BUK!
Piipp! Piipp!
Caca mengunci pintu mobil hitam lalu menasuki sebuah gedung tinggi di hadapannya. Ketika ia membuka pintu apartemennya, ruangan di dalam terlihat gelap seperti biasa. Tanpa lampu. Hanya mengandalkan cahaya bulan dan gedung-gedung di sekitar yang membias ke ruang tengah. Gorden putih di sekitar jendela tampak bergerak lembut tertiup angin. Dan pemandangan disana tampak begitu menenangkan.
Sesaat ia ingin menyalakan lampu di ruang tengah itu, namun kemudian ia membatalkannya dan hanya menghidupkan lampu di ruang dapur sambil melemparkan tasnya begitu saja di atas meja.
Wanita itu membuka kulkas. Mengambil botol mineral, meneguknya beberapa kali setelah seharian lembur di rumah sakit lalu mengecek email di ponselnya sebentar. Email yang dikirimkannya ke Adnan beberapa hari yang lalu namun belum dibalas oleh pria dingin itu.
Perempuan dengan mata cokelatnya yang terlihat lelah itu menghela napas kemudian mengalihkan matanya keluar balkon jendela. Ke arah kuatnya angin malam yang berhembus hingga membuat tirai-tirai di sampingnya bergerak. Ke arah gelapnya malam yang dihiasi oleh lampu-lampu gedung pencakar langit yang mengundangnya untuk mendekat. Mengingat beberapa kenangan yang pernah ada di apartemen itu.
Dan masih sama seperti dulu ketika ia memasuki apartemen ini, ia membiarkan ruang tengahnya tetap temaram. Dan di ruangan itulah ia menemukan seorang lelaki bersandar di dinding dengan kondisi terluka parah.
Laki-laki dengan hati yang penuh retakan. Duduk dengan kepala tertunduk sengsara. Menyembunyikan wajahnya dalam kegelapan. Tidak mengijinkan siapapun untuk mendekat.
Semakin gadis itu mendekat meraihnya, laki-laki itu pun semakin melangkah mundur ke jurang.
Ia meletakkan sebuah dinding besar di antara mereka. Sebuah di dinding yang sangat rapuh untuk bertahan, terbuat dari hatinya yang penuh luka. Hingga ketika akhirnya dinding itu hancur, airmata itu tak lagi bisa ia sembunyikan hingga ia harus mengecilkan tubuhnya menahan sakit.
Ya, laki-laki itu adalah Aga. Aga yang bahkan meneriakinya untuk pergi saat itu. Memintanya untuk pergi sejauh mungkin. Namun yang terlihat di mata Aga saat itu justru adalah seorang anak kecil yang terkurung dan menangis memintanya jangan pergi.
Caca memejamkan matanya sejenak.
Apartemen itu adalah apartemen Aga. Ia mengambil alih apartemen itu tiga tahun yang lalu.
Pemilik mata cokelat hangat itu menghembuskan napas berat dan mengalihkan pikirannya ketika ia melihat bayangan Aga mengenakan kaos putih panjang dan celana training abu-abu di sana sedang membuka jendela balkon.
Bayangan yang selalu hadir dalam kesendiriannya. Salah satu alasan, kenapa ia memilih untuk menyendiri. Karena di saat-saat seperti ini, Aga seakan kembali padanya.
Terkadang ia melihat Aga sedang duduk sambil membaca di sana atau bayangan Aga yang tidur di sofa dengan wajah tertutup buku dan Aga yang sedang makan mie instan di atas meja.
Gadis itu meneguk air mineralnya sekali lagi, namun kemudian terdiam ketika mendapati Aga berada tepat di sampingnya. Ikut menuangkan air mineral ke gelas dan meneguknya.
Ia memandang Caca sesaat, tersenyum lalu mengacak-acak puncak kepala gadis itu. Sentuhan yang terasa begitu nyata. Hangat dan meninggalkan jejak yang sulit untuk dihapus. Terlalu nyata untuk sebuah mimpi.
"Sana istirahat. Lo kelihatan capek banget," ucap laki-laki itu.
Gadis itu mengerjap dan setelah itu, Aga pun menghilang.
Caca merebahkan tubuhnya di ranjang dan memejamkan mata. Setetes air bening menetes pelan dari sudut matanya. Setetes air mata sebagai tanda bahwa hatinya terluka oleh angan yang ia ciptakan sendiri. Karena itu tolong, jangan menganggapnya gila. Hanya ini satu-satunya cara agar ia bisa terus bernapas.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Novela Juvenil"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...
