Adnan mengalihkan matanya pada hasil CT-scan yang menunjukkan tulang tengkorak di layar yang ada di belakang seorang pria berjas putih panjang.
Duduk tenang mendengarkan Dokter yang baru saja mengoperasi adiknya beberapa jam yang lalu.
Wajah pria bermata elang itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan. Seakan-akan ekspresi dingin di matanya sudah terpatok permanen dengan garansi seumur hidup. Tidak seorangpun bisa mengubahnya.
“Apa dia mengalami kecelakaan lalu lintas akhir-akhir ini?”
“Aku tidak tahu. Jelaskan saja apa yang terjadi pada anak itu,” jawabnya datar.
Suaranya terdengar acuh. Namun tetap saja keterkejutan saat menoleh dan melihat adiknya terkulai dengan kepala berlumuran darah saat itu masih tertinggal di tatap matanya.
Dokter Ed menarik napas dan menghela pelan di balik kacamatanya. Adnan terlihat tidak seperti seorang kakak yang khawatir pada adiknya. Ia lebih terlihat seperti seseorang yang sedang mempelajari harga saham.
Seperti bertahun-tahun ia mengenal laki-laki menyeramkan itu selama tinggal di luar negeri sebagai salah satu temannya.
“Kau lihat ini, ada luka di bagian belakang kepala Aga yang disebabkan benturan benda tumpul. Dari yang kulihat, sepertinya Aga merawat luka itu sendiri tanpa bantuan medis.”
"Aku heran bagaimana dia bisa menahan rasa sakit itu selama ini ...."
Adnan memejamkan matanya sebentar seakan kata-kata Dokter Ed mengingatkannya akan sesuatu. Pikirannya kembali ke beberapa hari yang lalu di sebuah club malam. Di saat ketika seseorang menghantam keras kepala Aga dengan botol minuman hingga botol itu pecah.
Ia sedang bersama seorang teman untuk minum sekembalinya dari Belanda dan justru mendapati Aga membuat keributan di sana.
Adnan bahkan terpaksa membungkam siapapun orang yang mengambil video maupun foto kejadian saat itu agar tidak tersebar luas.
“Lukanya terbuka dan menyebabkan pendarahan. Tapi yang jadi masalah bukanlah luka di luar, melainkan di dalam. Kau lihat ini ...,"
Dokter Ed menunjuk area di bagian CT scan Kepala Aga lalu berkata, "... terjadi pendarahan epidural di bagian tulang belakang tengkorak yang menyebabkan beberapa gangguan saraf. Inilah yang menyebabkan kenapa Aga pingsan.”
“Kalau aja dibiarkan lebih lama, pendarahan akan meluas dan menyebabkan penggumpalan di otaknya. Dan ini bisa berakibat fatal. Beruntung gejalanya terlihat sekarang. Jadi pendarahan bisa dihentikan dengan operasi."
"Aku sarankan agar dia istirahat total dan nggak mendapat tekanan apapun. Untuk sementara dia harus dirawat inap sampai dia pulih.”
Adnan keluar dari ruangan itu beberapa saat kemudian dan menyeret langkahnya ke ruang ICU. Hingga tanpa sadar dirinya telah berdiri tepat di samping ranjang Aga. Mengamati perban yang membalut kepala bocah itu ketika tim medis terpaksa harus melubangi kepalanya demi menyedot pendarahan yang terjadi.
Jarum infus terpasang di tangannya dan ventilator menunjukkan detak jantung bocah itu berdetak dengan normal. Melihat keadaan Aga saat ini, sama seperti ketika ia melihat dari jauh keadaan Aga kecil yang dulu juga terbaring di dipan rumah sakit setelah mendapatkan banyak di jahitan di punggung karena ulahnya.
Dulu sekali, ia pernah tanpa sengaja mendorong Aga hinggaa anak itu jatuh di atas pecahan kaca. Luka yang diderita Aga saat itu, menjadi pukulan telak bagi Adnan. Raa bersalahnya atas kejadian yang membuat punggung Aga cacat seumur hidup itu, sampai saat ini, ia belum bisa menghilangkannya.
Ya. Ia membenci Aga. Ia memang memang membenci anak yang terlahir dari pengkhianatan ayahnya di masa lalu itu.
Dan karena itulah, pada akhirnya Adnan memilih pergi meninggalkan rumah. Ia tidak ingin kebencian yang ia rasakan menyebabkan adiknya yang tidak bersalah itu, terluka lagi.
Adnan menghela napas sesaat meskipun tidak menyadarinya. Satu tangannya memegang sebuah amplop rumah sakit yang berisi hasil CT-Scan Aga.
“Aku menyuruhmu untuk berhenti membuat masalah, anak bodoh,” gumamnya menatap Aga.
Ia mengeluarkan handphone dari saku lalu menekan sebuah nomor di sana. Begitu panggilan tersambung, laki-laki itu menghela napas.
“Adnan?”
“Ma,” sapanya pelan, kedua matanya beralih pada separih wajah Aga yang mengenakan masker oksigen sebelum kemudian berkata, “Kurasa… bocah kesayangan mama sudah melewati batas sekarang.”
“Apa maksudmu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Подростковая литература"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...