Hari-hari tidak lagi dihitung dengan tanggal.
Di ruangan itu, waktu hanya diukur dari bunyi monitor, cairan infus yang menetes, dan mata yang tidak pernah terbuka.
Hari pertama berubah menjadi minggu.
Minggu berubah menjadi bulan.
Aga tidak bangun.
Tubuhnya memang hidup—itulah kebohongan paling kejam yang pernah Tuhan ciptakan.
Jantungnya berdetak, tapi tidak pernah kuat.
Paru-parunya bekerja, tapi selalu dibantu mesin.
Otaknya merespons, tapi tidak pernah menjawab.
Dokter menyebutnya vegetative response.
Caca menyebutnya penyiksaan.
Setiap pagi, perawat membalikkan tubuh Aga agar tidak terjadi luka tekan.
Setiap malam, Caca duduk di sisi ranjang yang sama, memegang tangan yang sama, berbicara pada seseorang yang tidak pernah membalas.
Bulan kedua, tubuh Aga mulai menyerah sedikit demi sedikit.
Infeksi paru pertama datang diam-diam.
Demam naik, turun, lalu naik lagi.
Antibiotik diganti. Dosis dinaikkan.
“Ada pneumonia ringan,” kata dokter.
Ringan—kata yang terdengar kejam ketika diucapkan pada tubuh yang sudah hampir habis.
Ginjalnya mulai bermasalah karena trauma lama dan obat-obatan berat.
Urinenya dipantau setiap jam.
Angka-angka dicatat seperti taruhan.
Tekanan darahnya tidak stabil.
Kadang terlalu rendah.
Kadang melonjak tanpa sebab.
Tubuh Aga seolah lupa bagaimana caranya bertahan tanpa dipaksa.
Masalah terbesarnya datang pelan, tapi mematikan.
Awalnya hanya irama jantung yang tidak teratur.
Sedikit jeda.
Sedikit lonjakan.
Dokter menyebutnya stress cardiomyopathy—
jantung yang rusak bukan karena penyakit,
tapi karena terlalu banyak trauma, terlalu lama bertahan, terlalu sering hampir mati.
Benturan kecelakaan.
Pendarahan.
Kehilangan darah masif.
Defibrilator.
CPR.
Semua itu meninggalkan bekas.
Dinding jantungnya melemah.
Kemampuan memompanya turun drastis.
“Jantungnya bekerja… tapi tidak lagi seperti jantung orang muda,” kata Dokter Ed suatu malam, suaranya lebih pelan dari biasanya.
“Jika dia bangun pun… hidupnya tidak akan sama.”
Kalimat itu tidak ditujukan pada siapa pun.
Tapi semua orang mendengarnya.
Waktu demi waktu masih berlalu.
Caca mulai hafal suara setiap alarm.
Alarm kecil berarti tekanan darah turun.
Alarm panjang berarti irama jantung kacau.
Alarm tertentu membuat seluruh tubuhnya langsung berdiri sebelum otaknya sempat berpikir.
Ia tidak lagi terkejut.
Ia hanya lelah.
Tangannya sering gemetar ketika menggenggam tangan Aga.
Bukan karena dingin—tapi karena takut.
Takut suatu hari, genggaman itu tidak lagi hangat.
Ia tetap bicara.
Tentang hal-hal bodoh.
Tentang kampus.
Tentang hujan.
Tentang masa depan yang mungkin tidak pernah terjadi.
Kadang ia marah.
“Kalau lo nggak mau bangun, ya bilang, Ga,” bisiknya suatu malam dengan suara pecah.
“Jangan gantung gue di sini setengah hidup.”
Namun masih sama, monitor tidak menunjukkan reaksi.
---
Enam bulan.
Tujuh.
Delapan.
Aga tidak pernah sadar.
Ototnya mengecil.
Kulitnya lebih pucat.
Wajahnya tetap damai—
terlalu damai untuk seseorang yang telah menyiksa dirinya sendiri begitu lama.
Dokter mulai bicara tentang quality of life.
Tentang kemungkinan gagal jantung mendadak.
Tentang risiko henti napas kapan saja.
Tidak ada yang berani mengucapkan kata menyerah.
Tapi semua orang memikirkannya.
Dan di antara semua komplikasi itu, yang paling menyakitkan bukanlah medis.
Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa
Aga bertahan… tanpa pernah memilih untuk kembali.
Dan ketika akhirnya jantung itu lelah—
bukan karena satu hal,
tapi karena terlalu banyak—
monitor hanya melakukan apa yang sudah lama ia ancam.
Garis lurus.
Bunyi panjang.
Sunyi.
Bukan teriakan yang paling menyakitkan.
Melainkan fakta bahwa setelah bulan-bulan menunggu,
akhirnya ada sesuatu yang berubah—
dan itu adalah akhirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Novela Juvenil"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...
