Chapter #30 Threat

4K 333 12
                                    

“Hati gue udah penuh dengan retakkan, Ca."

" Satu sentuhan kecil saja dan semuanya akan hancur berkeping-keping. Karena itu, jika emang lo nggak bisa gue gapai, gue akan nyerah saat ini juga dan menghilang. Sebelum gue ngancurin hati gue sendiri karena terlalu mengharapkan lo untuk jadi milik gue.”

***

Caca menangkap jemari Aga.

Ia menangkap jari Aga tepat ketika pemilik mata kelam itu melepaskan tangannya.Dan di saat yang sama ketika ia menangkap tangan Aga, ia menarik tubuh laki-laki itu dalam satu sentakkan dan mencium Aga.

Aga membeku. Ia tidak bisa berpikir. Aliran darahnya berhenti dan mengirimnya ke dimensi lain. Seakan waktu berhenti berjalan. Seakan rotasi bumi tempatnya berpijak berhenSesaat kemudian, Caca melepaskan cowok itu dan membuka matanya.

Caca bersumpah, ciuman itu sama sekali benar-benar tidak direncanakan oleh otaknya. Ia sendiri bahkan tidak percaya bahwa memang dirinyalah yang mencium Aga lebih dulu.

Tapi satu hal yang ia tahu, ia benci ketika melihat kepedihan itu di mata Aga. Ia benci ketika kesedihan itu keluar dari tiap kalimat yang diucapkan oleh cowok itu. Ia benci ketika Aga mengutuk dirinya sendiri.

 “Lo bilang, harapan lo nggak pernah terwujud," ucap Caca. "Karena itu ...”

Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya ia mengalah pada egonya, dan jujur pada hatinya. Ada luka yang ingin ditepisnya dari kedua mata Aga saat ini.Laki-laki itu tidak pernah sekalipun membohonginya. Tidak pernah sekalipun menyakiti hatinya.

Tapi hanya melihat mata kelabu itu saja, hati Caca merasa begitu pedih. Ada sesuatu yang tidak asing di kedua bola mata itu. Dan itu membuat hatinya ikut terluka ketika tangan Aga melepasnya. Ketika Aga memilih untuk melepaskan segalanya.

Ia berdehem pelam, menarik napas dalam-dalam lalu menatap sepasang mata yang menyimpan sejuta rahasia itu.“ ... karena itu, lo harus bahagia ketika lo berhasil buat gue untuk ngeraih tangan lo kayak yang gue lakuin sekarang," ucapnya mengaku kalah.

"Gue sedang ngebuktiin ke elo, kalo ucapan lo salah.”

Aga tidak membalas genggaman Caca. Ia hanya menatap tangannya yang dipegang Caca dan memandangi wajah gadis itu.Sorot matanya tidak terbaca. Bingung, takjub, tak percaya, hampa, senang, sedih dan bingung lagi. Semuanya bercampur aduk jadi satu. Hingga tidak ada seorang pun yang bisa mengetahui apa yang sebenarnya ia pikirkan. Seakan ada ketakutan di sepasang mata kelabu itu. Ketakutan yang bersembunyi di dalam.

Ia menatap Caca. Berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa rasa kehangatan yang tertinggal di bibirnya itu bukanlah ilusi. Bukanlah imajinasinya semata. Tangan yang sedang menggenggam tangannya sekarang juga bukan hanya sekedar khayalan yang akan menghilang ketika a mengedipkan mata.

“Kalo menurut lo semua ini nggak nyata, kita liat aja berapa lama ilusi ini akan bertahan,” ucap Caca pada mata kelabu itu selagi Aga berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Di sisi lain, Dimas terlihat berlari-lari kecil menaiki bukit menghentikan langkahnya ketika melihat Aga dan Caca di sana. Kakinya bimbang sesaat lalu berbalik badan, mengerjapkan matanya tak percaya.

Jantungnya berdenyut nyeri seakan ada paku yang baru saja ditancapkan di sana. Ia menunduk, menatapi permukaan tanah yang sedang ia pijaki dengan mata merah yang berkaca-kaca ketika ia mencoba untuk menarik napas. Tapi kenapa rasanya sakit sekali?

Kenapa jantungnya serasa akan meledak?

***

“Agisha Nanda,” gumam Dimas tanpa menatap Caca sedikit pun. Ia membalas tatapan Aga kemudian berkata, “Dia cinta pertama gue.”

"Uhuuukkkk!!!"

Caca tersedak sementara keheningan tiba-tiba saja tercipta di antara kerumunan api unggun tadi, menjadi penonton Aga dan Dimas ang saling bertatapan dingin.

“D-Dim,” panggil Caca.

Cewek itu juga tidak mengerti apa yang sedang dikatakan Dimas sebenarnya. Bagaimana mungkin Dimas yang selama ini mengusilinya tiba-tiba-

“Tapi bo-ong! Haha!”

Dimas tertawa nyaring dan mencairkan suasana yang tiba-tiba saja terasa canggung.

“Ya, ngggak mungkinlah gue suka sama cewek yang suka ngancurin betis orang kayak gini. Cinta pertama gue itu, orangnya lembut banget. Penuh perhatian dan nggak pernah ngomong kasar," jelasnya panjang dan otomatis langsung membuat Caca marah.

“Anjjrit!! Jadi lo mo bilang kalo gue kasar? Gitu?!

***

Sekali lagi, Dimas menarik oksigen dalam-dalam dan menghembuskannya beberapa kali meskipun ia merasa ada seribu jarum yang menusuk jantungnya setiap kali ia menarik napas. Cowok itu mengatur ekspresi wajahnya beberapa saat sebelum kemudian ia berhasil tersenyum dan memutar kembali tubuhnya menghampiri kedua orang di puncak bukit itu.

“Gue kirain lo bedua ngilang ke mana. Taunya pada pacaran duluan dimari. Mau romantis-romantisan bedua aja lo di sini sambil nengok matahari terbit, gitu? Nggak niat mau pulang, hah?!” tanyanya santai.

Aga mendengus geli. Namun ia bisa merasakan dinginnya jemari Caca karena tegang saat menyadari Dimas menoleh pada tangan siapa yang ia genggam saat ini.

***

“Ya nggak mungkinlah gue suka sama cewek yang suka ngancurin betis orang kayak gini. Cinta pertama gue itu, orangnya lembut banget. Penuh perhatian dan nggak pernah ngomong kasar.”

Dimas teringat saat pertama kali ia bertemu dengan Caca. Saat itu ia masih anak SMP, masih seorang cowok culun berkacamata yang sering dipalak oleh kakak-kakak kelas di gang sempit di belakang sekolah sampai kemudian ia bertemu Evan, seorang anak SMA yang sedang menjemput adiknya. Evan menolong Dimas dan menghajar para pembully itu.

Evan yang mengajarkan Dimas untuk tidak jadi seorang pecundang seumur hidupnya. Adik Evan membantu menempelkan plester ke wajah Dimas yang terluka saat itu sebelum pergi. Namun sebelum mereka pergi, Dimas masih sempat melihat bet name yang terpasang di seragam gadis itu juga asal sekolahnya.

Agisha Nanda. SMP Nusa Bangsa.

Beberapa tahun kemudian, mereka kembali bertemu di SMA yang sama. Namun sialnya, Caca sudah melupakannya. Nasib.

Lalu apa lagi yang bisa ia lakukan, ketika ia berusaha membuat Caca untuk mengingat namun ternyata tidak berhasil?

***

Dimas melihat Caca sesaat, mengatur detak jantungnya yang terasa nyeri, menghela napas dan tersenyum pada cewek itu. Senyum yang penuh dengan kerelaan.Laki-laki itu mendekati Aga. Satu tangannya terangkat menyentuh bahu Aga pelan sebelum kemudian suara beratnya terdengar samar terbawa angin.

“Lo temen gue, Ga. Dan sampai kapanpun itu nggak akan pernah berubah.” Dimas setengah berbisik.

“Tapi sekali aja lo bikin dia nangis, gue patahin semua tulang lo,” ancam Dimas sungguh-sungguh.

Ia tidak akan pernah membiarkan siapapun menyakiti cewek itu. Bahkan termasuk dirinya sendiri. Tidak akan pernah.

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang