Tik...
Tik...
Tik...
Detik monitor terdengar menggema di telinga. Irama yang sama dengan setiap tikaman yang datang menghunus jantung tanpa ampun.
Ia masih bisa mendengarnya. Samar, kabur, hilang, terdengar lagi, lalu hilang lagi bersama suara-suara lain. Namun ia tak bisa mengatakan apapun.
Tenggorokannya tercekat. Sebuah masker oksigen dipakaikan untuk membantu bernapas, namun percuma. Bagian terdalam di tubuhnya terasa hancur berkeping-keping.
Ia bahkan tidak bisa melihat siapa yang terus-menerus meneriakkan namanya.
Kilatan-kilatan cahaya lampu membutakan retina. Pandangannya berpijar, berusaha untuk menenggelamkan dirinya dalam kebutaan. Ia berusaha untuk membuka mata.
Tangannya berusaha untuk menggapai sesuatu, namun tak bisa. Ia tidak bisa melakukan semua itu. Tenaganya menguap entah ke mana. Bahkan untuk bernapas pun, terasa begitu sangat menyiksa.
Menyakitkan.
Sangat menyakitkan.
Akan lebih mudah seandainya ia dibiarkan menyerah saja.
Tolong hentikan ..., pintanya sepenuh hati.
Tidak ada yang lebih membuat ia bahagia dibandingkan satu permintaan ini.
Hentikan ....
Ingin sekali ia berteriak. Namun tak bisa.
Tubuhnya tidak bisa digerakkan sama sekali. Tidak seorang pun mengerti apa yang ia inginkan.
Ia benar-benar sudah lelah. Tolong, biarkan dirinya menyerah saja.
"Kamu juga janji ..."
Memori itu mendadak muncul. Memori yang membuatnya tiba-tiba saja berdiri depan dua orang anak kecil yang saling berhadapan.
Siapa?
"Kamu juga janji ..."
"Janji apa?"
"... "
Suara itu lenyap. Namun anak kecil di hadapannya tersenyum lalu mengangguk setelah jari kelingkingnya dan anak kecil itu bertaut.
Tapi apa?
Apa yang sebenarnya ia janjikan?
Ia mencoba untuk membuka mata sekali lagi. Namun gagal. Ia tidak bisa melihat apapun dengan jelas.
Seberapa keras pun ia mencoba, tetap saja ia tidak bisa melakukannya.
Tubuhnya melawan keinginannya sendiri. Kegelapan berusaha memaksanya untuk menyerah. Menawarkan tempat yang ia inginkan selama ini.
Tempat di mana tiada kesedihan, tiada kesakitan, penolakan, dan air mata. Hanya kehampaan.
Kehampaan yang menawarkannya tempat persembunyian yang sempurna di mana ia tidak perlu lagi berpura-pura tersenyum sambil membawa kepingan hatinya yang telah hancur.
Ah, benar.
Hati dan tubuhnya benar-benar hancur sekarang. Bahkan sekali pun dunia memaksa dirinya untuk mendengar kehancuran itu sendiri.
"Dua tulang rusuk bagian bawah patah dan terjadi kerusakan fatal di organ sekitar!"
"Dia kehilangan banyak darah dalam perjalanan!"
"Bagaimana dengan hasil CT-Scannya?"
"Dok! Terjadi pendarahan hebat di kepalanya! Jika anda membedah tubuhnya sekarang, dia tidak akan selamat!"
"Apa maksudmu?!"
"Tiitttt ... Tiiitttt ... Tiiitttt ...."
"Dokter! Tanda vital menurun drastis!!!"
"Detak jantungnya tidak stabil!!!"
"Dokter!!!"
***
note:Please, love, comment n share ya, jika kalian suka cerita ini. Supaya author lebih semangat update dan improve cerita ke depannya.
Terima kasih
salam,
tarioktavian_999
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Teen Fiction"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...