49-Kabar kehilangan

39 5 7
                                    

Anin menghambur keluar dari mobil saat mobil Tofan baru saja berhenti tepat di depan rumahnya. Tofan masih kebingungan, masih belum mengerti ada apa dengan gadis itu yang tiba-tiba bersikap seperti itu. Selama diperjalananpun Anin terus menitikkan air matanya walau tak ada isakan yang terdengar ditelinga Tofan.

Anin berlari dengan luruhnya air matanya yang sudah tak ia pedulikan lagi. Sedangkan Tofan hanya mampu mengejar Anin.

Tepat di depan pintu yang masih tertutup rapat, Anin menghentikan langkahnya. Ia memejamkan matanya serapat-rapatnya dan merapalkan segala harapan bahwa semua akan baik-baik saja. Dan dibelakangnya, Tofan memandangi punggung kecil itu. Punggung yang masih bergetar oleh isak yang tertahan.

Dengan ragu Anin membuka pintu tersebut. Tidak ada yang berbeda semenjak ia meninggalkan rumah tadi. Kakinya dengan pelan berusaha menyeret tubuhnya menuju ruang keluarga yang ia yakini Shone berada di sana.

Tofan semakin kebingungan. Keningnya mengernyit saat mendengar suara isakan. Namun bukan dari mulut Anin. Ia yakin isakan itu bukan milik Anin.

Dugaan Anin benar. Shone berada di ruangan tersebut. Sama sepertinya, Shone juga terlihat begitu terluka.

Shone terduduk di lantai dengan kepala yang ia tenggelamkan di sofa empuk. Walaupun begitu, isakannya terdengar jelas di telinga Anin dan Tofan.

Tofan menatap keduanya penuh dengan perasaan bingung. Seakan hanya dirinya yang memang tidak tau apa-apa mengenai tangisan yang mendominasi ruangan tersebut.

"Shone, Anin. Jelasin dong kalian tuh kenapa sih?!" ujar Tofan meminta penjelasan dengan nada tegas. Namun keduanya tak ada yang berniat untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Lagi-lagi Anin terjatuh ke lantai. Isakan yang sudah ia tahan sejak tadi akhirnya keluar begitu saja.

Tofan semakin frustasi. Gemas dengan kedua saudara yang hanya asik meraung menangis tanpa memberitahukan apa-apa padanya.

"Bang.." lirihan Anin hanya terjawab oleh tangisan Shone.

"BANG LO BOHONG KAN?! MAMA SAMA PAPA BAIK-BAIK AJA KAN?! MAMA," Anin berteriak membuat Tofan menoleh semakin bingung.


"Mama nggak meninggal kan?"

Deg

kalimat itu begitu lirih dan penuh keputusasaan. Namun indra pendengaran Tofan cukup jeli untuk menangkap kalimat tersebut.

Shone semakin menjerit. Sama dengan Anin ia juga berharap berita itu adalah palsu.

Tofan terbelalak. Tubuhnya pun tak mampu merespon. Seluruh tulangnya seakan telah dikeluarkan saat itu juga.

Herla dan Afkar mengalami kecelakaan yang begitu parah saat perjalanan pulang menuju apartemen yang mereka tempati. Shone diberitahu oleh Pak Kenan-tangan kanan Afkar- yang juga ikut bersamanya namun berada di mobil yang berbeda.

Beberapa saat setelah kecelakaan tersebut, Shone mendapat kabar bahwa Herla tidak dapat diselamatkan saat perjalanan menuju rumah sakit terdekat. Herla kekurangan banyak darah akibat dari luka disekujur tubuhnya. Sedangkan Afkar dalam keadaan sekarat.

Setelah mendapat berita tersebut, dengan sekuat tenaga Shone menghubungi Anin. Ia tidak peduli lagi dengan mampunya ia memberitahu Anin atau tidak. Yang terpenting Anin perlu berita tersebut.

"Me..meninggal?" tanya Tofan terbata. Pandangannya kosong. Sama dengan Anin dan Shone, Tofan pun sulit untuk mempercayainya.

"BANG LO BOHONG KAN?!!" teriak Anin frustasi yang lagi-lagi hanya dijawab oleh jerit tangis Shone.

"Mama gak mungkin ninggalin gue." ada nada keputusasaan dalam kalimat tersebut yang terucap disela-sela tangis. "MAMA GAK BOLEH NINGGALIN GUE SEKARANGGG!!!"

Shone sama sekali tidak merespon. Yang ia butuhkan adalah mencoba menerima kenyataan. Sedangkan Tofan masih tak bergeming mendengar sentakan Anin.

Tiba-tiba deringan ponsel Anin ikut meramaikan ruangan tersebut. Anin tak berniat menjawab panggilan itu, tapi entah mengapa ia merasa harus menjawabnya.

Panggilan dari Mama Shone. Tantenya sendiri.

Tangannya bergetar menjawab panggilan tersebut.

Anin merasa dengan menjawab panggilan itu justru semakin membuatnya tidak percaya.

Disebrang sana, sama seperti dirinya dan Shone. Orang tua Shone juga meraung tak percaya. Bahkan mereka menelpon hanya untuk memastikan kalau ternyata kabar itu adalah palsu. Namun naas, tak ada yang bisa mengatakan bahwa kabar itu hanya sekedar gurauan saja.

Tofan berjalan gontai menghampiri Anin yang tengah memeluk lututnya sendiri. Dengan tenaga yang masih tersisa Tofan mencoba meraih tubuh mungil yang tengah bergetar dihadapannya.

Anin menumpahkan semua tangisnya di dada Tofan. Tak peduli lagi dengan gelar 'ice girl'nya yang ikut luruh bersama air matanya.

Kehilangan sosok mama dihidupnya seperti ia kehilangan seluruh hidupnya. Tidak ada kehilangan yang lebih sakit dari ini.

Bahkan di usianya yang belum menginjak 17 tahun, Anin harus kehilangan seorang ibu. Kehilangan sosok yang mengandungnya selama 9 bulan dan merawatnya selama belasan tahun ini.

Anin merasa berita kehilangan ini terlalu cepat.

Bagaimana nanti ia akan hidup tanpa mamanya?

Shone mulai meredakan tangisnya. Ia sadar, jika ia seperti itu maka tidak akan ada yang bisa menenangkan Anin selain dirinya.

Dengan sempoyongan Shone mendekat ke arah Tofan dan Anin yang sedang saling mendekap. Tanpa melepaskan pelukan keduanya, Shone mengulurkan tangan mengusap lembut rambut Anin yang sudah berantakan. Senyum getir tercetak di bibir Shone, dan air mata yang sulit untuk ia hentikan.

Shone kembali berdiri seraya mengusap kasar air matanya. Tanpa berkata apa-apa ia meninggalkan Anin bersama Tofan di ruangan tersebut menuju kamarnya. Yang ia butuhkan saat ini adalah menenangkan dirinya sendiri sambil mencoba mengiyakan kenyataan tersebut.

Shone tau Aninlah yang lebih menderita akibat kabar tersebut. Maka dari itu Shone sebagai sepupu terdekat bahkan sudah seperti saudara kandung Anin harus bersikap dewasa disaat-saat seperti ini. Karena jika bukan dia, tidak ada lagi tempat Anin untuk berteduh.

Disisi lain. Jauh dari tempat Anin, Shone dan Tofan yang sedang berduka, Afkar sedang berjuang untuk hidup.

Kini dirinya berada diantara hidup dan mati.

Cedera berat yang dialaminya yang membuat dirinya saat ini terbaring lemah diatas kasur putih dengan berbagai alat yang sudah menempel di tubuhnya.

Dokter dan beberapa perawat lainnya dengan lihai menanganinya. Mencoba memberikan usaha terbaik agar pasiennya bisa tetap hidup.

Sudah hampir dua jam lamanya Afkar berada di dalam ruang operasi. Orang-orang yang menunggunya di luar tampak gelisah. Terutama Pak Kenan yang sudah lama bekerja bersamanya dan merupakan tangan kanannya.

Malam itu adalah malam dimana hidup seorang Anin akan semakin membeku. Kabut hitam yang pekat seakan menggerogoti hidupnya. Lebih pekat. Semakin pekat. Sangat pekat.
















Karena sesungguhnya berita kehilangan mampu membuat atmosfir kehidupan siapa saja berubah menjadi seperti terowongan gelap yang tak berujung.

**

Bahasanya berat :v

Part ini menguras otak bagaimana caranya biar feelnya dapat pas baca ini :'(

Tapi kalo gak dapat gpp jga, hm.

Yang penting udah usaha buat yang terbaik:)

Happy reading

Pretty LiesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang