Chapter #53

3.5K 292 12
                                    

BUK!

Piipp! Piipp!

Caca mengunci pintu mobil hitam lalu menasuki sebuah gedung tinggi di hadapannya. Ketika ia membuka pintu apartemennya, ruangan di dalam terlihat gelap seperti biasa. Tanpa lampu. Hanya mengandalkan cahaya bulan dan gedung-gedung di sekitar yang membias ke ruang tengah. Gorden putih di sekitar jendela tampak bergerak lembut tertiup angin. Dan pemandangan disana tampak begitu menenangkan.

Sesaat ia ingin menyalakan lampu di ruang tengah itu, namun kemudian ia membatalkannya dan hanya menghidupkan lampu di ruang dapur sambil melemparkan tasnya begitu saja di atas meja.

Wanita itu membuka kulkas. Mengambil botol mineral, meneguknya beberapa kali setelah seharian lembur di rumah sakit lalu mengecek email di ponselnya sebentar. Email yang dikirimkannya ke Adnan beberapa hari yang lalu namun belum dibalas oleh pria dingin itu.

Perempuan dengan mata cokelatnya yang terlihat lelah itu menghela napas kemudian mengalihkan matanya keluar balkon jendela. Ke arah kuatnya angin malam yang berhembus hingga membuat tirai-tirai di sampingnya bergerak. Ke arah gelapnya malam yang dihiasi oleh lampu-lampu  gedung pencakar langit yang mengundangnya untuk mendekat. Mengingat beberapa kenangan yang pernah ada di apartemen itu.

Dan masih sama seperti dulu ketika ia memasuki apartemen ini, ia membiarkan ruang tengahnya tetap temaram. Dan di ruangan itulah ia menemukan seorang lelaki bersandar di dinding dengan kondisi terluka parah.

Laki-laki dengan hati yang penuh retakan. Duduk dengan kepala tertunduk sengsara. Menyembunyikan wajahnya dalam kegelapan. Tidak mengijinkan siapapun untuk mendekat.

Semakin gadis itu mendekat meraihnya, laki-laki itu pun semakin melangkah mundur ke jurang.

Ia meletakkan sebuah dinding besar di antara mereka. Sebuah di dinding yang sangat rapuh untuk bertahan, terbuat dari hatinya yang penuh luka. Hingga ketika akhirnya dinding itu hancur, airmata itu tak lagi bisa ia sembunyikan hingga ia harus mengecilkan tubuhnya menahan sakit.

Ya, laki-laki itu adalah Aga. Aga yang bahkan meneriakinya untuk pergi saat itu. Memintanya untuk pergi sejauh mungkin.  Namun yang terlihat di mata Aga saat itu justru adalah seorang anak kecil yang terkurung dan menangis memintanya jangan pergi.

Caca memejamkan matanya sejenak.

Apartemen itu adalah apartemen Aga. Ia mengambil alih apartemen itu tiga tahun yang lalu.

Pemilik mata cokelat hangat itu menghembuskan napas berat dan mengalihkan pikirannya ketika ia melihat bayangan Aga mengenakan kaos putih panjang dan celana training abu-abu di sana sedang membuka jendela balkon.

Bayangan yang selalu hadir dalam kesendiriannya. Salah satu alasan, kenapa ia memilih untuk menyendiri. Karena di saat-saat seperti ini, Aga seakan kembali padanya.

Terkadang ia melihat Aga sedang duduk sambil membaca di sana atau bayangan Aga yang tidur di sofa dengan wajah tertutup buku dan Aga yang sedang makan mie instan di atas meja. 

Gadis itu meneguk air mineralnya sekali lagi, namun kemudian terdiam ketika mendapati Aga berada tepat di sampingnya. Ikut menuangkan air mineral ke gelas dan meneguknya.

Ia memandang Caca sesaat, tersenyum lalu mengacak-acak puncak kepala gadis itu. Sentuhan yang terasa begitu nyata. Hangat dan meninggalkan jejak yang sulit untuk dihapus. Terlalu nyata untuk sebuah mimpi.

“Sana istirahat. Lo kelihatan capek banget,” ucap laki-laki itu.

Gadis itu mengerjap dan setelah itu, Aga pun menghilang.

Caca merebahkan tubuhnya di ranjang dan memejamkan mata. Setetes air bening menetes pelan dari sudut matanya. Setetes air mata sebagai tanda bahwa hatinya terluka oleh angan yang ia ciptakan sendiri. Karena itu tolong, jangan menganggapnya gila.  Hanya ini satu-satunya cara agar ia bisa terus bernapas.

***

November, Washington DC

Langit bewarna magenta petang itu. Memantulkan cahayanya pada gedung-gedung pencakar langit. Jalanan tidak pernah sepi dari para pengemudi. Suara klakson dan hiruk pikuk terdengar sayup-sayup dari jendela sebuah kamar rumah sakit di lantai tertinggi itu. Alunan simfoni senja terjalin pekat menyusup ke dalam ruangan. Ruangan berbau obat yang didominasi aroma bunga mawar.

Di sana, seorang laki-laki terbaring tenang dalan tidurnya. Setiap tarikan napas membuat masker oksigen yang dikenakannya berkabut. Di sore yang tenang itu, jarinya bergerak pelan. Di senja hari yang beraroma seperti daun-daun gugur itu, mata laki-laki yang telah begitu lama tertidur itu perlahan terbuka. Perlahan mencari mimpinya yang hilang.

Kita... akan ketemu lagi, kan?

Aga membuka matanya. Mencari sosok yang hilang itu. Sosok yang membuatnya tersadar dalam kegelapan. Akan benang merah yang telah terajut seumur hidupnya. Akan cahaya yang membimbingnya keluar dari kebutaan. Di mana... dia?

Sejenak terasa begitu kabur hingga laki-laki itu bisa melihat langit-langit kamarnya dengan jelas. Kelopak matanya terasa berat. Tangannya bergerak melepaskan masker oksigen yang mengganggunya. Seluruh tubuhnya terasa sakit dan beberapa bagian bahkan tidak bisa ia gerakkan dengan baik.

“Kamu baik-baik aja?”

Laki-laki itu menoleh. Seorang wanita duduk di sampingnya. Wanita dengan mata penuh rasa khawatir dan kecemasan menunggui dirinya. Tangan wanita itu saling menggenggam satu sama lain. Bergetar. Ia tidak berani untuk menyentuh laki-laki itu. Setidaknya ketika laki-laki itu terbangun.

“Ya ....” Aga mengangguk pelan.

“Saya... saya benar-benar minta maaf, Aga.”

“Karena saya... kamu harus menderita seperti ini. Maafkan saya, karena sudah menekan kamu selama ini, maafkan saya,” Tante Laras berusaha keras agar suaranya tidak terdengar terisak. Namun air matanya lolos dan jatuh ke tangan ketika upayanya sia-sia.

Ia mencengkram tangannya yan bergetar kuat kuat. Tidak berani untuk menatap Aga. Hatinya penuh dengan dosa hingga ia tidak berani mengharapkan pengampunan dari anak itu. Ia terlalu berdosa pada putranya.

“Ma... ,” panggil laki-laki itu. “Apa bisa... mama... meluk aku sekali ... aja?”  ucap Aga mencoba menemukan suaranya yang hilang.

Laki-laki itu menunduk dan tersenyum kecil pada tangannya ketika wanita itu tak merespon pertanyaannya. Ia seakan menyesal telah mengatakan kalimat itu. Wanita itu sudah ada di sampingnya saja, seharusnya... itu saja sudah cukup.

Namun sedetik kemudian matanya melebar. Hatinya tertegun ketika ia merasakan sebuah lengan memeluknya erat. Lengan ibunya. Pelukan ibunya. Untuk pertama kalinya. Air matanya menetes.

“Maafkan mama, Ga ... Maafkan, mama ....”

“Tuhan bukan nggak suka sama lo. Tapi dia menunggu waktu yang tepat untuk mengabulkan harapan lo. Menunggu waktu yang tepat untuk menjadikan kita sebagai manusia paling bahagia di bumi ini.”

Bayangan Caca saat mengatakan kata-kata itu saat melihat matahari terbit dulu, kembali terngiang di kepalanya. Laki-laki itu tersenyum. Satu-satunya hal yang paling membahagiakan dihidupnya ternyata selama ini ada di dekatnya. Gadis kecil yang selama ini ia cari …

“Kamu juga janji...”

“Janji apa?”

“…..”

Sudut-sudut bibir Aga terangkat membentuk senyuman.

(Bersambung...)

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang