu ekskul marching band untuk latihan.

“Ca,” panggil Aga.

Cewek itu hanya menyahut dengan “hmm” tanpa berniat menoleh ke belakang meskipun ia tahu Aga dapat dengan mudah mensejajarkan langkah mereka.

“Lo marah?”

“Nggak.”

“Terus kenapa ngacangin gue?”

“Perasaan lo aja kali.”

“Kalo gitu, sebelum pulang temenin gue ke suatu tempat ya?”

“Minta temenin Kirana aja. Gue bisa pulang naik angkot.”

Kali ini Aga berhenti dan justru menahan decak tawanya di belakang. Sekarang ia mengerti. Pikiran wanita memang ternyata sulit untuk ditebak. Hati dan mulutnya selalu mengucapkan hal yang saling bertolak belakang.

“Kenapa ketawa? Gila lo kumat lagi?” tanya Caca, mendelik ke arah cowok itu.

Aga menghembuskan napas berat sebelum kemudian menyusul Caca dalam hitungan detik. Cewek itu meringis kaget ketika tiba-tiba lengan Aga sudah mengunci lehernya.

“Ihhh, apaan sih?! Bau, Ga! Bau ketek!” protes Caca saat wajahnya berada dekat dengan ketiak Aga, membuatnya bisa mencium jelas bau matahari yang bercampur dengan aroma parfum mahal laki-laki itu. Namun Aga tidak peduli dan justru semakin mengunci erat Caca yang berusaha mengangkat tangannya. “Maaf, tapi lo tetap harus ikut gue. Nggak ikhlas juga nggak apa-apa,” senyumnya licik.

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang