1-Rooftop

659 182 166
                                    

Di dalam perpustakaan yang sepi pengunjung, Anin menenggelamkan wajahnya di atas lipatan tangannya yang berada di atas meja. Dengan telinga yang disumbat dengan earphone putih miliknya yang membawa alunan music dari ponselnya menuju telinganya.

Ia adalah penyendiri yang tak butuh keramaian. Bukan berarti ia juga tidak memiliki teman karena sifat penyendirinya itu.

Bukan kah manusia adalah makhluk sosial?

Tentu saja Anin membutuhkan seorang teman tempat berbagi cerita.

Tidak perlu mencarinya terlalu jauh, karena ia sudah memilikinya. Sherin. Sherin adalah tempat Anin berbagi segalanya, mulai dari kebahagiaan sampai kesedihan.

Tidak perlu pula memiliki banyak teman, untuk apa? Satu saja sudah cukup. Setahunya, zaman sudah berubah. Mencari teman yang peduli lebih sulit daripada mencari teman yang berlagak peduli namun kenyataannya mereka hanya ingin tau. Ayolah, bedakan kedua hal itu!

Anin menengadahkan kepalanya saat sesuatu yang keras menimbruk kakinya. Dilihatnya seorang pria yang tersenyum padanya. Bukannya membalas senyuman itu ia hanya menaikkan sebelah alisnya lalu menengok ke bawah melihat apa yang menjatuhi kakinya barusan.

"Maaf, gue gak sengaja." ujar pria itu sambil menunduk dan mengulurkan tangan mengambil buku yang ia jatuhkan.

Bukan Anin namanya jika akan menggubris ucapan pria itu. Segera ia kembali menenggelamkan kepalanya ke lipatan tangannya dengan nyaman.

Merasa diacuhkan pria itupun menarik kursi yang ada disisi kanan Anin lalu mendudukinya. Ia menatap sekilas tubuh mungil itu dan tersenyum tipis.

Pria itu adalah Tofan. Cowok dari kelas XI IPA 1 yang terkenal dengan ketampanannya dan sikap hebohnya. Sangat berbanding terbalik dengan Anin yang lebih tenang. Ralat-sangat berbanding terbalik dengan sikap Anin yang bisa terbilang dingin.

Sebenarnya dalam hati gadis itu heran dengan kehadiran Tofan di sampingnya. Baru kali ini ia melihat pria itu masuk kedalam perpus dan mengambil sebuah buku bacaan. Padahal jika saja Anin melihatnya, pria itu tidak sedang membaca buku. Ia hanya memegangi buku itu dan terlihat sedang berpikir. Mungkin memikirkan cara bagaimana membuka percakapan di antara mereka.

"Di sini dingin ya, padahal di luar panas loh" tanya Tofan agak sedikit tersenyum kikuk.

Krikk.

Tofaaannn, jelas aja dingin. Ruangannya ber-AC woy! Batin Tofan memekik meruntuki kebodohan dari pertanyaannya.

"Hmm, Anin. Nama lo Anin kan?" Tanyanya lagi.

Krikk.(2)

Oke! Kenapa gue jadi sok kalem gini?

"Kacang goreng kacang rebus kacang telor kacang tanah gue dikacangin." ujar pria itu yang mulai kesal karena sedari tadi gadis di sampingnya seperti tidak menganggap keberadaannya.

"Kalau mau jualan kacang di lampu merah sono. Berisik!" Ketus Anin yang sudah menegakkan badannya dan menatap tajam ke arah Tofan.

Pria itu tersenyum miring dan memicingkan matanya menatap mata Anin yang di hiasi bulu yang lentik. "Ya udah ayo." Tofan berdiri dan menarik pergelangan tangan mungil gadis itu agar ikut berdiri.

Dengan cepat Anin menepis kasar tangan itu hingga terlepas. "Apa lo megang-megang!"

"Mau ngajak lo jualan kacang di lampu merah" jawabnya polos dengan cengiran lebar menunjukkan deretan giginya yang berbaris teratur, membuat Anin ingin memarkirkan cowok itu kedalam rak yang berisikan buku buku.

Gadis itu mendengus kasar dan beranjak dari tempatnya. Dengan langkah cepat Tofan dengan mudahnya menyamai langkah keduanya.

Sesampainya mereka di depan pintu perpus keduanya meraih sepatu masing masing yang diletakkan di rak sepatu depan perpus. Setelah selesai memakainya Anin menatap sekilas kesekelilingnya, mengamati begitu ramainya keadaan diluar sana.

Pretty LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang