1. Usut punya usut, orang Jepang anti menikah muda karena takut nggak bisa menghidupi anak orang
Di Jepang, rata-rata pernikahan untuk pria ada di usia 30,9 tahun, sedangkan wanita di usia 29,3 tahun, sehingga rata-rata keduanya adalah 29,7 tahun. Sementara di Indonesia, kebanyakan para orangtua justru sudah ‘mengejar-ngejar’ anaknya yang usianya di atas 25 tahun untuk segera menikah. Ternyata alasan kenapa pria Jepang lebih memilih tidak menikah dulu adalah karena mereka masih khawatir terhadap kondisi ekonomi dan pekerjaan mereka, sehingga ketakutan akan ketidakmampuan menghidupi keluarga muncul menghantui. Untuk wanita Jepang, alasan mereka lebih banyak seputar ketakutan tidak mendapat kebebasan ketika sudah menikah. Jadi karier masih menjadi prioritas bagi sebagian besar wanita Jepang. Tapi di satu sisi, ternyata lelaki Jepang sangat bertanggung jawab. Dibandingkan di Indonesia, masih banyak kita jumpai suami yang tidak punya pekerjaan tetap sehingga kehidupan keluarganya terlunta-lunta. Banyak juga asumsi seperti “Kehidupan habis menikah itu urusan nanti, yang penting halal dulu”. Mungkin ini juga jadi sebab mengapa angka kemiskinan di Indonesia cukup tinggi ya?
2. Biaya hidup tinggi menjadi alasan selanjutnya orang Jepang enggan menikah
Wanita Jepang memandang pria ideal yang bisa dinikahi adalah pria dengan penghasilan lebih dari 460 ribu yen per bulan atau sekitar 46 juta rupiah. Hal ini bukan tanpa alasan atau karena wanita Jepang memang matre ya Guys. Biaya hidup di Jepang itu tinggi, angka tersebut menjadi pendapatan rata-rata di Jepang jika suami-istri bekerja semua. Di sisi lain, para pria rata-rata tidak menginginkan istrinya bekerja penuh waktu (full-time) karena harus mengurus keperluan rumah tangga. Sedangkan wanita Jepang merasa tidak memiliki karier jika harus bekerja hanya paruh waktu (part-time). Berdasarkan data survei, ditemukan juga bahwa penghasilan rata-rata lulusan S1 di Jepang sebesar 200 ribu yen per bulan atau sekitar 20 juta rupiah, sementara untuk lulusan S2 adalah sekitar 220 ribu yen dan S3 sekitar 300 ribu yen. Uang tersebut hanya cukup jika mereka hidup sendiri untuk biaya apartemen, listrik, internet, pajak, dan lain-lain. Sedangkan jika harus menghidupi keluarga, apalagi jika memiliki anak, tentu sangat berat.
3. Lebih memilih memelihara anjing daripada memiliki anak
Keengganan menikah juga dihantui pikiran takut memiliki anak karena biaya yang harus dikeluarkan setiap bulan menjadi bertambah. Dilihat dari rata-rata penghasilan di atas dan kenyataan biaya pendidikan anak di Jepang saja sudah bikin geleng-geleng kepala. Memang sih sekolah dasar di Jepang tidak dipungut biaya. Tapi ketika memasuki usia SMP dan SMA, anak-anak di Jepang sudah mulai dituntut untuk ikut kursus tambahan seperti olahraga, musik, atau seni lainnya, yang biayanya relatif mahal. Masuk perguruan tinggi, biayanya semakin mencekik. Rata-rata mereka harus mengeluarkan uang sekitar 267.000 yen per semester atau sekitar 28 juta rupiah, baik untuk jenjang S1, S2, maupun S3. Jika penghasilan orangtua tidak cukup, biasanya mereka harus bekerja keras sendiri dengan mengambil pekerjaan paruh waktu. Belum lagi kecenderungan orang-orang sukses di Jepang yang biasanya akan meninggalkan orangtua mereka. Hal ini memunculkan persepsi bahwa untuk apa memelihara anak jika nantinya ketika sukses tidak mau mengurus orang tuanya. Dibandingkan dengan kondisi di Indonesia, memiliki anak justru menjadi hal yang didambakan setiap pasangan. Seperti halnya terlambat menikah, terlambat memiliki anak malah mengundang gunjingan orang lain.
4. Pemerintah Jepang sampai membuat kebijakan yang menuntut agar orang-orang di Jepang cepat menikah
Ketidaktertarikan sebagian besar masyarakat Jepang untuk menikah ternyata memunculkan krisis demografi di negara tersebut. Pemerintah Jepang sampai harus membuat kebijakan peningkatan gaji dan promosi pekerja wanita lho, sehingga mereka tetap bisa berkarir setelah menikah. Selain itu kebijakan hak cuti melahirkan juga bisa diambil pihak pria supaya kewajiban merawat anak tidak hanya dibebankan pada wanita dan para wanita masih bisa mempertahankan pekerjaannya. Karena jika permasalahan tersebut tidak segera diselesaikan, Jepang bisa didominasi penduduk dengan usia tua dan kehilangan orang-orang dengan usia produktif. Berkebalikan dengan keadaan di Indonesia Guys. Negara kita justru menjadi negara dengan pertumbuhan penduduk terpesat keempat di dunia. Sampai pemerintah harus menggencarkan slogan “Dua anak cukup”.