Deru motor itu terdengar akrab di telinga Caca. Seketika garis senyumnya langsung saja merekah lebar mendapati Aga sudah melepaskan helm dan bersandar di badan motor seperti biasa, menunggu.Manik kelabu laki-laki itu bersinar hangat ketika ia menemukan Caca.
Aga mengangguk dengan kedua mata. Ditunggunya Caca hingga cewek itu keluar tidak lama kemudian dan berdiri tepat di hadapannya sambil menenteng ransel.
“Udah?” tanya cowok itu.
Caca mengedikkan bahu. “Yup. Berangkat sekarang?” Ia balik bertanya.
Aga tersenyum sekilas. “Nyokap lo mana?”
“Lagi mandi. Tadi udah gue salamin.”
Laki-laki itu mengangguk mengerti lalu menyerahkan satu helmnya pada Caca. Beberapa saat kemudian deru motor meninggalkan gang dan membelah padatnya jalanan ibukota menuju sekolah.
Caca masih ragu mengaitkan kedua tangannya di pinggang Aga bahkan setelah beberapa minggu mereka pacaran. Sama seperti saat pertama kali Aga menjemputnya pergi ke sekolah. Itu tepat di hari pertama sekolah setelah kegiatan LDKS kemarin.
Ia sedang menggosok gigi saat tiba-tiba saja sang mama berteriak mengatakan bahwa Aga sudah menunggu di depan. Menunggu dengan senyum usil khasnya yang membuat cewek itu bingung setengah mati. Menawarkan, bukan, lebih tepatnya memaksa untuk berangkat sekolah bersama. Sama seperti kali ini.
Sebenarnya tidak banyak yang berubah. Hanya saja, ia sudah terbiasa. Terlalu terbiasa menghadapi sikap laki-laki yang satu ini hingga yang bisa ia lakukan hanyalah menghela napas.Tidak hanya menjemput, tapi Aga juga akan mengantar Caca pulang. Hanya dengan kedua kegiatan itu saja, hidup Aga menjadi lebih bersemangat.
Ia merasa seperti punya alasan untuk tetap bernapas di dunia ini. Genggaman tangan Caca itu, ia tidak ingin melepaskannya. Sampai kapanpun ia tidak ingin melepaskannya. Ia benar-benar berharap bahwa ilusi ini akan bertahan lama. Cukup lama hingga ia tidak sadar bahwa semua ini hanyalah khayalan tololnya semata.
Di lain sisi, Caca juga ingat ketika Aga tiba-tiba muncul di rumahnya di satu minggu pagi. Cewek yang baru saja kembali dari warung itu langsung sukses dibuat ternganga lebar saat mendapati Aga dengan kaos hitam tanpa lengan sedang memangkas rumput yang telah menanjang. Sementara Aldo membantu memungut rumput yang berserakan di sekitar. Cowok itu bahkan tidak sadar bahwa ototnya menjadi konsumsi ibu-ibu tetangga yang menggodanya.
“Disuruh nyokap lo,” jawab Aga saat itu.
"Allahuakbar, Ga!"
Caca geleng-geleng kepala. Ia tidak habis pikir. Benar. Dugaannya pasti benar. Pasti ada yang salah dengan otak cowok yang satu ini. Orang bilang, hanya ada dua tipe cowok ganteng di dunia ini. Kalo nggak homo, ya bego.
“Gue heran deh sama lo, Ga. Lo tuh sebenernya bego apa polos sih? Kok mau-maunya dikerjain nyokap gue?!”
Aga tertawa dan mengacak-acak puncak kepala Caca. Cewek itu langsung saja menepis tangan Aga menjauh. “Nggak usah pegang-pegang. Tangan lo kotor, bahlul!” ucapnya dan bergegas masuk ke rumah.
***
Sekarang Caca bersandar di tembok pembatas depan kelasnya. Sambil bertopang dagu, matanya terus saja memandangi dan menonton permainan basket cowok-cowok kelas XII IPA 1 dan XII IPS 5 di lapangan.Dan begitu Aga mencetak skor, histeria itu langsung membahana ke seantaro sekolah.
Cewek-cewek dari kelas XII IPS 5 yang seharusnya mendukung tim kelas mereka sendiri, justru malah berteriak-teriak mendukung Aga dan Dimas yang saling ber- high five.
Gemuruh langsung tercipta. Akhirnya para penonton yang mayoritas cewek itu seolah bukan sedang menonton permainan anak SMA yang sedang mengisi waktu, melainkan sedang menonton kompetisi basket profesional.
Alih-alih ikut bersorak menyemangati seperti yang dilakukan teman-temannya, Caca hanya diam. Ia terus mengamati Aga di sana. Cowok terlihat senang. Senyum dan tawa tak henti menghiasi sudut bibirnya saat ia bermain. Namun, tetap saja ada yang janggal. Ada kekosongan di dalam ekspresi itu. Dan Caca tidak tahu kenapa. Ia merasa seakan ia tidak tahu apaun tentang laki-laki itu.
“Ya Allah, seksi banget ....” guman Ami terpesona.
“Aku padamu, Bang! Aku padamu!” timpal cewek di sebelahnya.
“Gue berasa kayak ngeliatin syuting iklan sampo,” lanjut seorang cewek lagi.
“Anjiir, ototnya bikin salfok, jeenggg. Deg-degan iler gue,”Ayu ikut berkomentar
“Adeeeemmmm banget gue ngeliatnya,” ucap Erwin ikut-ikutan terpesona.
Ami setuju, mengangguk-anggukkan kepalanya. “Iya, kan ....”
Caca hanya tertawa kecil ketika semua cewek-cewek itu –ditambah seorang cowok— berteriak-teriak memanggil nama Aga. Matanya tetap terfokus pada gerak-gerik Aga di lapangan sana yang sedang men-dribble bola.
Aga mendongak ke atas. Ke arah koridor kelas XII IPA 3 saat digoda timnya sendiri. Senyumnya mengembang memamerkan barisan sempurna gigi putih di baliknya ketika menemukan Caca sedang ikut menonton permainan basket dari lantai atas sana. Sejak tadi ia memang sudah beberapa kali melirik ke arah gedung yang satu itu.
Caca melemparkan botol minumannya dan langsung saja ditangkap oleh Aga. Jakunnya naik turun di setiap teguk air yang melewati kerongkongan yang haus.
“Yaaa sih Caca. Kok lo main lempar sih? Bukannya disamperin, dielap keringatnya kek biar mesra. Emang sarap lo, Ca. Kalo ketimpuk kepalanya gimana?”
“Yah, rejekinya dia berarti,” Caca menjawab cuek.
“Kalo lo males turun, kasi gue saja. Biar gue yang kasiin ke Aga ntar,” sambung Erwin lagi.
Otomatis pipi cowok yang satu itu langsung dicubit keras hingga melar oleh Ami.
“Sumpah, nggak bisa gue bayangin kalo lo kawin sama Aga. Gimana nasib tuh cowok ntar,” Ayu berdecak lidah. "Masa lo ngidangin makanan ke dia pake lempar-lempar. Emang gila lo, Ca!"
Namun Caca tidak terlalu memperdulikan ucapan teman-temannya. Apalagi membayangkan apa yang baru saja dikatakan Ayu. Hari ini, ia memang tidak terlalu banyak bersuara. Hanya diam memperhatikan dan mendengar.
Seakan mencari tahu alasan kenapa mata kelabu selalu saja terlihat sedih bahkan sekalipun laki-laki tertawa. Perasaan ysng membuatnya begitu penasaran untuk menebak-nebak lalu menghubungkan tiap ucapan yang selalu keluar dari mulut cowok itu.
Aga baru saja mau meletakkan botol mineralnya ke bangku dan mengelap peluhnya yang menetes deras ketika Kirana tiba-tiba saja muncul di lapangan dan membuat suasana langsung gaduh.Sontak saja Alis Caca terangkat bingung. Terlebih ketika Aga terlihat mengikuti gadis itu lalu menghilang dari pandangan. Sampai kapan sebenarnya Kirana akan berhenti mengejar Aga?
“Tuh, kan! Tuh, kan!”
“Si Kiranti dateng lagi. Mampus lo, Ca,” ucap Ayu mendelik pada Kirana.
Caca hanya diam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun. Namun sepasang matanya tak berhenti menatap kepergian sosok Aga yang perlahan menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT JINGGA (TAMAT)
Fiksi Remaja"Semua keinginan gue, gak pernah jadi kenyataan. Itu cara kehidupan menghukum gue." *** Aga, atau lebih lengkapnya Airlangga Putra Senja. Pangeran bermata kelabu paling sempurna abad ini dengan tatapan menghangatkan namun sorot mata yang terlihat b...