Chapter #06 Aplogize's Promise

6K 390 12
                                        

Well ... nggak semua malaikat itu tinggal di surga ...."

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Tidak seriuh hiruk-pikuk suasana di luar sana, ruangan UKS itu sepi. Bu Rini yang bertugas jaga harus ijin mendadak karena anak semata wayangnya masuk rumah sakit akibat demam berdarah.

Di UKS itu, di dipan terakhir yang berada dekat jendela, Aga terlihat sedang berbaring. Menikmati hembusan kipas angin di panasnya cuaca siang ini. Sebelah tangannya terjulur menutupi mata. Napasnya berhembus teratur mengikuti gerakan dadanya yang naik turun.

Sesaat kemudian, telinganya mendengar langkah yang masuk ke ruangan itu. Langkah bimbang yang terdengar ingin mendekat. Langkah milik Caca, cewek yang menjadi alasan kenapa ia memilih kembali ke ruangan yang penuh bau obat-obatan itu.

Ada sesuatu yang ingin ia pastikan dari cewek itu. Sesuatu yang tidak pernah ia dapatkan jawabannya. Sesuatu yang membuat hatinya berdarah selama ini tanpa pernah ia ketahui apa sebabnya.

Caca menarik napas dalam-dalam. Diliriknya kedua telapak tangan Aga yang berbalut perban dan luka di ujung bibir cowok itu akibat mendapat pukulan di wajah. Rasa bersalah memenuhi hati Caca. Ia benar-benar merasa sikapnya selama ini benar-benar keterlaluan. Hanya aja ...

"Jangan terlalu lama ngeliatin kalo lo nggak suka gue. Bahaya kalo sampai terpesona."

Caca terkesiap. Aga menyingkirkan lengannya dari wajah dan memandang cewek galak itu . Sebenarnya ia ingin tetap pura-pura tidur. Ingin melihat apa yang dilakukan Caca. Apa tujuannya.

Namun karena Caca tak mengatakan apapun selain memperhatikan tangannya, Aga menyerah.

Pemilik tatapan hangat itu, butuh lebih dari sekedar kebisuan di antara mereka. Ia butuh lebih dari sekedar rasa kasihan di sepasang mata cokelat itu. Bahkan sekalipun ia tidak menyadarinya.

Sesuatu menarik rasa keingintahuan yang lebih jauh pada pertanyaan yang dibuatnya sendiri. Ia harus mendapatkan jawabannya. Jawaban kenapa... Caca juga menatapnya seperti itu?

"Apaan sih? Ge-er banget lo jadi orang," jawab Caca.

"Gue ke sini karena kemarin lupa bilang... bilang... ,” Caca menghela napas berat.

“Gue lupa bilang makasih,” ucapnya pasrah. Hatinya mengalahkan harga dirinya.

Aga terkekeh, memegang perutnya yang sakit karena menahan tawa. Tidak persis seperti yang ia inginkan. Namun ulu hatinya tiba-tiba saja terasa geli.

Bibirnya yang lupa bagaimana rasanya tertawa secara nyata itu, tiba-tiba saja terasa seperti digelitik oleh kalimat Caca. Keputusannya untuk kembali ternyata memang tepat. Mendengar Caca tiba-tiba saja mencarinya ke kelas saja sudah membuat hati cowok itu dipenuhi gelembung-gelembung udara yang menyenangkan.

Dan ketika mendengar cewek itu mengucapkan terima kasih, perutnya benar-benar geli sekali hingga ia tak mampu menahan tawa.

Anjirrr ....

"Lo tuh ya, gue ngomong baik-baik kok malah diketawa-"

Aga meringis ketika mencoba duduk. Kondisinya belum pulih benar. Tentu saja. Luka dan cidera seperti itu, tidak mungkin hilang dalam waktu satu malam bahkan sekalipun cowok itu kuat menahannya.

Caca refleks langsung duduk di samping Aga, tidak sadar bahwa ia sedang dikerjai oleh pemilik mata kelabu itu. Yang tidak Caca ketahui, bagi Aga, luka-luka seperti itu tidak akan mampu membuatnya merasa lebih sakit lagi.

Luka yang terpendam di hatinya, jauh lebih parah dari ini. Dan mungkin tidak akan pernah bisa sembuh.

Namun sedikit perhatian dari sepasang mata yang selama ini membencinya, membuat Aga merasa .. senang sekali.

"Lo nggak apa-apa? Gu... gue panggilin Bu Rini bentar."

"Nggak usah. Gue nggak apa-apa." Aga menahan Caca, memaksanya kembali duduk.

Cewek itu sepertinya tidak tahu kalau Bu Rini sedang tidak berada di sekolah saat ini. Lagipula Aga tidak suka dirawat oleh orang lain.

Ia bisa mengobati luka-lukanya sendiri. Ia terbiasa melakukannya seorang diri. Ia bahkan hapal seluruh obat yang ada di ruangan UKS dan bagaimana cara menggunakannya.

Jika saja ia mengenakan jas putih Bu Rini, dia pasti terlihat seperti seorang dokter muda.

"Itu buat gue?" Aga melepaskan pergelangan tangan Caca lalu menunjuk bungkusan plastik putih yang isinya susu coklat.

"Hmm ..." dehem Caca pelan."Balasan karena udah nolongin gue. Gue nggak suka ngerasa utang budi sama orang lain. Apalagi sama lo. "

Aga tersenyum sinis. Sesaat kemudian ia mengangkat wajahnya. Mengunci mata cokelat gadis itu. Ada sesuatu yang tidak asing di sepasang mata cokelat itu.

"Kalo cuman segini bentuk terima kasih lo, maaf, kayaknya gak setimpal dengan luka-luka yang gue tanggung."

"Maksudnya?"

Aga tersenyum. Tidak di bibirnya, tapi di kedua matanya yang meneduhkan.

"Traktir gue makan siang."

***

Traktir gue makan siang ....

Caca melupakan satu janji itu. Ia melupakan janjinya dengan Aga. Mejanya penuh dengan tumpukan berkas proposal. Ia memijit pelipis matanya karena pusing. Pileknya belum sembuh dan badannya terasa lemas.

Caca baru sadar kalau seharian ini ia hanya minum aqua gelas dan makan bakwan yang dibawa Dian ke ruang osis tadi. Di samping aqua gelasnya, terlihat sampah bungkusan obat flu dan pilek. Menandakan bahwa ia sudah meminum dua pil itu beberapa saat yang lalu.

Siang telah berganti menjadi senja. Memperlihatkan warna magenta yang begitu indah bersama rintik-rintik gerimis yang hampir usai petang itu. Namun Caca tak menyadarinya.

Ia hanya tahu bahwa bel pulang sudah berbunyi beberapa jam yang lalu. Dan selain anak-anak cheers dan drumband yang sedang latihan di lapangan, tidak ada seorang pun yang masih menetap di sekolah.

Baru saja gadis itu menuruni anak tangga kedua, gelombang vertigo menghantam kepalanya dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Jatuh. Ia kehilangan tenaga dan tulangnya mendadak berubah menjadi bubur. Ia akan jatuh.

Dan sebelum tubuhnya benar-benar ambruk ke bawah tanpa ampun, sebuah tangan lebih dulu menangkap hingga punggungnya menabrak dada bidang si penolong.

"Lo nggak apa-apa?" tanya cowok itu.

Keringat dingin mengucur deras dari kening Caca. Kepalanya benar-benar pusing. Tapi ia masih bisa mengenali suara Aga di dekat telinganya. Kenapa laki-laki itu masih ada di sini? Di jam seperti ini? Kenapa dia bisa ada di sini?

"Nggak apa-apa. Cuman ... pusing doang ...."

Caca mencoba melepaskan diri dari Aga, namun tenaganya benar-benar habis. Seakan seluruh energinya tersedot oleh kedua tangan Aga yang menahan lengannya.

"Gue rasa lo lagi demam. Wajah lo pucat dan badan lo panas. Napas lo juga nggak teratur," periksa Aga, tak sadar tangannya menutupi hampir separuh wajah Caca yang memang kecil.

Caca ingin mengatakan 'jangan sok perhatian,' pada Aga.

Hanya saja ia sendiri tidak tahu apa yang sedang ia ucapkan saat ini. Suaranya terdengar terbata-bata di telinganya sendiri.

Sebelum cewek itu kehilangan kesadaran, ia masih sempat mendengarkan Aga menghembuskan napas berat lalu menggendongnya pergi entah kemana.

LANGIT JINGGA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang