Chapter #37 What should he do?

4K 304 3
                                        

Pintu terbuka.

Seseorang masuk dengan langkah berat. Terlalu berat untuk disebut berjalan. Tubuh itu hanya bergerak karena kebiasaan, bukan karena kemauan. Seluruh tulangnya terasa remuk. Otot-ototnya melunak seperti kehilangan fungsi. Bahkan berdiri pun terasa seperti keputusan yang salah.

Ia belum pernah merasa seterpuruk ini.
Belum pernah semenyedihkan ini.
Belum pernah sememalukan ini.

Dan malam ini, ia benar-benar yakin—ia tidak berguna.

Ia melewati ruang tengah tanpa menyalakan lampu. Gelap tidak lagi menakutkan. Gelap justru terasa lebih jujur. Kedua kakinya menyeret tubuh itu ke kamar mandi. Ia membungkuk di depan wastafel dan membasuh wajahnya dengan air dingin.

Air bercampur darah.

Di balik jaket hitamnya, tubuhnya penuh lebam. Jejak pukulan yang ia terima saat melampiaskan sesuatu yang bahkan tidak bisa ia sebut dengan kata-kata. Orang-orang yang mencoba menghalangi jalannya. Orang-orang yang tidak bersalah. Orang-orang yang hanya berada di tempat yang salah.

Tubuhnya sudah seperti mayat yang dipaksa berdiri di bawah lampu-lampu klub malam. Musik menggelegar. Cahaya berkedip. Ia menabrak siapa saja. Mendengar makian tanpa benar-benar memahaminya.

Botol minuman menghantam kepalanya. Pecah. Cairannya mengalir ke wajahnya. Atau mungkin itu darah—ia tidak yakin. Alkohol membuat segalanya kabur. Berapa botol yang ia habiskan? Berapa orang yang ia pukul? Berapa kali tubuhnya jatuh lalu bangkit lagi?

Ia tidak ingat.

Yang ia ingat hanya satu hal.

Rasa sesak di dadanya tidak berkurang.
Tidak melemah.
Tidak memberi ampun.

Justru semakin menekan. Seperti tangan yang tidak terlihat, mencengkeram jantungnya perlahan-lahan.

Bahkan dalam perjalanan pulang, tubuhnya sempat tertabrak mobil dengan kecepatan rendah. Pengemudi itu panik. Meminta maaf berulang kali. Menatapnya seperti melihat orang yang seharusnya sudah mati.

Tapi Aga hanya berjalan pergi.

Belum cukupkah semua itu?
Belum cukupkah luka-luka ini?

Ia menatap pantulan dirinya di cermin.

Mata itu tampak asing. Terlalu dalam. Terlalu kosong. Wajah yang sama dengan wajah yang dibenci seseorang.

Dirinya.

“Karena aku membencimu!”

Suara itu kembali. Tajam. Jelas. Tidak bisa diusir.

“Aku bukan mamamu! Bukan ibumu!”

Aga mencengkeram sisi wastafel. Napasnya memburu.

“Kenapa aku tidak mau melihatmu?”
“Karena aku muak melihat wajahmu itu!”

Dadanya berdenyut sakit. Ia mencoba menarik napas lebih dalam—dan justru tertawa.

Tanpa suara.

Tawa yang patah.
Tawa yang terasa seperti pecahan kaca di tenggorokan.

Ia tertawa sambil mencengkeram dadanya sendiri, seolah ingin merobek sesuatu dari dalam sana. Seolah rasa sakit itu bisa keluar kalau ditekan lebih keras.

“Aku benar-benar mohon padamu…”

“Jangan menyiksaku lagi…”

“Kumohon… pergilah dari hidupku…”

PRAAAANNNKKKK!!!

Cermin itu pecah.

Tinju Aga menghantam permukaannya tanpa ragu. Kaca berhamburan. Ia tidak ingin melihat wajah itu. Ia muak melihatnya. Muak pada dirinya sendiri.

Darah mengalir dari buku-buku jarinya. Ia tidak peduli.

Giginya bergemeletuk. Rahangnya mengeras seakan ingin menghancurkan dirinya sendiri dari dalam. Tubuhnya terasa kosong. Hancur. Tidak tersisa apa pun yang utuh.

Namun rasa sakit di dadanya—
itu jauh lebih kejam.

Seribu kali lebih menyakitkan dari semua luka di tubuhnya.

Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Ke mana ia harus pergi?

***

Om Adam menutup panggilan dari wali kelas Aga. Ponsel itu diletakkan perlahan di atas meja, seolah bunyinya saja bisa memperburuk kepalanya yang berdenyut.

Ia memijat pelipisnya. Menarik napas panjang.

Inilah sebabnya ia dulu bersikeras memasukkan Aga ke yayasannya sendiri. Di sana, segalanya bisa dikendalikan. Kesalahan bisa disembunyikan. Masalah bisa dipadamkan sebelum membesar.

Sekolah biasa selalu berarti satu hal:
orang tua lain.
isu.
dan wartawan.

Dan itu tidak pernah berakhir baik.

Tapi Aga menolak. Anak itu keras kepala. Hanya karena sekolah itu memiliki nama yang sama dengannya—seakan itu cukup untuk membuat hidupnya terasa tidak terlalu sepi.

Om Adam menghela napas berat.

“Kau sudah menemukannya?”

Bastian melangkah maju dan menyerahkan sebuah amplop. Foto-foto di dalamnya berbicara lebih banyak dari kata-kata.

“Ya. Dia terlihat beberapa kali ke klub. Membuat keributan di jalan.”

Om Adam menutup mata sejenak.

“Awasi dia,” ucapnya akhirnya. Suaranya datar. Lelah.

Bastian mengangguk dan keluar.

Sementara Om Adam menyandarkan tubuhnya ke kursi. Menatap gedung-gedung tinggi dari lantai paling atas perusahaannya. Lampu-lampu kota berkilau indah.

Dan entah kenapa, semuanya terasa sangat jauh.

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang