Epilog
“Aga jelek ...!”
“Idungnya becek ...!”
“Pantatnya sobek ....!”
“Dicium bebek ...!”
Anak-anak itu terus menyanyikan lagunya berulang kali. Menertawakan bocah kecil yang terduduk di depan mereka, bocah yang tak melakukan apapun untuk kembali melawan. Saat ia mencoba melawan, sekumpulan anak-anak itu terus saja berbalik mendorongnya hingga ia kembali jatuh di kubangan tanah dan ditertawakan. Namun bukan itu yang membuatnya menangis. Bukan anak-anak itu. Bukan mereka. Tapi Adnan.
Ia melihat Adnan yang baru pulang dari les sore itu. Memanggil kakaknya berulang kali. Tapi Adnan tetap saja tidak menolongnya. Adnan bahkan tidak menoleh sama sekali. Tidak melihatnya sedikitpun dan pulang ke rumah seorang diri. Dan karena itu, anak-anak lain semakin menjadi-jadi membuli Aga.
“PERGI GAK KALIAN!”
Seorang gadis kecil muncul dengan pemukul ping pong di tangannya dan berlari ke arah anak-anak yang membully bocah laki-laki di belakangnya.
“Hahhahahahahahah!!!!”
“Aga ditolongin sama cewek! Nggak maluuu!!! Gih sana main boneka aja ...!”
“Pergi nggak! Aku tampol pake ini mau!”
Gadis kecil itu mengarahkan pemukul pingpongnya ke depan muka anak-anak itu dengan sangar. Ia tidak main-main.
“Males ah, ngeladenin anak cewek!”
“Aga banci! Ditolongin sama cewek!
“Ihhh banci!”
“Bencong!”
“Bencong~bencong~bencong!” teriak anak-anak itu kemudian pergi meninggalkan mereka berdua.
Gadis kecil itu menoleh ke belakang dan mendapati Aga kecil duduk menangis sesegukkan di sana. Ia kemudian berjongkok agar bisa melihat wajah Aga lebih jelas. Saat Aga mengangkat wajahnya, gadis kecil itu tersenyum lebar.
“Anak cowok itu harus kuat. Nggak boleh nangis.”
Aga kecil menghentikan tangisannya. Ia menatap gadis kecil di depannya yang sedang mengoceh.
“Kak Evan bilang kalau cowok itu nggak boleh lemah. Terus katanya, kalo ada yang ganggu kita, tabok aja. Jangan takut.”
Aga mengangguk pelan.
“Jadi jangan nangis lagi ya. Harus kuat. Nggak boleh lemah. Lawan aja anak-anak bandel kayak tadi.”
Bocah laki-laki itu menghapus air mata dengan punggung tangannya yang kotor karena tanah. Meninggalkan jejak kotor baru di pipi gembulnya yang menggemaskan.
“Iya,” angguknya sekali lagi. “Aku bakal jadi kuat nanti,” ucap Aga kecil, menganggukkan kepalanya.
Gadis kecil itu tersenyum padanya. “Janji, ya?”
“Iya. Kamu juga janji ....”
“Janji apa?”
“Kalau aku udah kuat nanti, kamu main sama aku ya?”
“Hmmmmm ....,”
Gadis kecil itu berpikir sebentar. Kemudian mengulurkan jari kelingkingnya. Membuat perjanjian lalu tersenyum semringah. “Iya. Nanti kita main rumah-rumahan, ya. Aku jadi ibu, kamu jadi ayah, Kak Evan jadi anaknya,” riang bocah itu.
“Janji ya?”
“Iya!”
“CA!!!”
Di seberang sana gadis kecil itu melihat ayahnya sedang meneriakkan namanya.
“Papa aku udah manggil. Aku pulang dulu ya. Ntar kapan-kapan kita ketemu lagi! Dada!!!”
Aga mengangguk. Ia memperhatikan bagaimana gadis kecil itu berlari ke arah ayahnya yang berada tak jauh dari sana hingga kemudian mereka berdua berjalan menjauh. Gadis itu menoleh ke belakang dan melambaikan tangannya kembali pada Aga sebelum akhirnya ia benar-benar pergi.
“Adeeeennnn! Dennn Aga!!! Ya Allah den Aga...!!!”
Aga menoleh pada Bi Surti yang tergopoh-gopoh berlari ke arahnya dan membantunya berdiri. Mengibas-ngibaskan tangannya pada tanah-tanah yang menempel di pakaian Aga.
“Aduuuhhhhh, Den ... Kan bibi udah bilang jangan main di sini lagi! Pasti ulah anak-anak itu lagi kan? Ayo pulang, Bibi bersihin luka-luka aden dulu.”
Aga mengangguk dan membiarkan Bi Surti menggandeng tangannya pergi. Sesaat kemudian, bocah itu kembali menoleh ke belakang untuk melihat si gadis kecil dan ayahnya yang sudah semakin jauh.
Mata kelabunya yang diselimuti kesedihan dan harapan terus menatap kepergian gadis itu. Dalam hatinya kemudian ia bertanya.
Kita bakal ketemu lagi, kan?
***
Ada waktu di mana aku ingin memejamkan mata dan melupakan segalanya. Membiarkan diriku tenggelam dalam kegelapan tak berdasar.
Aku merasa lelah. Hingga aku ingin dunia ini berhenti berputar. Namun kemudian, aku sadar bahwa aku sangat egois. Dan aku pun merubah keinginanku. Aku hanya ingin hidupku yang berhenti.
Aku memeluk lutut kakiku dan tak melihat apapun untuk waktu yang cukup lama. Waktu di mana aku ingin melupakan segalanya. Berdiam diri di tempat yang selama ini kuimpikan tanpa perlu memikirkan apapun. Tanpa perlu mengkhawatirkan apapun lagi. Hingga kemudian aku melihatnya.
Aku mendengar suaranya yang memanggil namaku berulang kali. Dan aku sadar, aku sedang berlari mengikuti jejak langkah kaki kecilnya. Aku melangkah mengikuti kemana pun gadis kecil itu pergi. Aku ingin ikut dengannya. Aku ingin bersamanya. Aku ingin meraih tangannya.
Dia seperti jalan yang menuntunku pulang. Dan saat aku melihat senyumnya ketika ia menoleh, tanpa kusadari... aku ingin kembali.
Ya. Aku ingin kembali. Aku ingin pulang.
Padanya...
Selalu....
***
The END***
Halo, semuanya. Terima kasih banyak karena terus mendukung cerita ini hingga akhir. Mohon maaf atas kekurangan yang ada. Jangan putus asa dan patah semangat. Masih ada hari lain untuk menyerah.
Support author di
https://trakteer.id/tari-oktavian-ekdv1/tip ,
supaya author tetap semangat dan improve ke depannya.
Dan sampai jumpa di cerita-cerita selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Fiksi Remaja"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...