Pintu terbuka. Seseorang masuk ke dalam dengan langkah berat. Berat karena seluruh tulangnya terasa hancur. Seakan seluruh ototnya melunak menjadi agar-agar. Bahkan untuk berdiri sekalipun ia ingin menyerah. Ia belum pernah merasa seterpuruk ini. Belum pernah semenyedihkan dan sememalukan ini dalam hidupnya. Dan sekarang ia merasa benar-benar tidak berguna.
Dilewatinya ruang tengah begitu saja tanpa mempedulikan kegelapan yang menyamarkan penglihatan. Menyeret kedua kakinya ke kamar mandi dan membasuh wajahnya yang penuh luka di wastafel dengan air dingin. Di balik jaket hitamnya, tubuhnya penuh dengan lebam akibat pukulan yang ia terima saat melampiaskan emosinya dengan memukuli orang-orang yang menghalangi jalan.
Tubuhnya sudah seperti mayat yang dipaksa untuk berjalan di bawah lampu-lampu redup klub malam. Menabrak ke sana dan ke sini. Tak memperdulikan caci maki yang diteriakkan.
Kepalanya dihantam dengan botol minuman hingga pecah, membuat dirinya semakin hilang kendali di bawah pengaruh alkohol dalam dentaman suara musik yang menggelegar. Berapa botol yang diteguknya dan berapa orang yang dihajarnya? Berapa banyak yang ia hancurkan? Berapa banyak pukulan yang ia terima? Tapi kenapa rasa sesak di dadanya tidak berkurang sedikitpun? Kenapa rasa sakit di dadanya itu justru terasa semakin menyiksa?
Tidak hanya itu, bahkan dalam perjalanan pulang pun tubuhnya masih sempat tertabrak oleh mobil dengan kecepatan rendah hingga si pengemudi merasa begitu bersalah melihat kondisi laki-laki yang babak belur itu. Belum cukupkah luka-luka itu menggantikan rasa sakit di hatinya?
Laki-laki itu menatap wajah yang terpantul di cermin. Matanya berat dan begitu dalam saat ia menyadari siapa orang yang berada di dalam cermin itu. Dirinya.
“Karena aku membencimu!”
Bayangan sorot mata ibunya saat itu membuat napasnya semakin sesak.
“Aku bukan mamamu! Bukan ibumu! Jadi jangan memanggilku seperti itu!”
“Kamu ingin tahu kenapa aku tidak mau melihatmu? Kenapa aku selalu mengabaikanmu? Semua itu karena wajahmu! Karena aku muak melihat wajahmu itu!”
Aga berusaha menarik napas dengan susah payah. Tapi itu justru malah membuatnya tertawa tanpa suara saat kerongkongannya tercekat. Tawa yang menyakitkan. Tawa yang penuh dengan kepahitan. Ia tertawa sambil mencengkram hatinya yang berdarah-darah. Seperti seorang masokis yang mendapatkan kesenangan dari penyiksaan yang diterima, begitulah bagaimana ia tertawa dengan kesakitan yang ingin menghancurkan tubuhnya.
“Aku benar-benar mohon padamu ...”
“Jangan menyiksaku lagi ....”
“Kumohon ... pergilah dari hidupku ....”
PRAAAANNNKKKK!!!
Cermin itu pecah. Aga meninju cermin di depannya hingga hancur. Ia tidak ingin melihat wajah itu. Ia muak pada dirinya sendiri. Tangannya terkepal kuat di ujung wastafel. Darah menetes dari buku-buku jarinya yang terkoyak. Ia merapatkan giginya, menggertakan barisan putih itu hingga seakan-akan ingin menghancurkan rahangnya sendiri.
Tubuhnya hancur lebur. Tapi rasa sakit di dadanya jauh lebih menyakitkan dari luka fisik yang diterima. Seribu kali jauh lebih menyakitkan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa yang harus ia lakukan?
***
Om Adam menutup panggilan dari wali kelas Aga, meletakkan ponselnya di atas meja setelah memberi alasan palsu tentang keabsenan putranya selama beberapa waktu. Keningnya berkerut samar saat ia memijit kepalanya yang terasa pusing dan memejamkan mata sebentar.
Inilah kenapa ia dulu berkuat memasukkan Aga ke yayasannya sendiri, bukan sekolah biasa seperti sekarang. Akan mudah bagi Aga melakukan apapun di sana tanpa perlu mengkhawatirkan permasalahan sekolah. Ia benci harus berhadapan dengan masalah-masalah antar sekolah dan orang tua seperti ini.
Belum lagi wartawan yang dilibatkan jika terjadi sesuatu yang buruk. Dan jelas itu takkan baik. Tapi anak itu keras kepala menolak keinginannya dan masuk ke sekolah biasa. Hanya karena nama sekolah itu memiliki nama yang sama dengannya, ia merasa bahwa hidupnya mungkin tidak akan terlalu menyepikan. Om Adam menghela napas.
“Kau sudah temukan dia?”
Bastian maju selangkah dan mengeluarkan sebuah amplop yang berisi beberapa lembar foto yang memperlihatkan apa yang dilakukan Aga.
“Ya. dia terlihat beberapa kali ke club dan membuat keributan di jalan.”
Om Adam menghela berat sambil memijit pangkal hidungnya. “Tetap awasi dia.”
Bastian mengangguk sekali dan keluar dari ruangan Om Adam. Sementara laki-laki bermata abu-abu yang tampak kelam itu kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. Lelah. Menatap gedung-gedung pencakar langit dari lantai tertinggi di perusahaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Genç Kurgu"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...