Chapter #51

3.4K 270 5
                                    

Koridor rumah sakit itu terlihat sepi. Terlalu sepi hingga setiap langkah yang tercipta di sana bisa terdengar dengan jelas. Di sana, di bangku panjang depan kamar rawat Aga, seorang perempuan terlihat begitu frustasi.

Air mata mengalir dalam diam sementara jantungnya dipaksa untuk berdetak. Ia berusaha untuk menenangkan dirinya, tapi ternyata tidak bisa. Segala hal yang menyangkut tentang kesadaran laki-laki di dalam ruangan sana sanggup membuat hatinya terasa seakan diinjak-injak.

Bahkan sebelum melihat pintu terbuka, gadis itu sudah berdiri duluan saat mendengar langkah pertama yang mendekat. Ia tidak perlu konfirmasi suara langkah siapa itu. Satu-satunya yang ia inginkan hanyalah agar semua kegelisahan ini berakhir.

“Dokter...” paniknya  menghampiri Dokter Jun yang baru saja keluar dari kamar rawat Aga.

Dokter muda itu membiarkan staf perawat meninggalkan dirinya lebih dulu sebelum kemudian memberi penjelasan. “Tidak apa-apa. Hanya terjadi kesalahan teknis. Dia baik-baik aja. Jangan khawatir,” jelas Dokter Jun tersenyum menenangkan.

Tubuh Caca lemas. Sebuah paku dicabut dari dadanya. Mendengar bunyi monoton jantung Aga benar-benar membuatnya ketakutan hingga tubuhnya bergetar hebat. Ia bahkan harus mengepalkan tangannya kuat-kuat untuk meredam getaran itu.

“Makasih, Dok,”

Dokter Jun mengangguk sekali. “Sama-sama,” ucapnya dan melangkah pergi.

Caca kembali terduduk. Hatinya masih belum bisa tenang untuk melihat wajah Aga. Bahkan di saat koma pun, laki-laki itu masih sempat-sempat mempermainkan hatinya. Mempermainkannya hingga membuatnya menangis. Keterlaluan. Benar-benar keterlaluan ...

“Caca!”

Caca menoleh ke samping. Dari ujung sana seorang cewek terlihat berlari menghampirinya. Tidak hanya sendiri, di belakang cewek itu ia melihat sosok yang amat sangat dikenalinya mengikuti setiap langkah cewek itu.

“Ayu ...” ucapnya dan langsung memeluk erat Ayu yang baru datang.

Ayu menepuk-nepuk bahu Caca pelan. Mencoba menenangkan sahabatnya dengan sorot mata yang terlihat begitu lelah. 

Bahkan ketika gadis itu tersenyum pun, senyumannya tampak begitu menyedihkan.

“Aga gimana?” tanya Ayu khawatir.

Caca mengangguk dengan kedua matanya kemudian berkata, “Dia baik-baik aja. Gue aja yang terlalu panik tadi. Maaf ya karena tiba-tiba nelpon lo. Gue nggak tahu harus gimana tadi. Pikiran gue udah—”

“Nggak apa-apa. Gue ngerti kok. Udah jangan nangis lagi. Udah ada gue nemenin lo di sini."

Caca tersenyum samar lalu menoleh pada pria yang berdiri tepat di samping Ayu.

“Maaf, Pak,” ucapnya. Meminta maaf karena telah membuat mantan gurunya itu juga ikut datang ke rumah sakit.

“Nggak apa-apa. Aku juga nggak mungkin biarin Ayu lari ke sini sendirian. Syukurlah kalau Aga baik-baik aja.”

“Lo udah makan belum? Pasti belum, kan?" potong Ayu dan kembali berkata, "Kita ke Cafetaria aja, ya. Muka lo udah pucat banget kayak mayat. Gue takut lo pingsan di sini.”

“Nggak usah, Yu. Gue nggak laper. Gue mau jaga Aga aja.”

“Jangan keras kepala, Ca. Pokoknya lo temenin gue makan. Biar Nata yang jagain Aga di sini,” paksa Ayu.

“Kalo lo nggak mau makan, gue bunuh Aga sekarang juga.”

***

Caca menyesap teh hangatnya pelan. Membiarkan hangatnya teh mengaliri kerongkongan. Untuk sesaat, ia merasa beban yang ada di pundakny ikut menguap bersama kehangatan itu. Namun tetap saja, rasanya masih sulit untuk tertawa.

Terlalu sulit hingga membuat ia lupa bagaimana caranya tertawa tanpa perlu memikirkan apapun.

“Gimana? Udah agak nyamanan, kan?” tanya Ayu pada sahabatnya itu.

Matanya menunggu jawaban hingga Caca tersenyum samar.  

“Baguslah. Gue sempet khawatir waktu denger suara lo di telpon nangis-nangis gitu. Pikiran gue udah langsung musat ke Aga. Untung aja gue lagi di deket sini, jadi nggak jauh-jauh amat," dumelnya panjang.

“Emangnya lo dari mana tadi?”

“Rumah eyangnya Nata, " jawab Ayu. "Pas lo telpon tadi, gue lagi nungguin dia manjat pohon mangga. Buru-buru gue tinggalin saking khawatirnya sama lo. Sampe terjun bebas tuh laki gegara ulah lo.”

"Lo yang lari kenapa gue yang salah."

Caca tergelak samar. Mendengar kata mangga, ia baru melirik perut Ayu yang mulai sudah membuncit. Ayu sedang hamil 7 bulan. Tidak lama setelah menerima surat pengumuman kelulusan, resepsinya dengan Nata digelar.

Ya, Nata. Adinata Mahendra, guru SMAnya dulu. Ternyata Ayu merahasiakan pernikahannya dengan laki-laki itu selama ini hingga kelulusan. Mengatakan bahwa mereka berdua dijodohkan secara paksa oleh kedua orang tua yang tidak mengerti bahwa jaman telah berubah.

Mengingat segala hal yang bersangkutan dengan hubungan sahabat dan gurunya itu, Caca kembali tertawa. Pantas saja ia merasa ada sesuatu yang aneh di antara mereka. Hingga Caca bahkan harus terlibat dalam hubungan itu ketika Ayu bertengkar hebat dengan Nata dan berhari-hari menginap di rumahnya dan terus-terusan menangis.

Ah, kapan itu terjadi?

Caca tersenyum samar. Semua itu terjadi ketika Aga tidak ada di sampingnya. Laki-laki itu terus tidur sepanjang waktu dan melewati banyak hal yang telah terjadi. Dan begitu ia terbangun kelak, akan ada banyak cerita yang harus ia dengarkan.

Caca mengalihkan matanya pada Ayu yang sedang berusaha menghabiskan nasi goreng.

“Lo ngidam mangga?”

Ayu menggeleng. “Nggak. Bukan gue. Nata yang ngidam.”

Alis Caca terangkat. “Emang cowok bisa ngidam?”

“Mana gue tahu. Tapi kalo ngeliat kelakuannya sih, kayaknya gitu,” Ayu mengedikkan bahu.

“Ngomong-ngomong kabarnya Dian gimana? Lo tau sendiri, hp gue kecebur ke kolam gara-gara ngelemparin Nata waktu itu, jadi terpaksa ganti nomor baru.”

“Kayaknya sih masih hidup. Masih menikmati salju di Korea.”

“Jauh amat tuh anak kuliahnya,”

Caca terkekeh. “Nggak kayak elo. Di antara kita bertiga, ternyata lo duluan yang ngebet kawin. “

“Issshh!” desis Ayu kesal. “Gue bukan ngebet, tapi kepaksa.”

“Terpaksa tapi jebol juga tuh perut.”

“Ini kan nggak disengaja. Yaelah, kenapa jadi bahas hidup gue?”

Caca tertawa dan kembali meneruskan makannya.

Sesekali ia menggoda Ayu tentang kehidupan sahabatnya itu bersama Nata. Namun di lain waktu matanya akan kembali menerawang jauh ke memorinya bersama Aga dan bayangan Aga yang masih koma di sana. Seandainya saja waktu bisa diputar, mungkin ia tidak akan membiarkan Aga pergi hari itu.

Ya, seandainya saja.

Tapi nyatanya, keinginan tidak selalu berjalan seperti yang diharapkan, bukan?

Sama seperti saat ini. Setiap hari mengharapkan sebuah keajaiban yang membuat Aga terbangun dari komanya. Namun seiiring waktu berlalu, harapan itu akhirnya membuat Caca sadar.

Keajaiban… hanya terjadi di negeri dongeng.

(Bersambung...)

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang