4 Keunikan Universitas Di Jepang

632 25 1
                                    

1. Tidak Ada BEM Atau Himpunan Mahasiswa

Universitas di Jepang punya pengurus gakusai atau festival sekolah, tetapi tidak punya yang namanya badan eksekutif mahasiswa, atau himpunan-himpunan yang berdasarkan pada jurusan mahasiswa.

Lucu dan iri rasanya melihat teman-teman yang berbaur akrab dengan teman-teman sejurusan dan seangkatannya sendiri di Indonesia, karena adanya ikatan organisasi yang berperangkat lengkap mulai dari ketua angkatan, wakil, sekretaris, dan seterusnya. Di sini, teman-teman sejurusan/sekelas saya rata-rata hanya kenal dan/atau tahu sepertiga dari isi kelas sendiri, padahal sejurusan hanya ada kurang dari 90 orang.

2. Klub (部活/bukatsu) dan Circle (サークル/ sākuru)Karena mereka tidak punya badan organisasi seperti BEM, orang Jepang sangat, sangat, sangat kental dengan kultur klub dan/atau circle mereka. Mahasiswa di Jepang benar-benar anggap serius dan fokus dengan aktivitas klub mereka! Saya sendiri hanya berani join sākuru saja, yang merupakan klub versi tidak strict—boleh join dan keluar kapan saja, dan biasanya tujuannya hanya untuk kumpul dan senang-senang.

Nah, biasanya di bukatsu atau sākuru inilah para mahasiswa Jepang mencari teman (dan pasangan hidup, kalau beruntung).

3. "Kuliah Itu Kesempatan Terakhir Untuk Bersenang-Senang"

Hingga SMA, kebanyakan dari anak-anak di Jepang menghabiskan waktu mereka untuk belajar dan masih dikekang oleh banyak regulasi seperti tidak boleh minum alkohol. Karenanya, bagi mahasiswa di Jepang, masa perkuliahan merupakan masa-masa paling luang di mana mereka bebas bermain dan melakukan apa yang mereka mau, seperti kerja sambilan dan traveling. Hal ini juga dipicu oleh tegangnya dunia bekerja di Jepang, yang membuat mereka tidak akan punya banyak waktu lagi setelah mereka menjadi 社会人/"shakaijin" (literally "orang-orang masyarakat", maknanya orang yang telah bekerja atau memiliki profesi).

Kalimat "大学生活は人生の夏休み" (daigaku seikatsu wa jinsei no natsuyasumi; lit. 'kehidupan perkuliahan itu adalah 'libur musim panas'-nya kehidupan'), jadi jika satu masa hidupmu setara dengan satu tahun, maka masa kuliah adalah libur musim panasmu...

Mungkin, kalau kata Chrisye masa-masa paling indah bagi orang Indonesia adalah masa-masa di sekolah (SMA), di Jepang masa-masa paling indah adalah masa-masa perkuliahan, ya? Yang jelas, berbeda dengan stereotip 'orang-Jepang-tuh-belajar-mulu', kuliah di sini juga penuh senang-senang, kok.
4. Job-Hunting atau 就活 (shuukatsu)

Di Jepang, ada masa di mana perusahaan-perusahaan 'menggarap' lulusan-lulusan S1 baru untuk direkrut. Karenanya, di tahun keempat tidak jarang para mahasiswa sibuk mendaftarkan diri ke belasan hingga puluhan perusahaan, dan ini disebut dengan kegiatan shūkatsu.

Dengan adanya shūkatsu, para mahasiswa bisa mendapatkan jaminan pekerjaan sebelum lulus. Tapi, shūkatsu cukup sulit, banyak sekali ujian berkas dan wawancara yang harus dijalankan! Berbeda dengan perekrutan di Indonesia, biasanya perusahaan-perusahaan tidak menilai dari GPA mahasiswa, melainkan seberapa besar nama universitas asal dan performa mereka di penyeleksian.

Meski begitu, sebagian besar dari mahasiswa, khususnya yang jurusan sains, memilih untuk lanjut ke program master karena selain bisa mendapatkan pekerjaan dengan lebih mudah, mengacu pada poin ke-3, masa "senang-senang" mereka bertambah, ekstra 2 tahun.

Nihon... Ai Shi Te Ru...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang