Part Bonus Cerita Baru Ayu & Nata

3.3K 162 7
                                    

   
Ayu berdiri di hadapan Nata. Untunglah ruang laboratorium sedang kosong ketika Nata membawanya ke sana. Ia tidak ingin sampai ada orang lain yang mendengar tentang apa yang akan ia katakan pada pria mesum di depannya saat ini.
   
"Bapak tau kalo kita dipaksa nikah minggu depan?" bisik Ayu kesal.
   
Mata hitam milik laki-laki itu hanya mengangguk berat.
    
"Tau,” ucapnya singkat. Ia memasukkan kedua tangannya dalam saku jas putih panjang ia kenakan saat ini. Di balik kacamatanya, kedua manik hitam itu terlihat begitu lelah. Kantong matanya berwarna kelabu samar di dekat memar yang diciptakan oleh ayah Ayu.
   
Atas pertanyaan yang ditanyakan oleh Ayu, jelas pria itu tahu. Dirinyalah yang kemarin diseret Eyang Lastri untuk meminta maaf dan membungkuk di hadapan Keluarga Bagaskara. Bahkan nyeri akibat bogeman Om Doddy kembali berdenyut setiap kali ia melihat wajah Ayu.
   
Bibir gadis itu terlihat lembut berwarna pink mengkilat karena sentuhan lipgloss. Sementara bibirnya sendiri, pecah-pecah dan memar di sudutnya karena ulah ayah gadis itu. Nata hanya bisa menghela napas sembari mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Ayu.
   
"Terus kenapa nggak nolak?! Apa jangan-jangan bapak pedophil? Nungguin anak gadis orang lengah terus ambil kesempatan? Gitu?"
   
Astaga ....
   
Kali ini Nata mengusap dahinya.
   
"Denger ya, Pak," Ayu melirik kanan-kiri. Takut kalau-kalau ada yang mendengar, ia menurunkan volume suaranya.
   
"Pertama, Bapak itu guru saya. Dan saya murid bapak. Kedua, saya ini baru tujuh belas tahun dan bapak sendiri udah hampir kepala tiga. Dan terakhir, saya gak cinta sama bapak dan bapak juga nggak suka sama saya. Jadi nggak mungkin kalau kita nikah," jelas Ayu.
   
Nata menarik napas. Ia juga tidak menyangkal apa yang dikatakan oleh Ayu adalah sebuah kebenaran yang nyata adanya. Tidak pernah sedikitpun terpikir oleh dirinya bahwa ia akan terlibat masalah dengan gadis cerewet ini. Apalagi untuk urusan yang sakral, terlebih pernikahan.  Laki-laki itu menarik napasnya dalam-dalam, mengalihkan wajah sesaat sebelum kemudian menghembuskan napas sekaligus rasa sakit di hatinya lalu membalas tatapan Ayu.
   
"Kita nikah aja," ucap laki-laki itu dengan suaranya yang terdengar serak.
   
Tepat ketika ia mengucapkannya, ada sebilah pisau yang menghunus jantungnya tanpa ampun. Kepalanya sudah pusing karena masalah ini. Selain itu, ia tidak lagi punya alasan untuk membantah Eyang Lastri. Ia bahkan tidak punya alasan lagi untuk mempertahankan hatinya sendiri.
   
Sontak saja mendengar apa yang dikatakan Nata, kedua mata Ayu langsung membulat penuh hingga hampir keluar dari rongganya.
   
"H-hah?!"
   
"Kita nikah aja. Seperti yang diinginkan Eyang dan orangtua kamu,” tukas Nata lagi.
   
"Bapak sadar nggak sih lagi ngomong apa? Persetan dengan umur, bahkan kita berdua nggak saling kenal, nggak saling suka apalagi cinta. Dan semua kejadian malam itu cuman salah paham. Jadi untuk apa kita nikah?"
   
Ayu benar. Dia hanyalah anak remaja yang bahkan tidak paham dunia dewasa. Tapi entah kenapa sejak malam itu, Nata tidak pernah tenang. Rasa bersalah menghantui hatinya.
   
Bahkan hanya dengan menatap kedua bola mata Ayu saat ini, membuat tangannya kembali mengingat sentuhan itu. Sentuhan yang tertinggal di wajah, dan tubuhnya.

Nata mengalihkan matanya dari leher Ayu. Memaki dirinya dalam hati. Kenapa ia harus mengingat gambaran itu!

    Ada apa dengan otakmu, Nata!
    Apa kau sudah gila?
    Dia itu hanya anak kecil!
    Hanya bocah ingusan!
   
"Bapak kenapa malah diam? Ngomong apa kek? Usaha gitu biar kita gak jadi nikah."
   
"Pak!"
   
"Kenapa malah manglingin muka?! Bapak mikirin apa sih sebenarnya?!"
   
"Tubuh...."
   
"Hah?!!"
   
"Eh ... nggak itu ... maksudnya ... pinggul ...  eh!!"
   
Nata langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Kalimatnya keluar begitu saja.
   
Refleks Ayu menyentuh bokongnya dan melotot pada Nata.
   
Pria dihadapannya ini benar-benar otak cabul. Sontak saja Ayu langsung teringat tangan Nata yang memegang pinggulnya tadi malam. Tidak hanya pinggul, ia juga ingat bagaimana ganasnya Nata mencium bibirnya malam itu. Mencuri ciuman pertamanya yang berharga.
   
"Emang dasar cabul lo, ya!"
   
"Ca... Cabul?!" Nata kaget dilabeli cabul oleh gadis di depannya saat ini. Seperti tidak terima, ia menghampiri Ayu.
   
“Iya! Cabul! Mesum! Kenapa? Bapak nggak suka?”
   
"Kamu bilang saya cabul?" Nata menantang Ayu. Matanya terlihat marah ketika ia melepaskan kacamatanya dari wajah.
   
Tanpa sadar laki-laki itu justru memojokkan Ayu hingga ke sudut tembok. Matanya menatap tajam bola mata cokelat Ayu. Mempersempit jarak di antara mereka. Mengintimidasi cewek berisik itu.
   
Refleks Ayu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Seakan sedang melindungi dua asetnya yang berharga dari Nata.
   
"B... bapak mau apa sekarang?!"
   
"Kamu bilang saya cabul. Tapi seingat saya, kamulah yang justru duduk di atas perut saya malam itu. Kamu bahkan sempat membalas ciuman saya."
   
Ayu melotot. Seakan ia baru ingat kalau ia dengan bodohnya sempat terhanyut oleh ciuman Nata malam itu. Kenapa ...?
   
Kenapa Nata bisa mengingat detail itu ketika ia sendiri tidak mengingatnya?!!!
   
Bukankah orang mabuk seharusnya tidak bisa mengingat apapun ketika bangun?!!!

"S-siapa yang bilang?!" bantah Ayu.
 
"Saya justru muak karena ciuman pertama saya harus dirampas oleh laki-laki mesum kayak bapak!"

"Aku-kamu," ulang Nata tegas di telinga Ayu, membuat cewek itu bergidik. Napas Nata terasa hangat di kulit telinganya. Dan itu membuat wajah Ayu langsung memerah. Ia bisa merasakan detak jantungnya melambat bahkan nyaris berhenti.

"Mulai sekarang biasakan menggunakan panggilan itu saat kita hanya berdua seperti sekarang. Bagaimanapun juga, kita akan menikah," Nata terkekeh, senyum licik terukir di sudut bibirnya penuh kemenangan melihat gadis cerewet yang selalu bersikap kurang ajar padanya itu.

Senang sekali, akhirnya ia bisa balas mengerjai bocah ingusan itu.

Nata melepaskan kedua tangannya yang mengurung Ayu lalu berbalik dan melangkah menuju pintu keluar.
  
"Dan satu lagi," pria itu menghentikan langkahnya tepat di depan pintu sambil memasang kembali kacamatanya. Sebaris senyuman hangat mengikuti raut wajah pria berwajah malaikat itu.

"Jika kita udah nikah nanti, aku nggak keberatan kalau kamu ingin jadi yang di atas. Seperti malam kemarin."

Nata mengedipkan sebelah matanya pada Ayu sebelum pergi. Ayu menatap punggung laki-laki itu tak percaya.
Apa-apaan itu tadi?!
Malaikat? Hah! Yang bener aja!

Dasar brengsek!!! Sialan!!!

(Bersambung...)

-------
Cerita selengkapnya ada di link iniya...
https://m.dreame.com/novel/nG4yfNbJNGAy8rmt5Zj9dA==.html

Silahkan mampir.

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang