Di dalam film, drama, ataupun anime Jepang, kita sering kali melihat sebuah papan yang berisikan gantungan dari kumpulan kayu bergambar yang biasanya terletak di sudut sebuah kuil.
Papan itu bernama ema, sebuah wadah atau tempat dari orang Jepang untuk menggantungkan harapan dan kenginan mereka kepada para dewa.
Kenapa papan ini dinamakan Ema? Tentu ada sejarah menarik dibaliknya.
Pada zaman dahulu, orang Jepang kerap mempersembahkan seekor kuda kepada Kami atau Dewa sebagai sarana tunggangan.
Mempersembahkan seekor kuda yang berharga mahal kala itu tentu saja menyulitkan rakyat jelata yang juga mempunyai harapan dalam kehidupan mereka.
Persembahan pun akhirnya diganti dengan patung kuda, namun masih banyak orang yang tidak mampu membelinya. Akhirnya diputuskan, persembahan bisa digantikan juga dengan ema yang berarti gambar kuda.
Tradisi mempersembahkan kartu ini sudah dikenal sejak zaman Nara berdasarkan artefak yang ditemukan di Situs Arkeologi Iba (Hamamatsu) dan Hieda (Yamatokōriyama).
Pada awalnya, semua kartu bergambar kuda, namun gambar hewan lainnya mulai dijual pada zaman Muromachi. Seiring bergantinya zaman, kartu ini pun mulai berkembang. Banyak orang Jepang yang melakukan variasi dengan papan harapan mereka. Tak jarang juga yang menggambar kuda dengan tangannya sendiri.
Ema biasanya dijual di sudut-sudut kuil Shinto dan Buddha dengan biaya yang bervariasi. Ema berisikan nama pemohon, alamat, tanggal kunjungan ke kuil, dan keinganan.
Harapan pun dituliskan beragam. Mulai dari kesehatan dan kesejahteraan keluarga, kelancaran dibidang pekerjaan, hingga harapan untuk mendapatkan jodoh.
Ema sekarang pun sangat populer di kalangan turis asing. Meski tidak mengerti dan tidak bisa menuliskan bahasa Jepang, mereka tetap membelinya dan menggantungkan harapan di kuil yang mereka kunjungi.